Di sebuah kota kecil bernama Omaha, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Warren. Ia berbeda dari teman-temannya. Saat anak-anak lain bermain bola atau menonton kartun, Warren sibuk menghitung koin di sakunya dan mencatat harga koran serta majalah yang ia temui.
Setiap koin dan setiap barang yang ia beli menjadi bahan pelajaran tentang uang dan bagaimana cara mengelolanya.
Suatu sore, ketika berusia 11 tahun, Warren membeli tiga lembar saham perusahaan soda dengan tabungannya. Tetangga menertawakannya. “Hanya anak kecil, apa kau tahu apa yang kau lakukan?” Namun, Warren tersenyum. Di dalam hatinya, ia percaya bahwa jika belajar dan sabar, uang bisa tumbuh sendiri.
Masa remaja Warren penuh dengan eksperimen. Ia menjual permen, koran, dan bahkan mesin pinball untuk belajar bisnis. Setiap kegagalan adalah pelajaran berharga. Ia menulis catatan tentang keuntungan, kerugian, dan strategi yang berhasil. Dari pengalaman ini, ia belajar satu hal penting: kesuksesan tidak datang dari keberuntungan, tetapi dari ketekunan dan belajar dari kesalahan.
Warren juga gemar membaca buku-buku ekonomi dan biografi investor. Ia menyerap ilmu dari setiap halaman, menggabungkannya dengan pengalamannya sendiri. Sejak muda, ia sudah memahami konsep dasar investasi: membeli sesuatu dengan harga murah dan menjualnya lebih mahal, tetapi dengan pertimbangan matang, bukan hanya karena keberuntungan.
Saat dewasa, Warren kuliah di University of Nebraska dan kemudian melanjutkan studi di Columbia Business School. Di sana, ia belajar langsung dari Benjamin Graham, seorang guru investasi terkenal. Graham mengenalkan Warren pada value investing—strategi membeli saham yang memiliki nilai intrinsik lebih tinggi daripada harga pasar.
Prinsip itu menjadi dasar filosofi Warren: memilih investasi dengan hati-hati, memahami perusahaan, dan fokus pada jangka panjang. Ia menolak untuk ikut tren pasar saham yang cepat naik turun, percaya bahwa kesabaran adalah kunci utama untuk membangun kekayaan yang nyata.
Tahun demi tahun, Warren mulai membuat keputusan investasi yang besar. Ia membeli perusahaan-perusahaan yang dinilai lebih rendah dari nilai sebenarnya (undervalued), dan seiring berjalannya waktu, nilai investasinya berkembang pesat. Warren dikenal sebagai “Oracle of Omaha” karena kemampuan analisis dan keteguhannya dalam berinvestasi.
Namun, keberhasilan ini tidak mengubah kesederhanaannya. Ia tetap tinggal di rumah lamanya, mengendarai mobil biasa, dan hidup sederhana. Baginya, kekayaan bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk memberi dan membuat keputusan yang bijak.
Selain berinvestasi, Warren percaya pada kekuatan memberi. Ia mendirikan Giving Pledge bersama Bill Gates, berjanji untuk menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk amal. Ia yakin bahwa kekayaan terbesar bukan hanya ada di rekening bank, tetapi di dalam hati dan dampak yang bisa diberikan kepada orang lain.
Warren sering berkata bahwa hidup bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang prinsip, integritas, dan keberanian untuk tetap berbeda dari orang lain. Ia ingin meninggalkan warisan berupa inspirasi: bahwa anak kecil dari Omaha pun bisa mengubah dunia dengan pengetahuan, kesabaran, dan kebaikan hati.
Kisah Warren Buffett bukan sekadar tentang menjadi kaya. Ini adalah perjalanan seorang anak yang penasaran, yang belajar dari setiap koin dan setiap pengalaman. Dari menghitung koin di Omaha hingga menjadi salah satu investor paling dihormati di dunia, Warren membuktikan satu hal: kesuksesan lahir dari ketekunan, pengetahuan, kesabaran, dan keberanian untuk tetap setia pada nilai-nilai sendiri.