Pertama kali menonton Green Book, sama sekali nggak punya ekspektasi besar. Awal-awal ini seperti film road trip biasa, tentang dua orang dari latar belakang berbeda yang akhirnya berteman. Namun, setelah film berakhir, kisahnya bikin terdiam cukup lama. Ada sesuatu dalam kisahnya yang terasa dekat, meskipun kita (penonton) hidup di dunia yang setting-nya jauh dari Amerika tahun 1960-an (dalam film).
Seberapa hidup dan menyentuhnya film yang mengembangkan kisahnya dari peristiwa nyata ini? Yuk, kita bahas lebih dalam lagi.
Sebuah Kisah yang Diangkat dari Perjalanan Nyata
Disutradarai Peter Farrelly, Green Book bercerita tentang Donald Shirley (Mahershala Ali), seorang pianis Afrika-Amerika yang akan melakukan tur konser ke wilayah selatan Amerika Serikat pada tahun 1962—tempat yang pada masa itu masih kental dengan segregasi rasial. Untuk menjamin perjalanannya aman, dia mempekerjakan Tony Lip (Viggo Mortensen), sosok keturunan Italia-Amerika yang suka ngomong kasar pun dengan kepribadiannya, dan kalau makan tuh etikanya jauh banget deh.
Awalnya, hubungan mereka terasa canggung. Tony memandang Donald sebagai orang yang terlalu kaku dan berkelas, sementara Donald melihat Tony sebagai pria yang kasar dan kurang berpendidikan. Namun, sepanjang perjalanan, mereka perlahan mulai memahami satu sama lain.
Seiring durasi bergulir kisahnya semakin hangat dan mengharukan deh.
Panduan Bertahan Hidup di Amerika yang Penuh Diskriminasi
Satu hal paling mengejutkan dari film ini adalah judulnya: Green Book. Awalnya, aku mengira ini hanya nama yang dipilih karena terdengar keren atau simbolis.
Eh, ternyata, ‘The Negro Motorist Green Book’, yakni buku panduan yang pertama kali diterbitkan sama Victor Hugo Green pada tahun 1936 dan digunakan warga Afrika-Amerika sebagai panduan perjalanan, menjadi acuan besar Film Green Book.
Dulu tuh, di era segregasi, mereka nggak bisa begitu saja mampir ke hotel, restoran, atau pom bensin tanpa risiko ditolak atau bahkan diserang. Nah, ‘The Negro Motorist Green Book’ membantu mereka menemukan tempat-tempat yang aman, tempat di mana mereka bisa beristirahat tanpa rasa takut.
Asli deh, membayangkan seseorang harus membawa buku panduan itu, cuma buat menginap atau makan di restoran, benar-benar membuka mataku tentang betapa parahnya diskriminasi saat itu. Film ini memang hanya menampilkan Green Book secara sekilas, tapi sejarah di baliknya begitu mengerikan.
Setelah menonton Film Green Book, aku nggak hanya terhibur, tapi juga merasa tercerahkan. Film ini membawaku ke masa lalu, ke sebuah era yang mungkin terasa jauh, tapi sebenarnya masih meninggalkan jejaknya di dunia saat ini.
Viggo Mortensen dan Mahershala Ali tampil luar biasa di film ini. Aku bisa merasakan setiap emosi yang mereka tampilkan—dari canggung, marah, hingga akhirnya saling menghormati dan menerima satu sama lain. Nggak heran jika film ini akhirnya memenangkan Best Picture di Oscar 2019, dan Mahershala Ali membawa pulang piala Aktor Pendukung Terbaik.
Banyak film yang mencoba membahas isu rasisme dengan nada yang berat dan serius. Namun, ‘Green Book’ melakukan sesuatu yang berbeda, yakni menyampaikan pesan besar dengan cara ringan, menyentuh, dan mudah diikuti. Aku suka bagaimana film ini nggak menggurui, yang justru membiarkan kita sebagai penonton menyimpulkan sendiri maknanya.
Yang jelas, aku suka bagaimana film ini nggak langsung memaksakan persahabatan Donald dan Tony sejak awal. Ada banyak pertengkaran, sindiran, bahkan ketidakpercayaan. Namun, justru dari situlah Film Green Book terasa begitu nyata, karena persahabatan sejati memang nggak selalu dimulai dengan mudah.
Namun, jika ada satu hal yang bisa dipelajari dari perjalanan dan persahabatan Donald dan Tony, salah satunya: Asal ada keberanian untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda—baik perihal keturunan maupun ras—pada akhirnya manusia akan hidup damai dan rukun kok.
Dan seperti semua perjalanan yang baik, Film Green Book meninggalkan sesuatu dalam diriku yang nggak akan mudah kulupakan.
Skor: 4,5/5
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Review Film Short Term 12: Luka Enggak Terlihat, dan Harapan yang Tumbuh
-
Review Film Sorry I Killed You: Semua Karakter Sama-Sama Bodohnya!
-
Review Series Squid Game 3: Pengorbanan di Dunia yang Nggak Pernah Adil
-
Review Series Ironheart: Armor Ketemu Sihir, Marvel Makin Nggak Ada Ampun?
-
Laut, Luka, Cinta, dan Iman dalam Catatan Film Silent Roar
Artikel Terkait
-
Ulasan Film Mufasa: The Lion King Nostalgia, Emosi, dan Visual yang Memukau
-
Review Film CODA: Haruskah Meninggalkan Keluarga demi Impian?
-
Review Film Kraven The Hunter: Brutal, Gila, dan Penuh Aksi!
-
Dari Figuran Jadi Bintang Utama, Tami Irelly Ungkap Peran Spesial di Film Amulet
-
Review Anora: Film dengan Premis Sederhana tapi Punya Daya Tarik Universal
Ulasan
-
Review Film Han Gong Ju, Saat Luka Lama Mencari Tempat untuk Sembuh
-
Ulasan Novel Demon Rumm: Karya Sandra Brown yang Kurang Menggigit
-
Merajut Doa dan Ikhtiar Lewat Ulasan Buku The Power of Jalur Langit
-
Conan Gray Ungkap Luka Patah Hati Lewat Lagu Synth Pop Bertajuk Maniac
-
Review Film Short Term 12: Luka Enggak Terlihat, dan Harapan yang Tumbuh
Terkini
-
Xiaomi Mix Flip 2, HP Lipat Pakai Engsel Dragon Bone yang Sangat Fleksibel hingga 200.000 Kali Lipat
-
Xiaomi Pad 7S Pro Resmi Meluncur, Usung Chip Baru Xring 01 dan Fast Charging 120 Watt
-
Gemakan #SuaraParaJuara Versimu! Ikuti Kompetisi Menulis AXIS Nation Cup 2025, Menangkan Hadiahnya!
-
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Amikom Promosikan Mahika Villas Sleman
-
Webtoon ke Anime: Mercenary Enrollment Resmi Dapatkan Adaptasi