Di tengah derasnya kisah cinta urban dan fantasi metropolis dalam dunia sastra populer Indonesia. Kehadiran sebuah novel dwilogi yang memukau karena kesederhanaannya yang menyentuh membawa angin segar dan daya pikat tersendiri.
Kembara Rindu karya Habiburrahman Elshirazy, atau akrab disapa sebagai Kang Abik merupakan penulis populer Indonesia di genre romansa dan spiritual. Buku-bukunya yang bernapaskan islam selalu menempati rak best seller.
Terdiri dari 2 seri, yakni bertajuk Kembara Rindu dan Suluh Rindu. Mengambil latar tempat di Lampung Barat, novel ini menyuguhkan kisah seorang pemuda bernama Ridho yang memilih untuk kembali dan mengabdi pada kampung halamannya—sebuah pilihan yang tak lagi populer di era mobilitas dan ambisi pribadi.
Ridho, atau akrab disebut Udo Ridho, bukan tokoh heroik dalam pengertian konvensional. Ia bukan pejuang bersenjata atau pemilik kekuasaan. Justru sebaliknya: Ridho adalah pemuda yang mendekap nilai-nilai lama—kesabaran, ketekunan, dan akhlak santun—yang kini terasa langka dalam arus zaman. Ia adalah suara lirih dari daerah yang kerap terlupakan, yang memilih jalan pulang di saat banyak orang justru berlomba-lomba pergi.
Novel yang Menyuarakan Desa dan Derita
Habiburrahman Elshirazy menulis Kembara Rindu dengan napas sastra yang hangat dan detail lokal yang kuat. Ia tidak hanya menceritakan seorang tokoh, tapi juga menghidupkan sebuah kampung, lengkap dengan aroma tanah, gelisah warganya, dan kerumitan hidup sehari-hari. Di tangan Habiburrahman Elshirazy, kampung bukan sekadar latar—ia adalah tokoh yang hidup, bernapas, dan berkonflik.
Dwilogi ini banyak menyentuh fenomena sosial yang akrab dengan kehidupan masyarakat kita: persoalan warisan yang memecah keluarga, utang piutang yang menjerat harga diri, dan egoisme manusia yang tanpa sadar menyakiti orang di sekitarnya. Semua itu ditulis tanpa menggurui, tapi dengan liris dan empati.
Dalam salah satu bagian paling menyayat, Ridho menghadapi sikap keras saudara sendiri atas persoalan waris. Ia tetap memilih diam dan sabar, bukan karena lemah, tapi karena meyakini bahwa kebaikan tak perlu gaduh. Inilah kekuatan Kembara Rindu: ia mengajarkan kebijaksanaan lewat keheningan.
Kembara yang Tak Selalu Perlu Jauh
Dwilogi ini juga menantang pembaca untuk melihat ulang makna “kembara.” Dalam budaya populer, pengembaraan identik dengan pergi jauh—melancong, merantau, meninggalkan kampung halaman. Namun Ridho menunjukkan bahwa kembara sejati kadang justru dimulai dengan pulang. Bahwa perjuangan bisa hadir dalam bentuk memperbaiki kampung sendiri, menjaga ladang warisan, dan menyiram kebun dengan harapan.
Habiburrahman Elshirazy menyisipkan banyak nilai religius dan refleksi spiritual dalam novel ini. Namun semua itu hadir secara halus dan mengalir, tidak didaktik. Justru di situlah kekuatan narasi: pembaca diajak merenung, bukan diarahkan.
Karya untuk Jiwa yang Letih
Dwilogi Kembara Rindu cocok dibaca siapa saja yang mulai lelah dengan dunia yang serba cepat. Ia menawarkan keheningan, kesabaran, dan makna tentang pulang yang jarang kita temukan dalam bacaan modern. Udo Ridho bukan pahlawan revolusioner, tapi ia menginspirasi dengan keteguhan dan akhlaknya yang kokoh seperti akar kopi di pegunungan Lampung.
Banyak nilai-nilai moral yang terlupakan di era sekarang. Bahkan di kalangan yang mengaku beragama islam sekalipun. Seperti adab berhutang dan mengembalikan hutang. Terutama di era maraknya pinjam online dan pay later yang kian disepelekan.
Di saat banyak novel memilih membangun dunia baru, Habiburrahman Elshirazy mengajak kita kembali ke desa—dan menanyakan satu hal: masihkah kita ingat jalan pulang?
Baca Juga
-
Danantara dan Semangat Investasi Rp26 Triliun: Profesional atau Spekulatif?
-
Mengenang 1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan: Sejauh Mana Keadilan Kian Menepi?
-
Rumitnya Kisah Love-Hate Relationship di Webtoon "Cry, or Better Yet, Beg"
-
Tambang di Raja Ampat: Ketika Pengecualian Jadi Jalan Resmi
-
Pantai Sendang Biru: Seribu Spot Ikan di Gerbang Menuju Pulau Sempu
Artikel Terkait
-
Jajanan Zenitendo Dicuri Orang? Kelanjutan Toko Jajanan Ajaib Zenitendo 5
-
Adu Jajanan Ajaib! Zenitendo vs Tatarimedo di Toko Jajanan Ajaib Zenitendo 4
-
Park Chan-wook Bertekad Ingin Adaptasi Novel dari Peraih Nobel Han Kang
-
Review Novel Masquerade Hotel, Penyelidikan Kasus Pembunuhan Berantai Sebuah Hotel
-
Ulasan Novel The Humans, Sebuah Perenungan dari Sudut Pandang Alien
Ulasan
-
Buku 'Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja', Teman saat Kamu Merasa Sendiri
-
SHINee Pecahkan Teka-teki Cinta yang Rumit di Lagu Enerjik "Code"
-
Ulasan Pump Up the Healthy Love: Ketika Patah Hati Berujung Cinlok di Gym
-
Review Buku Stop Mempersulit Diri, Panduan Ringan untuk Menyederhanakan Hidup
-
Ulasan Buku Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu: Ketika Rasa Lelah Tak Lagi Terdengar
Terkini
-
Piala Asia U-23: Menanti Debut Gerald Vanenburg, Saatnya Buktikan Kapasitas
-
10 Rekomendasi Laptop Asus Mahasiswa: Budget Aman, Spek Menawan
-
4 Look Minimalis Stylish ala Rei IVE, Dominasi Putih yang Anti-Gagal!
-
Siap! Jorge Martin Tinggal Tunggu Keputusan Medis untuk Kembali ke MotoGP
-
Lee Jung-jae Spoiler Ending Squid Game 3, Minta Penonton untuk Bersiap