Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Maulana Iqbal
What is Identity (Dok. Pribadi/Mohammad Maulana Iqbal)

Memahami diri, mengenali diri, melihat diri sendiri melalui sebuah cermin barangkali adalah sebuah cara kuno untuk dilakukan. Bahkan dalam sebuah kajian psikologis, mengenali diri sendiri dengan melihat diri sendiri, refleksi diri, kontemplasi adalah sesuatu yang sudah cukup menjenuhkan. 

Seorang profesor dari Stanford University, James D. Fearon memberikan kacamata baru dalam memahami diri. Melalui bukunya yang berjudul “What is Identity?” ia mengajak para pembaca untuk menengok identitas dalam diri kita melalui perspektif sosial. Sebuah sudut pandang yang berbeda dalam kajian psikologi klasik.

Buku yang diterbitkan oleh Bright Publisher beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada 2020 ini, memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat bahwa ternyata untuk melihat sebuah diri, untuk mengenali identitas kita, itu melalui pengenalan dengan lingkungan sosial kita.

Fearon melalui karya yang berisi sembilan babnya itu, selalu menekankan bahwa identitas dilihat melalui sebuah kategori sosial yang sudah tersedia di masyarakat. Misalnya, saya merupakan seorang muslim, sekaligus juga saya merupakan seorang mahasiswa, serta seorang penulis, dan juga seorang warga Indonesia, dan lain seterusnya.

Begitulah yang kemudian disebut oleh Fearon sebagai identitas sosial sebagaimana di jelaskannya di bab empat. Meskipun ia mendiskusikan tentang identitas personal yang seolah-olah lebih subjektif di bab enam, namun dalam bab itu lagi-lagi ia menekankan bahwa identitas personal seseorang dibentuk melalui sebuah pergulatan sosial di masyarakat.

Namun, sebelum perdebatan itu, melalui karyanya yang berjumlah 92 halaman lebih ini, di bagian awal ia mengajak pembaca untuk merefleksikan pentingnya memahami identitas, bagaimana identitas itu didefinisikan serta bagaimana identitas itu dibentuk secara sosial. Kemudian, dilanjutkannya perdebatan tentang persoalan peran, tindakan-tindakan berbasis identias serta identitas aktor-aktor kelembagaan.

Di bagian akhir, buku yang diterjemahkan oleh seorang pengajar di School of Humanities, President University, Bekasi yakni Afthonul Afif ini menegaskan kembali sebuah tesis pokoknya bahwa identitas bermakna sebagai sebuah kategori sosial, yang ditentukan oleh aturan-aturan keanggotaan dan atribut atau perilaku yang dianggap mencirikan harapan tertentu. Serta identitas dipahami sebagai pembeda secara sosial di mana orang mengambil kebanggaan tertentu karena mengenakan identitas tersebut.

Dengan kata lain, bagaimana kita memahami diri yang melalui lencana apa saja yang sedang kita kenakan dalam sebuah interaksi sosial. Apa saja yang kita lakukan selama ini? Apa yang membuat kita bangga dengan diri sendiri? Apa yang sedang kita harapkan? Pekerjaan, profesi, rutinitas, status, kelas sosial, dan lain semacamnya itu semua adalah kategori sosial yang dimiliki oleh setiap orang.

Meskipun buku ini terkesan tipis dan menggunakan bahasa yang sederhana, namun buku ini sangat cocok sebagai pengantar awal untuk memahami identitas. Pasalnya, referensi yang dirujuk oleh buku ini bukanlah sumber-sumber yang sembarangan, melainkan langsung kepada tokoh-tokoh fenomenal dalam kajian identitas, seperti Erik Erikson, Sheldon Stryker, Richrd Jenkins dan lain sebagainya.

Mohammad Maulana Iqbal