Belakangan, isu legalisasi ganja di Indonesia kembali mencuat. Membuat saya yang berpikiran sempit ini 'fobia' terhadap golongan orang yang memperjuangkan ganja, sekalipun untuk dunia medis. Gimana nggak? Ganja terlalu identik dengan perkara haram dan dosa di masyarakat kita. Sampai di suatu malam yang gabut, saya menemukan sebuah film dokumenter panjang yang membahas tentang persoalan tersebut. Berjudul Atas Nama Daun, film ini disutradarai Mahatma Putra dan tayang secara resmi di kanal youtube Anatman Pictures.
Dengan Tio Pakusadewo sebagai narator—yang juga pernah divonis terkait kasus penyalahgunaan ganja, saya disuguhi rantai panjang, di mana asal mula orang-orang ini berbaris memperjuangkan legalitas ganja.
Atas Nama Daun sendiri rupanya adalah nama suatu karya buatan Angki Purbandono (seorang seniman asal Yogyakarta) sebagai bentuk protes terhadap kriminalisasi ganja di Indonesia. Butuh 2 tahun lamanya, bagi Aristo dan kawan-kawan menelusuri isu tersebut hingga terciptanya film dokumenter ini.
Berdurasi satu jam, saya berhasil menyerap ilmu-ilmu baru yang tentunya gak ditemukan di bangku sekolah. Film yang dilihat dari berbagai persepektif ini pun membukakan pandangan baru bahwa sesuatu yang hidup di muka bumi ini pasti memiliki kegunaannya sendiri, termasuk ganja.
Namun, Atas Nama Daun juga menunjukkan bahwa gak cuma di Indonesia, ganja memang sesuatu yang menuai kontroversi di dunia dan sensitif untuk diperbincangkan. Kendati begitu, sudah lebih dari 45 negara yang melegalkan ganja medis, termasuk Thailand dan Malaysia pada tahun 2021 kemarin.
Gak melulu mengambil pendapat para aktivis legalisasi ganja, kita juga ditemani Aristo menemui salah seorang penegak hukum BNN untuk melihat sudut pandang beliau. Hasilnya, kamu akan menemukan penyebab dibalik kasus lapas yang sering mengalami over kapasitas. Yap, saya baru tau kalo 96% penghuni penjara ternyata diisi dengan kasus narkotika.
Di pertengahan film, ada baiknya menyediakan tisu. Karena penonton mulai dibuat miris dengan kisah Fidelis yang memperjuangkan hidup mendiang istrinya menggunakan cannabinoid yang terkandung dalam ganja. Perjalanannya dari melakukan riset, penanaman ganja, meminta perizinan ke BNN setempat, hingga berujung masuk ke jeruji besi, adalah fakta yang mengiris hati siapa pun.
Tak hanya Fidelis, kisah serupa juga turut dipertontonkan melalui upaya Dwi Pertiwi bersama para ibu lain melawan cerebral palsy yang menjangkit anak-anak mereka. Meski Musa sudah tiada, ibu yang juga seorang guru permakultur ini masih dan terus memperjuangkan regulasi UU untuk pemanfaatan ganja demi almarhum anaknya.
Kiranya cara pandang masih abu karena mengandalkan stigma yang ada, melihat kisah pilu seperti Fidelis dan Musa mungkin bisa jadi opsi lain. Di mana mereka hanya salah dua dari sekian banyak warganegara yang menuntut hak atas kehidupan orang-orang yang mereka cintai.
Tayang pada akhir Maret lalu, film yang sudah ditonton sebanyak 1,5 juta orang ini ditutup dengan monolog nyeleneh dan berani tentang hal bodoh dan janggal yang terjadi di negeri kita. Gak cuma itu, monolog pun diselingi dengan nyanyian tentang sains dan demokrasi yang seharusnya hidup bersama.
Jadi, kamu tertarik nonton film Atas Nama Daun juga?