Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Cover novel Misteri Chiroptera Penculik (Ikaltim)

Sebuah dongeng apabila kerap diceritakan ulang, lama-lama mungkin saja, membuat pendengarnya percaya atau bahkan penasaran dengan keberadaan dongeng tersebut di dunia nyata.

Itulah yang dirasakan Sarah, tokoh utama kita di novel anak Misteri Chiroptera Penculik, karya dari Sri Widiyastuti dan diterbitkan oleh Penerbit Bhuana Sastra (2014). 

Nenek Sarah gemar mendongeng. Salah satu dongeng Nenek yang paling sering diminta Sarah untuk diceritakan ulang adalah tentang hantu kelelawar besar penculik. Cerita seram yang justru kerap membuat Sarah penasaran.

Apalagi Sarah pernah melihat kelelawar besar (Chiroptera) tersebut di bawah pohon beringin tua, seberang lapangan kampung Mekarwangi. Persis seperti cerita sang nenek.

Saat sepupu kembar Sarah yang dijulukinya ‘Twin Petronas’ datang dari Malaysia, Sarah mengajak Adli dan Azri menyelidiki keberadaan tentang hantu kelelawar penculik di pohon beringin tua.

Siapa sangka penyelidikan mereka mengungkap satu hal besar, setelah kedua sahabat Sarah, Lisa dan Dian hilang, menyusul Adli yang diculik kelelawar besar.

Mampukah Sarah dan Azri menemukan mereka yang hilang? Siapa sebenarnya lelaki tanpa senyum yang selalu mengintai Sarah dan sepupunya di sekitar pohon beringin tua?

Membaca buku cerita anak berbalut kisah petualangan dan misteri ini, saya berpikir para pembaca cilik pasti akan menyukainya. Sebab, seru dan menegangkan.

Konflik cerita yang tampak sederhana di awal, ternyata berubah pelik sampai ke sebuah sindikat perdagangan anak, child trafficking. Akan ada seorang tokoh yang membuat anak-anak belajar untuk tidak menilai seseorang dari kulit luarnya saja. Karena ternyata dia berbahaya.

Karakter tokoh utamanya sangat saya sukai. Sarah digambarkan sebagai gadis kecil penuh rasa penasaran, sedikit tomboy, dan memiliki kepedulian yang tinggi pada keluarga dan sahabatnya.

Kehadiran dua tokoh lainnya, Adli dan Azri yang berasal dari Malaysia dan menggunakan bahasa melayu dalam novel ini, mau tidak mau membuat saya berpikir, apakah anak-anak tidak akan bingung saat membacanya?

Penulis tidak menggunakan catatan kaki, tapi sebagai gantinya, memberikan penjelasan melalui narasi dan dialog untuk setiap kalimat yang dilontarkan si kembar. Namun, penjelasan tersebut on off, kadang ada, kadang tidak. Jadi, mungkin ini menjadi salah satu kekurangan novel ini.

Sedikit kekurangan yang lain, ada pada dialog sang nenek yang bertanya perihal Sarah yang belum pulang sekolah sampai jam 4 sore (Hal. 27). Tapi, ada dialog Azri yang bertanya pada Sarah kenapa tadi siang waktu pulang sekolah, mukanya seperti habis melihat hantu (Hal. 37). 

Ini berarti ada kontradiksi perihal waktu siang dan sore. Kesalahan lainnya ketika Azri salah menyebut nama ayah Sarah. Seharusnya Om Sandi, tapi jadi Om Tio (Hal. 160).

Kelebihannya, novel ini memberikan satu pengetahuan baru mengenai kelelawar besar (Chiroptera) melalui penjelasan Azri (Hal. 45). Selain itu juga ada informasi tentang child trafficking sebagai bentuk awareness bagi para pembaca cilik.

Alur cerita cukup rapi meskipun ada bagian-bagian dalam cerita yang menurut saya ‘agak berlebihan’. Tapi, saya percaya jika anak-anak yang membacanya mereka justru akan merasa kalau hal itu keren.

Saya berpikir, novel ini akan cocok dibaca anak-anak saat liburan sekolah. Mungkin mereka juga akan berpikir untuk bermain detektif-detektifan ala Sarah dan si Kembar.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Rie Kusuma