Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
Cover novel Jodoh untuk Naina (Dok. Ijak)

Akhirnya, saya membaca lagi novel Jodoh untuk Naina karya Nima Mumtaz, setelah bertahun-tahun lalu pernah membacanya dan masih sangat menikmati ceritanya di kesempatan kedua ini.

Novel terbitan Elex Media Komputindo (2015) ini bertemakan pernikahan yang berawal dari perjodohan. Meski banyak sekali novel bertema sejenis, tapi Jodoh untuk Naina memiliki pembeda dengan tokoh utamanya yang punya skandal besar di masa lalu.

Dikisahkan Naina Humairah, gadis berusia 22 tahun dan seorang guru TK, menerima perjodohan yang ditawarkan oleh ayahnya, Abah Miftah sebagai Birrulwaliddain, bakti kepada orangtua.

Semenjak sang ibunda wafat dan kedua kakaknya menikah, Naina memang tinggal berdua saja dengan Abah. Kedekatan antara Abah dan Naina-lah, yang membuat Naina ingin membahagiakan keinginan orang tua satu-satunya itu, sampai ia lupa bertanya perihal lelaki pilihan abahnya.

Betapa kagetnya Naina ketika akhirnya tahu bahwa calon suaminya adalah Rizal Ayyashi. Lelaki yang sepuluh tahun lalu pernah membuat geger kampung, karena berzina dengan seorang perempuan bersuami dan diarak keliling kampung.

Naina mencoba berbaik sangka pada pilihan sang ayah. Ia juga berusaha mengikhlaskan hati dan melanjutkan pernikahan, meskipun ingatan tentang masa lalu Rizal membuatnya kerap meragu.

Namun, Rizal adalah suami yang baik. Ia tak memaksakan Naina yang ‘menjaga jarak’ dengan dirinya. Rizal malah memutuskan untuk mereka saling berteman sampai Naina merasa nyaman dengan kehadirannya.

Di saat Naina dan Rizal akhirnya bisa meruntuhkan jarak di antara mereka, datang badai ke rumah tangga mereka dalam wujud seorang perempuan dari masa lalu Rizal. Akankah Naina bertahan? Mampukah Naina dan Rizal mempertahankan rumah tangga mereka yang baru seumur jagung?

Perempuan mana yang mau membagi suaminya dengan orang lain? Perempuan mana yang ikhlas berbagi kasih sayang dengan perempuan lain? Perempuan mana yang merelakan malam-malam panjang dalam kesendirian karena suaminya sedang menemani perempuan lain? Tidak, aku tidak sekuat itu. (Hal. 183)

Membaca novel setebal 252 halaman ini saya berkali-kali sampai mengusap air mata. Ikut jengkel, gemas, terharu, dan berbagai perasaan lainnya melihat yang terjadi dalam rumah tangga Naina dan Rizal.

Alur dan plot cerita amat rapi, gaya penceritaannya mengalir dengan bahasa yang sederhana tanpa diksi rumit, tapi mampu membuat saya larut dalam cerita.

Karakter para tokohnya juara, bahkan untuk karakter tokoh pendukung seperti Salman, sangat kuat dan mampu membuat saya pengen nampol saat ia mengkonfrontasi Naina.

Karakter Rizal idaman banget, ganteng, mapan, penuh cinta dan kasih sayang pada Naina dan keluarga. Agak ngeselin juga karena terlalu baik, terlalu bertanggung jawab, jadi mudah dimanfaatkan orang lain.

Karakter Naina, sendu-sendu lucu. Cantik, manja tapi sekaligus mandiri, cuma jeleknya terlalu terburu-buru menilai dan memutuskan suatu masalah. Ujung-ujungnya nyesel sendiri.

Saya sangat menyukai chemistry antara Naina dan Rizal yang terbangun pelan-pelan. Semua karakter tokohnya juga berkembang seiring berjalannya cerita.

Nuansa religi yang dibangun sangat kental, dari kehidupan keluarga Naina sampai ke pribadi masing-masing tokoh. Saya juga senang sekali dengan bagian epilog yang menggunakan sudut pandang Rizal. Apa yang tidak diceritakan di awal tentang khitbah yang dilakukan Rizal, ada di bagian ini.

Konflik ceritanya sederhana, tapi meskipun demikian tetap dieksekusi dengan baik oleh penulis. Ending-nya sendiri sudah dapat diterka, tapi ada ‘pelintiran’ yang bikin saya H2C, Harap-Harap Cemas.

Pesan moral dari novel ini yaitu, bahwa sebagai manusia kita harus selalu berbaik sangka, terutama kepada Sang Maha Pencipta, berbakti pada orangtua, ikhlas, dan menjaga rumah tangga sebaik-baiknya meski badai selalu menerpa.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Rie Kusuma