Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Athar Farha
Poster Film Dokumenter: Sugarcane (IMDb)

Entah harus mulai dari mana. Rasanya terlalu banyak yang ingin diceritakan setelah nonton Sugarcane, dokumenter yang memaksa penontonnya untuk menelan pil pahit sejarah. Ibaratnya bukan hanya kisah tentang ketidakadilan, nggak cuma potret penderitaan masa lalu, tapi juga luka yang terus menganga hingga hari ini. Rasanya tuh, sampai detik ini masih merasakan beratnya atmosfer film ini, bahkan setelah layar sudah lama gelap.

Julian Brave NoiseCat dan Emily Kassie, dua sutradara yang menggarap dokumenter ini, mencoba membuka kembali luka lama yang selama ini disembunyikan. 

Julian Brave NoiseCat ada hubungan pribadi dengan tempat ini lho. Ayahnya, Ed Archie NoiseCat, adalah salah satu murid di sana (lahir). Namun, lebih dari sekadar murid, Ed adalah bukti hidup dari kejahatan yang terjadi di balik tembok sekolah itu.

Ya, Ed Archie NoiseCat lahir dari pemerkosaan yang dilakukan seorang pendeta terhadap ibunya yang dulu merupakan siswi di sana. Dan sayangnya, Ed bukan satu-satunya anak yang lahir dari peristiwa mengerikan semacam itu.

Mengetahui kilas balik itu, rasanya begitu tragis. Memangnya dokumenter ini mengisahkan tentang apa? Sini kepoin bareng!

Sekilas tentang Sugarcane

Pertama kali tayang di Festival Film Sundance pada 20 Januari 2024, Film Sugarcane membukanya dengan tempat yang sunyi, sepi tapi terasa seperti menyimpan suara-suara masa lalu yang menjerit. 

St. Joseph’s Mission, yang berdiri dari 1867 hingga 1981, kini hanya tinggal kenangan. Namun, kenangan itu bukanlah sesuatu yang ingin diingat dengan senyum. 

Sebuah patung Maria berdiri di sana, bercak merah darah menghiasi permukaannya, seakan-akan menjadi saksi bisu dari kejahatan yang dilakukan atas nama agama. Pemandangan ini seperti ngasih peringatan awal dan apa yang akan terungkap dalam film ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicerna.

Nah, di St. Joseph’s Mission, sekolah lebih mirip seperti penjara, bahkan mungkin lebih buruk dari itu. Anak-anak Indian dipaksa tinggal di sana, menjadi bagian dari sistem pendidikan yang katanya dibuat untuk membimbing mereka, padahal pada kenyataannya, sekolah itu adalah alat asimilasi paksa, pabrik penghancur identitas, dan lebih dari itu, panggung buat kekejaman yang nggak terbayangkan.

Nonton sendiri deh buat tahu lebih banyak, Sobat Yoursay!

Impresi Selepas Nonton Sugarcane 

Mendengar cerita-cerita dari para penyintas, aku merasa dadaku semakin berat. Mereka berbagi kisah yang nggak mungkin dihapus dari ingatan. Banyak dari mereka yang kehilangan teman-teman—anak-anak yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. 

Ternyata, mereka nggak menghilang begitu saja. Pada 2021, ratusan kuburan tanpa tanda ditemukan di area bekas sekolah itu. Fakta itu seakan-akan membenarkan semua rumor yang selama ini beredar: Anak-anak nggak pernah pergi, tapi mereka dibunuh, dikubur diam-diam, dan dihapus dari sejarah dengan begitu saja!

Lalu ada Charlene Belleau, penyintas yang sekarang mendedikasikan hidupnya untuk mencari keadilan. Bersama Whitney Spearing, menggali lebih dalam, mewawancarai para korban, mengumpulkan bukti, mencoba memahami betapa dalam luka yang ditinggalkan tempat itu. 

Saat Charlene mengunjungi bangunan tua tempat murid-murid pernah dikurung, aku bisa melihat air matanya jatuh. Nama anak-anak terukir di dinding, tapi yang paling menyakitkan adalah bagaimana mereka nggak dipanggil dengan nama mereka. Mereka diberi nomor, seolah-olah bukan manusia, tapi barang, sesuatu yang bisa dibuang begitu saja. Hiks!

Asli deh! Film ini nggak hanya tentang kejahatan masa lalu. Ini juga tentang bagaimana trauma itu bertahan, bagaimana efeknya merembet ke generasi berikutnya. 

Para penyintas yang berhasil keluar dari sekolah itu membawa luka yang nggak bisa sembuh. Banyak yang depresi dan memilih mengakhiri hidup karena nggak sanggup lagi menanggung beban kenangan. Bahkan bagi mereka yang bertahan, kehidupan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani. 

Seperti halnya Ed, ayah Julian Brave NoiseCat. Luka masa kecilnya begitu dalam hingga dirinya memilih meninggalkan Julian ketika masih kecil. Trauma itu nggak hanya menghancurkan dirinya sendiri, tapi juga orang-orang di sekitarnya.

Namun, yang paling mengganggu adalah bagaimana dunia menangani tragedi ini. Permintaan maaf datang, tapi tanpa tindakan nyata. Salah satu narasumber di film ini, Rick Gilbert, mantan kepala Williams Lake First Nation, tetap berpegang pada kepercayaannya pada Katolik meskipun dia juga seorang penyintas.

Suatu ketika, Paus Fransiskus mengundangnya dan beberapa perwakilan Indian lainnya ke Vatikan untuk menyampaikan permintaan maaf secara langsung. Namun, apa yang terjadi setelahnya? Setelah pidato itu selesai, Paus mengakhiri dengan santai, "Bye bye!" seolah-olah itu hanya pertemuan biasa dan kata-kata saja sudah cukup untuk menebus apa yang telah terjadi.

Pada akhirnya, film ini nggak ngasih jawaban yang mudah. Nggak berusaha menutup luka dengan harapan palsu atau solusi instan. Sebaliknya, membiarkan luka itu terbuka, membuat kita sebagai penonton merasakan ketidakpuasan, kemarahan, dan kesedihan yang sama seperti yang dirasakan komunitas Indian selama ini.

Mungkin itu memang tujuan dari film ini. Bukan untuk ngasih resolusi yang nyaman, tapi buat mengingatkan kalau beberapa luka nggak bisa sembuh hanya dengan kata-kata.

Skor: 4/5

Athar Farha