Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | ryan farizzal
Poster film Twisters (IMDb)

Twisters adalah salah satu film yang paling dinanti bulan Juli, terutama buat penggemar film bencana dan aksi spektakuler.

Sebagai soft reboot sekuel dari Twister (1996), film ini berusaha menghadirkan nostalgia dengan modernisasi efek visual dan cerita yang lebih kekinian. Hasilnya? Secara teknis, film ini memukau, tapi dari sisi cerita agak datar dan kurang greget dibanding pendahulunya.

Cerita Twisters berfokus pada Kate Cooper (Daisy Edgar-Jones), mantan pemburu badai yang trauma setelah pengalaman buruknya.

Namun, dia terpaksa kembali ke dunia itu ketika temannya, Javi (Anthony Ramos), mengajaknya bergabung dengan tim baru yang mencoba hack sistem tornado menggunakan teknologi canggih. Nah, di tengah misi mereka, muncul juga sosok Tyler Owens (Glen Powell), influencer badai yang nekat dan suka cari sensasi.

Plotnya gak terlalu rumit—tim ilmuwan vs. tornado ganas—dan emang lebih banyak fokus ke aksi daripada pengembangan karakter.

Beberapa konflik terasa dipaksakan, kayak rivalitas antara tim Kate dan Tyler, yang sebenarnya bisa digali lebih dalam tapi cuma jadi bumbu penyedap doang. Tapi ya, kalau cari film yang santai, seru, dan gak perlu mikir berat, Twisters masih layak ditonton.

Review Film Twisters

Salah satu adegan di film Twisters 2024 (IMDb)

Kalau ada satu hal yang bikin Twisters worth it, itu pasti efek visualnya. Tornado-tornado di sini beneran bikin merinding—besar, brutal, dan terasa sangat nyata. Adegan kejar-kejaran dengan angin puting beliung, reruntuhan beterbangan, sampai mobil terlempar seperti mainan bikin tegang dan nge-glue mata di layar.

Hal yang bikin lebih keren, film ini pake mix antara CGI dan efek praktis, jadi lebih immersive. Aku bisa lihat detail angin yang memutar debu, hujan es, sampai bagaimana rumah-rumah hancur berantakan. Salut buat tim efek khususnya!

Daisy Edgar-Jones sebagai Kate Cooper lumayan bagus, dia berhasil bawa emosi karakter yang punya luka masa lalu. Glen Powell juga charisma-nya gak diragukan lagi—dia cocok banget jadi Tyler, si pemburu badai yang thrill-seeker dan sok pede. Chemistry mereka berdua sebenarnya promising, tapi sayang gak dieksplor lebih jauh.

Anthony Ramos sebagai Javi cukup lucu dan jadi comic relief, tapi lagi-lagi, karakternya gak terlalu berkembang. Beberapa anggota tim lain bahkan cuma jadi filler dan gak bikin aku sebagai penonton peduli sama nasib mereka. Padahal, kalau dikasih backstory sedikit aja, mungkin ceritanya bakal lebih berkesan lho.

Buat yang udah nonton Twister (1996), pasti bakal nemuin beberapa easter egg dan homage ke film original. Tapi Twisters gak cuma mengandalkan nostalgia—film ini berusaha berdiri sendiri dengan teknologi dan gaya bercerita yang lebih fresh.

Sayangnya, film ini kehilangan charm pendahulunya yang punya chemistry kuat antara Bill Paxton dan Helen Hunt. Juga, Twister dulu lebih grounded dan fokus pada ilmu pengetahuan, sedangkan Twisters lebih ke aksi dan spectacle. Gak salah sih, tapi rasanya ada sesuatu yang kurang.

Soundtrack-nya solid, dengan musik yang membangun tensi pas adegan-adegan tegang. Suara angin, gemuruh, dan efek surround-nya bikin bioskop bergetar—worth it banget kalau nonton di IMAX atau Dolby Atmos.

Twisters tuh mirip banget sama roller coaster—seru, ngebut, dan bikin deg-degan, tapi begitu selesai, kamu mungkin bakal lupa juga beberapa jam kemudian. Film ini sukses sebagai popcorn movie dengan efek visual epik dan aksi yang edge-of-your-seat, tapi sayangnya kurang dalam hal cerita dan karakter.

Dari segi rating aku beri 7/10 karena menurutku karakternya kurang berkembang, plot agak tipis, dan juga kurang emotional depth.

Kalau kalian suka film bencana atau pengin lihat tornado menghancurkan segala sesuatu dengan cara spektakuler, Twisters worth it buat ditonton di bioskop. Tapi kalau kamu mencari cerita yang dalam dan berat, mungkin bisa cari film lain deh.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

ryan farizzal