Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana kelanjutan kisah dalam film horor yang menghadirkan teror berulang?
Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri adalah sekuel dari film horor Aku Tahu Kapan Kamu Mati (2020), kali ini diarahkan oleh Anggy Umbara dengan skenario yang ditulis oleh Laila Nur Azizah.
Ceritanya masih mengadaptasi novel horor yang sama dengan film sebelumnya, dan diproduksi oleh Unlimited Productions bersama Umbara Brothers Film.
Film ini dibintangi oleh Natasha Wilona, Acha Septriasa, Giulio Parengkuan, Ratu Felisha, Jajang C. Noer, Pritt Timothy, dan Marsha Aruan.
Siena (Natasha Wilona) kini sudah duduk di bangku kuliah, tetapi masih sering menyaksikan kapan kematian orang lain. Tekanan yang ia rasakan membuatnya harus berkonsultasi rutin dengan Naya (Acha Septriasa), dosen psikologi di kampus.
Ketika kematian tiba-tiba seorang asing di kampus memaksa Naya pulang ke kampung halamannya di Desa Remetuk, Siena mendapat penglihatan buruk tentang nasib Naya dan buru-buru menyusulnya bersama dua sahabatnya, Rio (Giulio Parengkuan) dan Windy (Marsha Aruan).
Namun, setibanya di desa, mereka bertiga malah menemukan bahaya yang mengancam.
Sebagai sekuel, Desa Bunuh Diri tidak menawarkan banyak hal baru dibandingkan film sebelumnya, kecuali peningkatan dalam eskalasi teror dan tekanan psikologis terhadap protagonis.
Tema desa terkutuk, berhantu, dengan pesugihan atau perjanjian dengan setan sudah banyak diangkat dalam film-film seperti Perempuan Tanah Jahanam (2019) dan Makmum 2 (2021). Sering kali akar masalahnya sama, desa yang kurang makmur atau lahan pertanian yang tidak subur.
Siena yang memiliki kemampuan untuk melihat kematian orang lain kembali dihadapkan pada misi untuk memanfaatkan kelebihannya demi menolong orang lain.
Namun, Desa Bunuh Diri masih mengulang kelemahan dari film sebelumnya, seperti tidak menampilkan keluarga tokoh utama sama sekali.
Siena digambarkan seolah-olah adalah pelajar atau mahasiswa sebatang kara tanpa keluarga, dan lebih dekat dengan teman-temannya.
Film ini juga sarat dengan adegan berdarah, namun level kekerasannya tidak sebrutal garapan Kimo Stamboel.
Meskipun begitu, trik adegan berdarah dan kematian orang-orangnya terasa monoton. Hanya ada sayatan, menggorok leher, gantung diri, dan tusukan dengan pisau atau benda tajam lainnya ke leher atau perut.
Karakterisasi dalam Desa Bunuh Diri, terutama pada Siena, merusak potensi cerita yang menarik karena kurangnya pertimbangan kecerdasan. Siena sebagai pemilik kemampuan tidak menggunakan kecerdasannya untuk menyelidiki kasus-kasus kematian yang berhubungan dengan kemampuannya.
Karakter Windy juga lebih sering menambah masalah, alih-alih berperan sebagai sahabat yang membantu Siena.
Sebagai sekuel, film ini tidak sinkron dengan ending film pertamanya. Dikisahkan bahwa Siena mulai berdamai dengan kemampuannya.
Namun dalam Desa Bunuh Diri, Siena masih bermasalah dengan penglihatannya dan harus minum obat-obatan berdasarkan resep dari psikiater.
Pilihan penutup cerita yang dihadirkan juga terbilang buruk, tanpa solusi yang jelas. Upaya para tokoh dalam menyelesaikan masalah sejak awal film menjadi sia-sia.
Adanya pemeran bertalenta seperti Acha Septriasa, Giulio Parengkuan, dan Ratu Felisha tidak banyak membantu, bahkan kehadiran Jajang C. Noer yang senior juga percuma karena naskah film ini sudah cacat sejak awal. Pesan moral yang ingin disampaikan jadi hampa.
Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri hanya menyajikan teror asal-asalan dan kematian tanpa arah, tanpa sedikit pun menunjukkan kecerdasan para tokohnya.
Satu-satunya kenikmatan tertinggi dari film ini adalah penampilan mengerikan sang hantu yang menebar teror sebagai arwah pembalas dendam.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Tag
Baca Juga
-
Ulasan Film Ditto, Kisah Cinta Remaja di Tahun Berbeda
-
Ulasan Film We Have a Ghost, Kisah Hantu Misterius Penunggu Rumah
-
Ulasan Film Jin Qorin: Kisah Horor Jin Pendamping Manusia
-
Ulasan Film Diponegoro 1830, Akhir Kisah Penangkapan Pangeran Diponegoro
-
Ulasan Film Dungeons & Dragons Honor Among Thieves, Aksi Mencuri Relik
Artikel Terkait
-
Review Film Heretic, Hugh Grant Jadi Penguji Keyakinan dan Agama
-
Review Night of the Hunted, Film Horor Netflix Penembakan di Minimarket
-
Review Film 'Satu Hari dengan Ibu' yang Sarat Makna, Kini Tersedia di Vidio
-
Review Film Totally Killer: Mencari Pembunuh Berantai Ke Masa Lalu
-
Review Film Aftermath, saat Terjadi Penyanderaan di Jembatan Boston
Ulasan
-
Gua Batu Hapu, Wisata Anti-Mainstream di Tapin
-
Ulasan Novel Hi Serana Adreena, Perjuangan Anak Pertama yang Penuh Air Mata
-
Teluk Kiluan, Spot Terbaik untuk Menyaksikan Kawanan Lumba-lumba di Lampung
-
Final Destination Bloodlines: Tawarkan Kedalaman Karakter dan Teror Mencekam
-
Ulasan Lagu Paranormal: Teman Minum Kopi di Pagi Hari Saat Sedang Jatuh Hati
Terkini
-
Jadi Kiper Tertua di Timnas, Emil Audero Masih Bisa Jadi Amunisi Jangka Panjang Indonesia
-
Realme Neo 7 Turbo Siap Meluncur Bulan Ini, Tampilan Lebih Fresh dan Bawa Chipset Dimensity 9400e
-
Realme GT 7T Segera Hadir dengan Sensor Selfie 32 MP dan Baterai Jumbo 7000 mAh
-
Garuda Calling 2025: Rizky Ridho Bertahan di Tengah Kepungan para Pemain Diaspora
-
Lukisan Raden Saleh Tampil dalam MV Jin BTS 'Don't Say You Love Me'