Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Athar Farha
Poster Film The Surfer (IMDb)

Nicolas Cage tuh aktor paling nggak bisa ditebak di jagat perfilman. Kadang dia muncul di film yang absurdnya kayak mimpi pas demam tinggi, kadang juga dia nongol di film indie yang bikin kita mikir berhari-hari. Nah, Film The Surfer ini jatuhnya di kategori kedua, meskipun tetap saja ada sisi "Cage gila"-nya yang khas. 

Disutradarai Lorcan Finnegan, yang sebelumnya bikin ‘Vivarium’ dan ‘Nocebo’, Film The Surfer' kayak mimpi buruk yang sepi, dingin, dan ngajak kita mikir, kapan harga diri berubah jadi obsesi?

Penasaran, kan? Sini kepoin lagi!

Sekilas tentang Film The Surfer

Film ini begitu indah dengan latar pantai di Australia. Ya, sedap dipandang dan bikin adem sih. Mengisahkan sosok pria, The Surfer (sepanjang film sebenarnya nggak disebut namanya, diperankan Nicolas Cage) datang bareng anak laki-lakinya dari Amerika. Tujuannya? Nostalgia—surfing di pantai masa kecil dan mencoba membeli balik rumah keluarganya yang dulu pernah dia tinggalkan karena tragedi.

Eh, ternyata pantai itu sudah dikuasai sekelompok peselancar muda yang arogan, yang dipimpin Scally (Julian McMahon) dan menganggap diri mereka penguasa pantai. Mereka menolak The Surfer' buat berselancar, bahkan mempermalukannya di depan orang banyak.

The Surfer bukannya pergi, malah makin keras kepala. Dia ngotot mau tetap di sana, tidur di mobil, hidup seadanya, dan tiap hari balik ke pantai meski cuma buat ditendang balik. Dari situ, cerita berubah jadi lebih dalam. Kita nggak lagi melihat konflik antar manusia, tapi konflik dalam batin—tentang identitas, harga diri, dan kehancuran mental.

Impresi Selepas Nonton Film The Surfer

Dari detik awal film ini mulai, aku sudah merasa suasananya berbeda. Pantai yang biasanya identik sama kedamaian, di sini malah jadi kayak medan perang. Bukan perang fisik saja, melainkan perang psikologis. Aku ikutan cemas tiap kali The Surfer' mendekati laut, karena tahu dia bakal diusir. Anehnya, aku juga ngerti kenapa dia nggak mau pergi.

Biarpun di awal-awal, aku nggak langsung simpati. Justru aku dibuat ragu, kenapa dia segigih itu? Apa motifnya cuma karena ego? Atau karena dia benar-benar kehilangan arah dalam hidup?

Film ini juga pintar banget memainkan waktu dan ruang. Beberapa adegan seolah-olah mengulang, tapi justru dari pengulangan itu, kita bisa lihat degradasi mental Cage. Aku jadi mikir, mungkin ini bukan soal pantai lagi, tapi seseorang yang sudah nggak punya tempat pulang, dan satu-satunya yang bisa dia lawan adalah rasa "ditolak".

Julian McMahon sebagai Scally juga tampil oke, walaupun karakternya nggak digali terlalu dalam. Cukup buat bikin aku jengkel dan merasa kesal tiap dia muncul. Dia kayak personifikasi dari "gatekeeper" dunia yang nggak ramah bagi orang tua, orang asing, atau siapa pun yang sudah dianggap "usang".

Secara visual, film ini cakep banget. Sinematografi dari Radek Ladczuk bikin pantai terasa seperti tempat asing. 

Kutegaskan ya. Sobat Yoursay jangan berharap Film The Surfer jadi film tentang surfing yang seru dan penuh petualangan. Ini bukan kisah "rekonsiliasi ayah dan anak" yang hangat. Ini tuh semacam studi karakter yang suram, tentang manusia yang kehilangan tempat, harga diri, dan akal sehat.

Apakah aku suka film ini? Iya, meskipun bukan tipe film yang ingin aku tonton ulang dalam waktu dekat. Buat Sobat Yoursay yang ingin nonton, sabar dulu yak! Semoga tembus kayar bioskop Indonesia. 

Skor: 3,4 dari 5

Athar Farha