Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Rial Roja Saputra
Cover Novel The Picture of Dorian Gray. (goodreads.com)

Bayangkan jika setiap kebohongan kecil, setiap momen keegoisan, dan setiap pikiran buruk yang kita sembunyikan tidak hilang begitu saja, melainkan membekas pada sebuah potret rahasia. Inilah kengerian abadi yang ditawarkan oleh novel klasik Oscar Wilde, The Picture of Dorian Gray.

Lebih dari seabad setelah ditulis, karya ini terasa bukan lagi seperti fiksi gotik, melainkan sebuah ramalan yang menakutkan tentang obsesi era modern terhadap citra.

Lukisan sebagai Feed Instagram Abadi

Inti dari novel ini adalah sebuah tawar-menawar Faustian yang sangat modern.

Dorian Gray, seorang pemuda yang luar biasa tampan, berharap agar dirinya bisa selamanya muda dan rupawan, sementara lukisan potret dirinyalah yang akan menanggung beban usia dan dosa.

Itu adalah gagasan yang luar biasa segar jika kita melihatnya dari kacamata masa kini. Lukisan itu pada dasarnya adalah feed Instagram atau profil digital abadi milik Dorian.

Sementara Dorian di dunia nyata tampil sempurna, bebas dari kerutan dan noda, potret yang ia sembunyikan di loteng menjadi semakin mengerikan.

Setiap perbuatan kejam dan hedonistik yang ia lakukan mengubah senyum di lukisan itu menjadi seringai sinis, dan menambahkan gurat-gurat kebusukan pada kanvas.

Oscar Wilde secara jenius menggambarkan perpecahan antara citra publik yang dijaga dengan sempurna dan realitas jiwa yang membusuk dalam kesunyian.

Lord Henry Wotton, Influencer Hedonisme Pertama

Dorian Gray tidak sendirian dalam perjalanannya menuju kehancuran moral. Ia memiliki seorang pembisik, seorang mentor yang karismatik bernama Lord Henry Wotton.

Jika kita memandangnya dengan lensa modern, Lord Henry adalah influencer hedonisme pertama di dunia. Ia tidak pernah menyuruh Dorian melakukan kejahatan secara langsung.

Sebaliknya, ia membekali Dorian dengan serangkaian kutipan cerdas, filosofi yang menggoda, dan pandangan hidup yang menempatkan pencarian kenikmatan dan keindahan di atas segalanya.

Ia adalah suara di telinga Dorian yang mengatakan bahwa satu-satunya hal yang layak dikejar di dunia ini adalah pengalaman baru, tanpa memedulikan konsekuensi moralnya.

Persis seperti pengaruh beberapa figur di dunia maya saat ini, Lord Henry membuat gaya hidup yang merusak diri sendiri tampak begitu elegan, intelektual, dan sangat menarik.

Dosa Bukan Lagi Pelanggaran, Melainkan Kerusakan Estetika

Di sinilah letak pergeseran etika yang paling fundamental dalam diri Dorian. Novel ini memberikan sebuah ide baru yang mengerikan, yaitu dosa tidak lagi dinilai dari dampaknya terhadap orang lain, melainkan dari dampaknya terhadap keindahan.

Dorian tidak merasa bersalah karena telah menghancurkan hidup seorang gadis muda. Ia merasa ngeri karena perbuatannya itu membuat lukisannya tampak lebih kejam. Ia tidak menyesali sebuah pembunuhan karena nyawa seseorang telah hilang.

Ia panik karena noda darah metaforis muncul di tangan potretnya. Kompas moralnya telah sepenuhnya digantikan oleh kompas estetika. Sebuah tindakan dianggap salah bukan karena ia jahat secara inheren, tetapi karena ia menghasilkan keburukan rupa. Ini adalah cerminan yang menakutkan dari sebuah kultur yang terkadang lebih peduli pada penampilan luar dari sebuah tindakan daripada substansi moral di dalamnya.

Kehancuran Tak Terhindarkan: Jiwa Tak Bisa Di Photoshop

Pada puncaknya, Dorian yang sudah tidak tahan lagi melihat potret jiwanya yang mengerikan memutuskan untuk menghancurkannya. Ia berharap dengan menikam kanvas itu, ia bisa menghapus semua jejak kejahatannya dan memulai hidup baru. Namun, Wilde memberikan kita sebuah akhir yang brutal dan tak terhindarkan.

Dalam usahanya menghancurkan bukti kebusukannya, Dorian justru menghancurkan dirinya sendiri. Moral dari cerita ini begitu kuat dan relevan, yaitu jiwa tidak bisa di-Photoshop.

Tidak ada jalan pintas untuk menghapus konsekuensi dari pilihan-pilihan kita. Upaya untuk memisahkan diri dari perbuatan kita, untuk hidup dalam kepalsuan yang indah sementara kebenaran membusuk di tempat lain, pada akhirnya akan gagal. Kebenaran akan selalu menemukan cara untuk menampakkan dirinya.

The Picture of Dorian Gray adalah sebuah mahakarya yang melampaui zamannya. Ia adalah sebuah pengingat abadi bahwa di balik setiap upaya kita untuk membangun citra yang sempurna, ada sebuah kebenaran otentik yang menuntut untuk diakui. Di era digital ini, kisah Dorian mengajak kita untuk sesekali berhenti memoles fasad kita dan memeriksa potret asli yang kita simpan di dalam loteng pikiran kita masing-masing.

Rial Roja Saputra