Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sabit Dyuta
Novel Pedro Páramo (Gramedia)

Tidak semua perjalanan membawa seseorang ke tempat yang lebih baik. Ada yang justru mengarah ke dalam kabut masa lalu yang suram, di mana suara-suara yang telah lama bisu kembali berbicara.

Itulah yang dialami Juan Preciado dalam "Pedro Paramo", sebuah novel klasik karya Juan Rulfo yang menggabungkan realisme magis dengan kritik sosial yang tajam.

Novel ini bukan hanya kisah seorang anak yang mencari ayahnya, tetapi juga sebuah perjalanan ke dalam sejarah luka dan penindasan yang tidak pernah benar-benar hilang.

Cerita dimulai ketika Juan Preciado berjanji kepada ibunya yang sekarat bahwa ia akan pergi ke Comala untuk mencari ayahnya,Pedro Paramo. Namun, setibanya di sana, ia justru menemukan kota yang mati, ditinggalkan penduduknya, dan hanya dihuni oleh bayangan serta bisikan arwah.

Dari percakapan dengan roh-roh yang masih terjebak di sana, terungkaplah sosokPedro Paramo sebagai seorang penguasa kejam yang mengendalikan Comala dengan tangan besi.

Kekuasaan dan keserakahannya bukan hanya menghancurkan kehidupan orang-orang di sekitarnya, tetapi juga meninggalkan kehancuran yang bertahan bahkan setelah kematiannya.

Keunikan novel ini terletak pada cara Rulfo menyusun ceritanya. Alih-alih mengikuti alur waktu yang lurus, kisah ini meloncat-loncat antara masa lalu dan masa kini, antara dunia orang hidup dan dunia arwah.

Teknik ini membuat cerita terasa seperti kumpulan potongan kenangan yang tercerai-berai, mencerminkan bagaimana ingatan dan trauma terus menghantui seseorang, bahkan ketika kehidupan telah berakhir.

Di balik narasinya yang bernuansa mistis, "Pedro Paramo" membawa pesan sosial yang kuat. "Pedro Páramo" sendiri adalah gambaran dari para penguasa tiran yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri, tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat. 

Di berbagai belahan dunia, sejarah telah menunjukkan bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali sering kali meninggalkan jejak penderitaan yang panjang, seperti yang dialami oleh penduduk Comala.

Di samping itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana penyesalan dan kesalahan bisa menjadi beban yang tidak bisa dihindari, bahkan setelah kematian.

Ketertarikan pada kisah ini tidak hanya berhenti di dunia sastra. Netflix di tahun 2024 telah mengadaptasi "Pedro Paramo" ke dalam sebuah film, menghadirkan kembali nuansa misterius dan atmosfer kelam dari novel ini dalam bentuk visual.

Adaptasi ini tentu bisa menjadi pintu masuk bagi generasi baru untuk mengenal karya Juan Rulfo dan memahami relevansi kisah ini dengan kehidupan saat ini.

Lebih dari sekadar cerita tentang hantu atau tirani, "Pedro Paramo" adalah satu kesan tentang bagaimana masa lalu selalu memiliki cara untuk kembali menghantui. Dan, novel ini pun mengajak kita untuk merenungkan tentang kekuasaan, ingatan, dan luka-luka yang sering kali tidak pernah benar-benar sembuh.

Sabit Dyuta