Ada yang pernah ngerasa hidupnya kayak sinetron komedi? Teman-teman konyol, kerjaan absurd, dan keluarga yang nggak kalah nyentrik? Kalau kamu bisa relate, kemungkinan besar kamu akan jatuh cinta sama novel Break a Leg! karya Umi Astuti.
Di tengah gempuran drama Korea dan film Netflix yang manis-manis tapi kadang nggak masuk akal, novel ini datang membawa cerita yang down to earth, lucu, tapi juga menyentuh. Bukan kisah cinta ala pangeran tampan dan gadis biasa, tapi tentang perempuan karier bernama Angesti Niswara yang hanya ingin satu hal: hidup yang serius.
Sayangnya, dunia nggak selalu kasih yang kita mau. Angesti, yang kerja sebagai Program Director di sebuah stasiun televisi, merasa dikelilingi orang-orang yang terlalu banyak bercanda. Mulai dari sahabatnya, Bima, yang suka maksa dia kenalan sama cowok absurd, sampai rekan kerja dan keluarganya yang suka sok tahu soal jodoh.
Usianya sudah 28 tahun. Bukan soal takut jadi “perawan tua” sih, tapi dia ingin punya pasangan yang bisa diajak berpikir dewasa, ngobrol serius, dan tumbuh bersama. Harapannya muncul ketika dia dikenalkan dengan Adam—tapi ternyata Adam juga bukan tipe serius yang dia cari.
Sampai akhirnya Angesti mendengar nama Farhan Afriandi, pejabat Komisi Penyiaran Indonesia yang dikenal kalem dan cerdas. Lewat Twitter, Angesti mulai mengamati, lalu memberanikan diri menyapa. Tapi jelas, PDKT sama orang pendiam yang nggak kenal kamu itu butuh usaha ekstra. Dan di sinilah cerita jadi menarik: usaha Angesti, keteguhannya, dan keabsurdan yang tetap mengiringinya.
Relate, Lucu, dan Tetap Punya Makna
Kekuatan utama novel ini ada pada gaya penceritaannya. Umi Astuti menulis dengan ringan, penuh humor, tapi tetap menyimpan refleksi yang dalam. Kita nggak hanya diajak ketawa melihat kelakuan Bima dan geng-nya, tapi juga diajak mikir: “Apakah kita terlalu serius soal jodoh?” atau “Apakah kita terlalu berharap dunia ini masuk akal?”
Cerita disampaikan dari sudut pandang Angesti, yang membuat kita merasa dekat dengan pikirannya. Rasanya seperti mendengar curhat sahabat sendiri—tentang dilema usia, pilihan hidup, dan lelahnya jadi “yang paling waras” di tengah lingkungan yang nggak pernah serius.
Umi juga menyelipkan isu-isu sosial yang relevan: tekanan untuk menikah di usia tertentu, ekspektasi perempuan di dunia kerja, dan bahkan bagaimana media sosial membentuk cara kita melihat orang lain. Semuanya dibungkus secara halus tanpa menggurui.
Karakter yang Menyala
Salah satu hal paling menyenangkan dari Break a Leg! adalah karakter-karakter pendukungnya. Meskipun cerita berfokus pada Angesti, para tokoh di sekitarnya punya warna dan keunikan masing-masing. Dari sahabat yang usil tapi setia, sampai bos nyentrik yang suka nyambungin semua masalah ke soal jodoh.
Tapi tentu, highlight-nya tetap ada pada perjuangan Angesti sendiri. Ia bukan perempuan yang dramatis, tapi juga bukan yang terlalu “kuat dan mandiri sampai nggak butuh siapa-siapa”. Dia realistis, punya luka dan ketakutan, tapi tetap bisa menertawakan dirinya sendiri.
Namun, satu hal yang mungkin jadi catatan: karakter Farhan terasa agak kurang tergali. Sebagai love interest, kehadirannya baru benar-benar terasa di bagian akhir, yang menurut beberapa pembaca terasa agak terburu-buru. Padahal, chemistry antara mereka punya potensi untuk dikembangkan lebih dalam.
Untuk Siapa Buku Ini?
Buat kamu yang lagi bosan sama romansa yang terlalu sempurna, Break a Leg! bisa jadi penyegar. Ceritanya cocok untuk pembaca usia 20-an hingga awal 30-an yang sedang menghadapi tekanan soal “kapan nikah” tapi tetap ingin menjalaninya dengan kepala dingin dan hati ringan.
Novel ini juga cocok dibaca saat kamu butuh pelarian dari dunia nyata yang kadang melelahkan, tapi bukan pelarian yang terlalu jauh. Karena cerita Angesti justru dekat dengan realitas kita: tekanan sosial, dunia kerja yang rumit, pencarian pasangan yang nggak gampang, dan orang-orang di sekitar yang—seaneh-anehnya—selalu kita rindukan.
Kesimpulan: Antara Serius dan Konyol, Hidup Harus Tetap Dijalani
Break a Leg! adalah pengingat bahwa hidup memang nggak selalu ideal. Kadang kita harus tertawa di tengah kekacauan, jatuh cinta sama orang yang nggak kita duga, dan menerima bahwa mungkin jodoh bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang siapa yang bisa menemani di tengah semua kekonyolan itu.
Kalau kamu sedang mencari bacaan yang bisa bikin ketawa, mikir, dan merasa dilihat sebagai perempuan yang nggak sempurna tapi tetap berdaya—novel ini layak banget untuk kamu baca.
Dan setelah membaca ini, aku cuma mau tanya satu hal: Menurutmu, jodoh itu harus serius, atau cukup bisa tertawa bersama?
Baca Juga
-
Menelusuri Jejak Detektif Dunia: Pengalaman Membaca Auguste Dupin
-
Unfinished Fate: Ketika Cinta Tak Sempat Dikenal tapi Harus Dijalani
-
Nerdy Girl: Luka Masa Lalu, Cermin Diri, dan Cinta yang Butuh Keberanian
-
Take My Hand: Cerita Tentang Luka yang Dipeluk, Bukan Disembunyikan
-
Mickey 17: Ketika Mati Jadi Rutinitas dan Hidup Tak Lagi Sakral
Artikel Terkait
-
Unfinished Fate: Ketika Cinta Tak Sempat Dikenal tapi Harus Dijalani
-
Nerdy Girl: Luka Masa Lalu, Cermin Diri, dan Cinta yang Butuh Keberanian
-
Ulasan Novel Paradoks Bingar: Ketua Geng yang Takut Tampil di Lapangan
-
Tak Harus Tinggi untuk Berarti: Kisah Wanita yang Ingin Jadi Pohon Semangka
-
Ulasan Novel The Paragon Plan: Persaingan Tiga Aktris untuk Peran Utama
Ulasan
-
Menelusuri Jejak Detektif Dunia: Pengalaman Membaca Auguste Dupin
-
Review Public Disorder, Kehidupan Keras Polisi Italia Menghadapi Huru-Hara
-
Lepas Topeng, STAYC Lawan Standarisasi Masyarakat di Lagu 'BEBE'
-
Punya Judul Unik, Ini Makna di Balik Lagu Debut NouerA "N.I.N (New is Now)"
-
Review Film Another Simple Favor: Lebih Gila dan Lebih Glamor
Terkini
-
Penuh Ledakan Energi, RIIZE Pacu Semangat Lewat Track Video Ember to Solar
-
Alon-alon Waton Kelakon: Benarkah Prinsip Ini Bikin Orang Jawa Hidup Malas?
-
V, Jungkook dan Song Kang Hebohkan Fans karena Foto Bersama di Tempat Gym
-
Absen Lawan Cina, 3 Pemain Ini Bisa Gantikan Posisi dari Marselino Ferdinan
-
Puncaki Box Office, Thunderbolts* Debut Rendah Dibanding Film Marvel Lain