Lila baru pindah ke rumah kayu tua di pinggiran kota, sepi, jauh dari tetangga, dengan jendela lantai atas yang selalu tertutup rapat. Semua orang di sekitar enggan membicarakannya.
Mereka hanya berbisik tentang anak-anak yang hilang bertahun-tahun lalu, lalu menatapnya dengan mata yang penuh peringatan.
Malam pertama, hujan deras mengguyur atap, angin menusuk celah jendela, dan suara rintik hujan berpadu dengan desahan angin, membuat rumah itu terasa hidup, seolah menunggu sesuatu yang gelap.
Saat Lila menata kamar, terdengar langkah berat di lantai atas. Awalnya ia mencoba menenangkan diri, berpikir itu hanya hewan atau bayangan.
Tapi langkah itu bergerak pasti, mengelilingi lantai atas, seolah menelannya hidup-hidup. Ketika ia menoleh ke jendela yang selalu tertutup, ia melihat sosok anak kecil berdiri, matanya gelap dan kosong, menembus pikirannya.
Lila menahan napas, jantungnya berdegup kencang, dan saat ia melangkah ke atas… bayangan itu hilang, meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang.
Malam berikutnya, suara itu kembali, disertai bisikan halus yang memanggil namanya. Bayangan itu muncul di lorong, kamar mandi, bahkan di cermin.
Setiap kali Lila mencoba mendekat, sosok itu lenyap, meninggalkan rumah yang tiba-tiba terasa seperti labirin gelap yang menelan keberaniannya.
Di loteng, Lila menemukan kotak kayu berdebu. Di dalamnya: catatan tua, gambar anak-anak, dan buku harian yang menceritakan tragedi keluarga sebelumnya—ayah dan anak-anak yang hilang misterius.
Semakin ia membaca, semakin rumah itu terasa hidup, mengawasinya. Bisikan kini terdengar jelas:
“Tolong aku… tolong aku…”
Hawa dingin merayap ke seluruh tubuh Lila. Anak kecil itu terjebak antara dunia nyata dan yang tak kasat mata. Rumah itu bukan hanya tempat tinggal, ia adalah makhluk hidup yang menguji keberaniannya.
Angin yang masuk melalui celah jendela terdengar seperti tawa tipis yang menakutkan, dinding-dinding tua seakan menyimpan mata-mata yang menatapnya.
Dengan tangan gemetar, Lila menyalakan lilin di seluruh rumah dan membaca mantra dari buku harian. Aroma lilin bercampur debu tua, menebar ketegangan di setiap sudut. Bayangan itu muncul terakhir kali, menatapnya dengan mata penuh kesedihan:
“Tolong aku…”
Sebuah angin dingin menyapu rumah, lilin-lilin bergoyang, dan akhirnya bayangan itu memudar, meninggalkan keheningan yang pekat. Namun rumah tetap tua, sepi, dan penuh rahasia.
Lila tahu misteri ini belum berakhir. Setiap sudut menyimpan jejak kelam masa lalu.
Dari malam itu, setiap kali menatap jendela lantai atas, ia merasa ada mata yang menunggu, mata yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang cukup berani menghadapi kegelapan sejati. Rumah itu bukan sekadar bangunan tua; ia adalah penjaga rahasia yang tak pernah benar-benar pergi.
Lila tidur dengan waspada, tapi di hatinya tumbuh keberanian, keberanian yang lahir dari menghadapi ketakutan paling nyata. Dan meski bayangan tak muncul lagi, rumah itu tetap berdiri, diam namun hidup, seolah menunggu, selalu menunggu, bisikan-bisikan yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang cukup berani.