Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Athar Farha
Poster Film Life After (IMDb)

Ini soal dunia, saat keputusan hidup atau mati bukan hanya soal medis, tapi juga soal bagaimana dunia memandang keberadaanmu. Di sinilah ‘Life After’ menempatkan diriku sebagai penonton, yang nggak hanya sebagai pengamat, tapi juga jadi bagian dari dialog yang mendalam dan kompleks tentang disabilitas, nilai hidup, dan kebijakan negara.

Sutradara Reid Davenport kembali dengan pendekatan dokumenter yang personal dan politis nih. Kali ini, dia menyelami topik assisted suicide atau bantuan medis untuk mengakhiri hidup (istilahnya MAID di Kanada), dan bagaimana kebijakan ini secara langsung berdampak pada individu disabilitas.

Sinopsis Film Life After

Pertama kali tayang di Sundance pada 27 Januari 2025, dan rilis bioskop terbatas pada 18 Juli 2025. Nah, film dibuka dengan arsip rekaman dari tahun 1980-an, memperlihatkan Elizabeth Bouvia (perempuan dengan cerebral palsy dan arthritis) yang mengajukan gugatan ke pengadilan di California.

Dia memohon hak untuk mati dengan tenang, setelah merasa hidupnya dipenuhi penderitaan fisik tanpa akhir. Namun, rumah sakit menolaknya dan malah memaksanya hidup dengan cara yang dia sendiri tolak (dipaksa makan melalui selang). 

Dari titik itu, Sutradara Reid Davenport memperluas cakupan ceritanya, mengangkat berbagai kisah nyata dari orang-orang yang hidup dengan disabilitas, keluarga mereka, dan aktivis yang mempertanyakan moralitas dan etika dari kebijakan MAID. Fokus utamanya adalah amandemen hukum C-7 di Kanada, yang memperluas hak untuk bunuh diri medis bahkan buat mereka yang nggak sedang dalam kondisi terparah. 

Lewat wawancara, footage arsip, hingga rekaman emosional yang intens, film memperlihatkan sisi-sisi manusiawi dari isu yang seringkali dibicarakan secara teknis dan kaku dalam ruang-ruang kebijakan.

Review Film Life After 

Jujurly, aku merasa Film Life After nggak sebatas menantang logika, tapi juga menyudut empati. Salah satu segmen paling menyentuh buatku adalah kisah Michael Hixon, pria dari Austin yang mengalami cidera otak hingga buta dan lumpuh sebagian. Rumah sakitnya ingin menghentikan semua perawatan.

Namun, dalam rekaman percakapan antara sang istri, Melissa, dan dokter, terdengar jelas bagaimana persepsi “quality of life” telah diputuskan sepihak sama sistem yang nggak siap (atau nggak mau) merawat orang-orang seperti Michael.

Dari scene ini, bisa kutangkap pesan dari Reid Davenport, yakni: Bahwa di balik kebijakan “pilihan damai untuk mati”, tersembunyi logika sistem yang malas berinvestasi dalam perawatan jangka panjang untuk orang-orang disabilitas. 

Dari setiap cuplikan yang tersaji, Reid Davenport sama sekali nggak bersikap netral. Jelas banget kalau dirinya berpihak. Cuma, ya, dia nggak menutup ruang untuk perdebatan. Bagian akhir film ngasih ruang buat kita berdiskusi panjang soal hidup dan mati, dipilih atau sengaja nggak memilih hidup. 

Dengan narasi yang jujur, sinematografi yang nggak sensasional, dan topik yang sangat relevan, ‘Life After’ jelas jadi film dokumenter yang terasa penting sekaligus berat. 

Bukan jenis tontonan yang mudah dicerna sih, apalagi buat penonton yang biasa disuguhi dokumenter yang ringan atau penuh narasi dramatis. Film ini lebih memilih untuk menyampaikan kenyataan secara gamblang, tanpa banyak polesan. 

Sekali lagi, ini dokumenter yang jujur. Nggak berusaha membingkai kenyataan dengan cara yang nyaman, tapi tetap manusiawi dan apa adanya. Hanya saja, aku sadar betul kalau pangsa pasarnya memang terlalu segmented, atau bahkan bisa dibilang terlalu niche. Jadi mungkin nggak semua orang bakal merasa “klik” saat menontonnya. 

Namun, buatku pribadi, dokumenter ini tetap layak banget ditonton, terutama buat Sobat Yoursay yang siap membuka diri dan mau melihat dunia dari sudut yang jarang disorot.

Selamat nonton, ya!

Skor: 3,9/5

Athar Farha