Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Gita Fetty Utami
Novel "Pet-O-Love-Gic 3: Aubrey dan The Three Musketeers" (dokpri/Gita Fetty Utami)

Jika sobat mencari referensi buku cerita anak yang mengajarkan makna persahabatan nan tulus, ‘Pet-O-Love-Gic 3: Aubrey dan The Three Musketeers’ karya Agnes Bemoe, bisa banget jadi pilihan pertama. Novel ini diterbitkan oleh Penerbit Kiddo, Oktober 2013, dengan ketebalan 118 halaman. Kisahnya sarat makna, disajikan dengan gaya bahasa ringan serta menghibur, plus ilustrasi dan layout yang bikin betah baca.

 Diceritakan Dian, anak kelas IV C SD Bintang Laut, adalah anak yang pendiam, susah bergaul, dan tidak terlalu berprestasi. Sebaliknya Aubrey teman sebangku Dian, adalah anak yang supel, cantik, dan punya banyak prestasi.  Suatu hari Bu Hanna mengumumkan bahwa Aubrey masuk rumah sakit. Di sinilah awal mula konflik.

Rupanya sebelum ini Aubrey memang sering jatuh sakit. "Kelelahan karena berolahraga, sakit. Kepanasan karena upacara bendera, sakit. Hampir setiap hari ia sariawan. Bahkan, terlalu lama di Laboratorium Bahasa yang ber-AC pun bisa membuat ia pilek berat (hal. 9).

Tak dinyana fakta ini malah menimbulkan rumor di kelas Dian, bahwa Aubrey terkena HIV AIDS. Sebab AIDS adalah penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh penderitanya. Mirip dengan kondisi Aubrey yang sering sakit dan sariawan.

Akibatnya, ketika Bu Hanna meminta  perwakilan murid untuk ikut menjenguk ke rumah sakit, tak ada yang bersedia. Semua takut tertular AIDS. Termasuk Dian. Namun Thomas, sang ketua kelas, malah menunjuk Dian. Alasannya, Dian adalah teman sebangku Aubrey (hal. 11). Dengan berat hati  Dian ikut menjenguk Aubrey, bersama Thomas dan Bu Hanna.

Prasangka tersebut seolah valid, karena setelah Dian dan Thomas bertemu Aubrey, kondisi anak itu benar-benar mengenaskan. Aubrey yang semula cantik, berubah kurus bak tulang dibalut kulit. Wajahnya pun amat pucat, dengan bercak-bercak merah di pipi, dan sekujur tangan. 

Ketika berada di kamar rumah sakit itu, Thomas dan Dian melihat foto seekor anjing putih yang lucu. Ternyata anjing itu jenis Kintamani yang diberi nama Imot, dan menjadi kesayangan Aubrey.

Dian yang seorang pecinta anjing menjadi antusias. Ia lalu bertukar cerita soal anjing miliknya yang dinamai Three-Pot, seekor anjing kampung berkaki tiga (hal. 23).

Bermula dari menceritakan anjing masing-masing itulah, pelan-pelan terajut persahabatan tulus antara Dian dan Aubrey. Apalagi ketika Dian menyanggupi mengasuh Imot, sementara temannya itu masih dirawat di rumah sakit. Berbagai tantangan muncul, mewarnai perjuangan Dian menjinakkan Imot yang masih bandel. 

Rupanya memelihara anjing ada tips dan triknya. Melalui ilustrasi yang kocak kita akan mengetahui bagaimana cara Dian menjinakkan Imot, dibantu oleh Three-Pot. Selain itu diceritakan pula latar belakang Dian memelihara Three-Pot, yang cacat sejak lahir (hal. 40-41).

Setiap berkunjung ke rumah sakit, Dian selalu membawa cerita keseruan anjing-anjing mereka. Aubrey menerjemahkan cerita tersebut ke dalam bentuk sketsa-sketsa yang bagus. Aubrey punya impian setelah sembuh ia akan bertemu Three-Pot, dan mengadakan pameran lukisan tunggal.

Dian yang kagum akhirnya memberanikan diri bertanya soal sakit yang menimpa Aubrey.

 “Aku kena penyakit yang namanya Lupus. Biasanya Lupus menyerang remaja dan dewasa. Anak juga bisa kena, cuma jarang. Gejalanya mirip dengan AIDS. Sama-sama berkaitan dengan kekebalan tubuh. Tapi, penyakit ini tidak menular.” (Hal. 62).

Setelah mengetahui hal itu, Dian sadar betapa ia dan teman-teman sekelasnya sudah berlaku tak adil pada Aubrey. Mereka seenaknya menjauhi anak itu hanya berdasarkan prasangka, tanpa berusaha mencari tahu informasi sesungguhnya.

Kesadaran itu memunculkan ide di benak Dian. Ia yang selama ini pendiam dan pemalu, memutuskan bakal tampil di Lomba Public Speaking, yang diadakan sekolah dalam rangka peringatan hari kemerdekaan. Dian rela melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Karena ia ingin menyadarkan teman-temannya tentang kondisi Aubrey yang sebenarnya (hal. 89-93).

Penyelesaian konflik di buku ini benar-benar menyentuh hati, apalagi ditutup dengan ending yang dramatis, tetapi masuk akal. Sobat pasti setuju dengan pendapat saya, bahwa Agnes Bemoe telah menulis novel anak nan apik. Sebuah novel yang mengandung banyak pesan moral, tanpa memaksa maupun menggurui. Selamat membaca!

Gita Fetty Utami