CERPEN: Kafe dan Sore yang Terlalu Sempurna untuk Dibatalkan

Bimo Aria Fundrika | Gita Fetty Utami
CERPEN: Kafe dan Sore yang Terlalu Sempurna untuk Dibatalkan
Ilustrasi Cerpen Kafe (Nano Banana/Gemini AI)

Sore itu Kafe Paragraf sedang ramai-ramainya. Bangku di dalam hampir tak tersisa, sementara meja-meja luar dipenuhi orang-orang yang tampak betah berlama-lama.

Tawa kecil, bunyi sendok beradu dengan cangkir, dan obrolan setengah serius bercampur jadi satu.

Langit cerah. Angin bertiup santai, tak terlalu dingin, tak pula pengap. Sore yang, bagi sebagian orang, terasa sempurna.

Sempurna, justru karena itu, membuat dua perempuan di seberang jalan ragu melangkah.

“Kita beneran mau masuk ke sana?” Shanum bertanya, untuk ketiga kalinya.

Nada suaranya setengah ingin, setengah ingin kabur.

“Kalo sekarang batal,” jawab kawannya tenang, “entah kapan lagi ada kesempatan.”

Shanum menghela napas, lalu mengibaskan rok jeans abu-abunya, seolah membersihkan debu yang sebenarnya tak ada.

Di sebelahnya, perempuan berjilbab kuning, Rin, membenahi tas selempang bertali rantai di bahunya. Gerakan kecil yang menunjukkan kegugupan.

Dari luar, mudah ditebak mereka bukan lagi gadis muda yang masuk kafe tanpa beban. Ada kerut halus di sudut mata, garis samar di dahi, tanda usia yang matang. Mereka saling bertukar pandang, sejenak, seperti mencari alasan terakhir untuk mundur.

“Yok. Nyebrang,” kata Rin akhirnya.

Ia melangkah lebih dulu. Shanum mengikuti, sambil melirik kanan-kiri, entah memastikan jalan aman atau memastikan tak ada orang yang menyadari betapa kaku langkahnya.

Begitu masuk, mereka disambut senyum ramah seorang pelayan muda di konter.

“Selamat datang di kafe kami. Silakan, Ibu, mau pesan apa?” katanya ceria, menunjuk papan menu.

Kata Ibu terdengar biasa saja, tapi entah kenapa membuat Shanum sedikit tersentak.

Mereka berdiri berdempetan, bahu saling menempel, menatap menu seperti sedang membaca peta asing. Nama-nama minuman dan makanan tersusun rapi, dipisahkan kategori, hampir semuanya berbahasa Inggris.

Rin berdehem pelan.

Pelayan itu cepat menangkap kebingungan mereka.

“Untuk minuman kopi ada yang berbasis susu, ada yang murni kopi. Bisa panas atau dingin, ukuran kecil, sedang, atau besar. Kalau tidak suka kopi, ada teh dan jus buah,” jelasnya lancar.

Shanum mengangguk-angguk. “Ooo….”

“Kalau makanan, bisa pilih makanan berat atau camilan. Ada nasi, mi, dan stik daging.”

Penjelasan itu terdengar lengkap. Terlalu lengkap.

Wajah Shanum dan Rin justru makin kusut. Di belakang mereka, antrean mulai terbentuk.

“Maaf, Mbak,” Rin berkata sopan, “kami mau pilih sambil duduk. Boleh?”

Pelayan itu tersenyum dan mengangguk.

Mereka membawa satu menu dan mencari meja kosong tak jauh dari konter. Begitu duduk, Shanum langsung memijat dahinya.

“Rin, aku pusing,” bisiknya. “Lihat ini. Kopi segelas rata-rata dua puluh lima ribu.”

Rin melirik cepat. “Ya dari awal juga kita udah tahu bakal mahal.”

“Iya, sih, tapi tetap aja…”

“Kamu kan setuju mau coba,” potong Rin, meski nadanya tak benar-benar memarahi.

Mereka kembali menekuri menu.

Shanum dan Rin sebenarnya tak istimewa. Mereka ibu rumah tangga biasa. Rutinitasnya nyaris sama: bangun pagi, menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, membersihkan rumah, memasak lagi, mengurus pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.

Anak Shanum dua. Rin tiga. Tak ada asisten rumah tangga. Suami mereka bekerja di proyek yang sama, pegawai biasa. Rumah mereka pun berdekatan.

Hiburan mereka sederhana: mengobrol. Di teras, di dapur, atau di pagar rumah. Topiknya acak—dari harga cabai sampai gosip tetangga,cukup untuk mengusir jenuh.

Beberapa waktu terakhir, Rin merasa ada yang hilang. Perasaan itu ia sampaikan ke Shanum, dan ternyata Shanum pun merasakan hal serupa.

“Num,” kata Rin suatu siang, “aku nonton konten psikolog. Katanya, perasaan capek, kosong, kayak gini tuh tanda kita lupa ngurus diri sendiri.”

“Terus harus gimana?”

“Ya… hibur diri. Hal kecil aja. Jalan, makan, dandan. Apa kek.”

Ide itu sederhana, tapi terdengar menyenangkan. Mereka mulai mengatur kemungkinan—jam, hari, siapa yang jaga anak.

Akhirnya, mereka bicara pada suami masing-masing. Tak langsung mulus. Para lelaki itu heran, tapi akhirnya mengalah dengan catatan: jangan mendadak, jangan kebablasan.

Sejak itu, sesekali Rin dan Shanum pergi berdua. Biasanya makan bakso—murah, aman, akrab. Sampai suatu hari mereka melihat kafe baru tak jauh dari rumah.

“Sekali aja,” kata Rin waktu itu.

Dan sore ini, mereka di sini.

“Aku pesan ini,” kata Rin akhirnya, menunjuk menu. “Ramen. Kayak di drama Korea.”

Shanum mengangguk ragu.

“Minumnya hot coffee with brown sugar… sama air mineral,” tambah Rin, bangga.

Shanum memilih camilan dan iced lemon tea. Setelah bayar, mereka duduk sambil berfoto—selfie cepat, canggung, lalu tertawa sendiri. Foto-foto itu langsung masuk status WhatsApp. Komentar tetangga berdatangan.

Tak lama, pesanan datang.

Rin tampak berbinar melihat ramen-nya. Telur rebus terbelah dua, pakcoy hijau segar, jamur kuping, kuah mengepul.

“Cantik banget,” gumamnya sambil memotret. “Enak, Shan!”

Shanum mencicipi camilannya. Wajahnya langsung berubah.

“Rin,” katanya pelan tapi tajam, “ini pisang goreng.”

Rin berhenti mengunyah.

“Serius?”

“Iya. Pisang diiris, digoreng, dikasih susu cokelat. Aku juga bisa bikin.”

“Yang ini?” Shanum menunjuk piring lain. “Singkong sama bawang goreng. Pake nama Inggris segala.”

Rin hampir tersedak. Ia buru-buru minum. Lalu mencicipi.

“Ya ampun… kamu bener.”

Ia tertawa. “Sini, makan punyaku aja.”

Shanum mengangguk kecil. Menyedot lemon tea.

“Udah lah,” kata Rin menahan tawa. “Yang penting penasaran terjawab.”

“Habis ini bakso Pak Sabar,” jawab Shanum tegas.

Rin tertawa keras.

Sore itu, mereka pulang dengan perut kenyang, dompet sedikit menipis, dan hati yang—entah kenapa—lebih ringan.

Cilacap, 221225

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak