Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ranti Riani Jhonnatan
Cover buku Kasih Tak Terlarai (Apk iPusnas)

Soeman Hasiboean atau juga dikenal dengan nama Soeman Hs merupakan seorang sastrawan melayu Riau yang namanya diabadikan sebagai perpustakaan di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Perpustakaan Soeman HS namanya. Berangkat dari rasa penasaran akan karya beliau, akhirnya saya memilih buku Kasih Tak Terlarai sebagai pembuka pengenalan antara diri saya dengan karya beliau.

Kisah dibuka dengan latar waktu menjelang Idulfitri dirayakan dengan penggambaran suasana yang syahdu begitu terasa. Bagaimana kesibukan orang-orang menyambut dan merayakan Idulfitri dijabarkan dengan apik hingga mengundang rindu akan hari kemenangan tersebut. Memasuki narasi awal untuk mengenal Taram, kita menyelami pikirannya yang penuh keheranan sebab dirinya kerap digosipkan oleh orang-orang di kampungnya. Ada yang memuji, ada pula yang mencemoohnya. Alih-alih membubarkan kumpulan orang-orang tersebut, terkadang ayah Taram turut pula membaur dalam percakapan tersebut yang membuat Taram semakin berkecil hati. Selain itu, ia juga merasa bahwa ada perbedaan perlakuan yang didapatnya dibandingkan dengan bagaimana kedua saudaranya diperlakukan.

Tak terlarut dalam persoalan tersebut, Taram yang semakin dewasa mulai mengenal asmara. Perasaan yang muncul tatkala melihat Nurhaida, bintang di kampungnya. Nurhaida sering menjadi perbincangan orang-orang pula, namun yang elok-eloknya saja. Entah itu terkait parasnya maupun perangainya yang elok. Karena tahu akan pesona anak gadisnya, Encik Abas, ayah dari Nurhaida mematok standar yang sangat tinggi untuk siapa-siapa yang ingin menikahi anaknya. Tak terkecuali untuk Taram. Saat sudah mantap hatinya terhadap Nurhaida, akhirnya lamaran dari pihaknya pun sampai kepada Encik Abas yang berakhir dengan mendapatkan penolakan dari beliau. Patah hati, ternyata sebagai anak batin pun Taram juga tak terlepas dari standar yang dimiliki Encik Abas. Ada sebab yang tak diketahui oleh Taram pada awalnya, yang akhirnya terungkap saat dirinya terlibat percakapan dengan Nenek Tijah. Cerita yang baru pertama kali didengarnya yang membuatnya mengerti kenapa dirinya mendapat penolakan dari Encik Abas dan membuatnya paham akan perbedaan perlakuan yang selama ini ia dapatkan.

Merupakan seorang saudagar kaya, perangai seperti Encik Abas yang tinggi hati bukanlah hal yang asing di kehidupan saat ini, masih banyak Encik Abas lainnya yang terkadang menjadi tembok penghalang akan bersatunya dua insan yang serius ingin menjajaki jenjang pernikahan. Kenyataan pahit yang diketahui Taram akan dirinya, hubungan yang tak mendapat restu, akhirnya terbitlah sebuah rencana untuk melarikan diri bersama pujaan hati dan rencana ini disambut baik pula oleh yang bersangkutan.

Lika-liku yang harus dihadapi Taram dan Nurhaida demi menyatukan perasaan keduanya mengantarkan mereka ke Singapura. Banyak mata-mata diutus untuk melihat apakah keduanya berada di Singapura atau tidak. Tahu akan diri yang masih terus dicari, mereka tak luput dari menjaga diri agar keberadaan mereka tak terdeteksi. Sampai akhirnya lambat laun, keberadaan mereka terbongkar dan beberapa warga kampung yang tengah mendatangi Singapura menginap di rumah mereka. Berinteraksi kembali dengan orang-orang dari kampung halaman membuat Nurhaida dilingkupi rasa rindu yang teramat dalam kepada keluarga, teman-teman dan tanah airnya. Namun bimbang sudah hati akan pilihan yang ingin dipilih, tetap bertahan di negeri orang bersama kekasih hati atau kembali pulang dan berkumpul kembali dengan keluarga serta teman-teman yang telah lama ditinggalkan.

Penceritaan kisah Taram dan Nurhaida menjadi cerminan bagaimana masyarakat yang bukan hanya pada zaman dahulu tetapi juga sekarang yang kerap memandang sebelah mata terhadap orang lain dengan mudahnya. Bahkan, terkadang orang tersebut tak dikenalnya. Fisik, garis keturunan, kekayaan, ada saja yang dijadikan bahan untuk merendahkan orang lain. Kasta yang secara tak kasat mata juga masih melekat hingga sekarang. Siapa yang pantas dengan siapa terkadang ditentukan dari apa pekerjaanmu, siapa orangtuamu, atau yang lainnya. Tak salah menginginkan yang terbaik, namun jika diiringi dengan penghinaan, apakah ini bisa dibenarkan?

Diterbitkan pertama kali pada tahun 1929, Kasih Tak Terlarai masih terasa relevan dengan kehidupan masyarakat masa kini. Zaman semakin maju, namun beberapa sikap dan pemikiran yang terasa “salah" masih terus melaju.

Lihai bermain dengan kata, penceritaan yang dibawakan oleh Soeman Hs terasa ringan namun juga tepat sasaran. Kritikan yang disampaikan terhadap tabiat beberapa orang, mempertanyakan aturan yang ditetapkan, proses pendekatan dan keyakinan kepada Tuhan serta pengenalan terhadap agama yang dianut. Tidak terbatas pada itu, Soeman Hs turut sedikit menyinggung unsur perbedaan sikap jika dihadapkan pada etnis yang berbeda. Singkat adegannya, namun dalam maknanya. Kasih Tak Terlarai, bukan sebuah karya yang mengupas segalanya dengan rinci, diselesaikan dan diberitahukan kepada pembaca secara terbuka, tetapi bagaimana pembaca seperti saya memikirkan dan menarik pesan yang disampaikan atau memikirkan apa yang bisa ditarik dari goresan yang telah ditorehkan.

Sebuah karya yang berhasil membuat saya merasa bertransportasi ke era pada saat Soeman Hs menulis buku ini. Saya pribadi jarang menyentuh karya-karya lawas karena terkadang terasa cukup sulit bagi saya untuk memahaminya. Setelah Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Kasih Tak Terlarai menjadi karya sastra lawas selanjutnya yang saya kagumi rangkaian katanya. Buku ini bisa menjadi pilihan yang tepat untuk siapapun yang ingin mencicipi karya sastra lawas. Mungkin akan terkendala dengan beberapa kosakata yang terasa asing dan jarang didengar atau digunakan, namun buku ini sangat patut untuk dicoba. Dari Penerbit Balai Pustaka sendiri walaupun tidak begitu banyak, tetap menempatkan beberapa catatan kaki untuk membantu pemahaman kita akan beberapa kata.

Sudah memiliki pengalaman dengan bagaimana Mochtar Lubis mengakhiri kisah Guru Isa dalam buku Jalan Tak Ada Ujung, penutup dari kisah Taram dan Nurhaida tak lagi membuat saya “kesal” dengan akhir yang mendadak muncul disaat-saat saya yang masih ingin menyelam ke dalam ceritanya. Saya menikmati buku ini hingga akhir. Penutup yang menunjukkan luluhnya hati seseorang yang sebelumnya tak tergoyahkan.

Terakhir, saya akan menutup ulasan ini dengan salah satu kutipan favorit saya dari buku ini, "Rupanya darah muda yang mengalir di seluruh tubuh mereka lebih kuasa daripada iman yang ada di dadanya. Demikianlah kebanyakan orang di dunia ini.” (h. 62-63)

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS.

Ranti Riani Jhonnatan