Industri perfilman Hollywood yang telah berjaya semenjak 1919 merupakan salah satu industri hiburan yang paling bergengsi di dunia. Puluhan studio entertainment raksasa asal Amerika yang menghasilkan ratusan film serta serial televisi dalam setahun yang didistribusikan melalui bioskop serta berbagai platform streaming services sukses menggaet semakin banyak penggemar dari seluruh dunia. Semenjak Walt Disney Studio mengakuisisi perusahaan hiburan besar lainnya seperti Marvel, National Geographic, Pixar, Star Wars dan 20th Century Fox serta meluncurkan platform Disney+, membuatnya semakin populer apalagi dengan ratusan film, dokumenter dan TV series dari kelima perusahaan tersebut dapat lebih mudah diakses oleh para penggemar dalam satu platform yang sama.
Tetapi meskipun platform streaming services lainnya seperti Netflix, Amazon Prime dan HBO Max sudah ada sebelum Disney+, tidak dapat dipungkiri kepopuleran Disney+ seolah-olah menyaingi eksistensi mereka. Sehingga masing-masing perusahaan saling berkompetisi dalam menyajikan hiburan yang epik bagi para penggemar, dan berusaha untuk mengalahkan kepopuleran antar satu sama lain dengan Netflix yang terkenal akan serial Stranger Things, HBO Max dengan Game of Thrones dan Amazon Prime yang tidak ingin kalah dengan menyajikan prekuel Lord of the Rings : The Rings of Power.
Kemudian dengan melihat fakta kepopuleran dari masing-masing serial TV tersebut, genre film yang menjadi favorit oleh audience global dewasa ini rata-rata merupakan fantasi dan science fiction yang notabene menampilkan dunia lain yang dipenuhi oleh makhluk-makhluk unik serta dunia di masa depan maupun luar angkasa yang penuh dengan hal-hal menakjubkan, sehingga dibutuhkan imajinasi yang luar biasa serta teknologi canggih untuk dapat merealisasikan visualisasi dunia yang menakjubkan tersebut ke layar lebar. Oleh karena itu, industri perfilman Hollywood terus berevolusi dalam mengembangkan berbagai macam teknologi canggih yang secara tidak langsung menyaingi industri hiburan lainnya. Sehingga banyak perusahaan Visual Effects yang dibangun oleh sutradara kenamaan agar dapat memprojeksikan imajinasi mereka terhadap film yang akan digarap.
Industrial Light & Magic perusahaan Visual Effects (VFX) yang didirikan oleh George Lucas pada 1975 membuat suatu inovasi terbarukan dalam dunia perfilman dengan menciptakan StageCraft Volume yang pertama kali diaplikasikan dalam pembuatan serial televisi The Mandalorian untuk Disney+ pada 2019. StageCraft sendiri merupakan teknologi efek visual digunakan dalam memproduksi set virtual berbentuk dinding video yang melingkari para aktor serta kru film selama proses shooting film berlangsung.
Tujuan rancangannya sendiri memberikan banyak keuntungan bagi team produksi film karena dapat menggantikan penggunaan green screen yang sudah awam digunakan dalam berbagai proses pembuatan film dewasa ini, serta yang paling utama adalah dapat mengurangi budget produksi dalam melakukan proses shooting di lokasi secara langsung serta mengurangi kerja para VFX artists untuk mengaplikasikan CGI (Computer Generated Images) ke dalam berbagai scenes. Keuntungan lain dari Production Virtual Stage ini adalah Produser film tidak perlu mengeluarkan uang untuk menerbangkan ratusan team produksi ke lokasi asli, melainkan dapat menciptakan lingkungan visual dalam studio menggunakan Stagecraft.
Inovasi dalam industri perfilman berkat kemajuan dalam bidang sains dan teknologi semakin memudahkan para Hollywood Filmmakers untuk terus menciptakan berbagai macam film blockbusters yang berjejer di Box Office global dan memenangkan penghargaan bergengsi sehingga mendapat rekognisi secara internasional serta menambah jumlah serial televisi dalam platform streaming service-nya dengan tetap mengedepankan kualitas serta pengaplikasian efek-efek visual yang spektakuler dalam setiap karya yang mereka hasilkan meskipun diproduksi dalam rentang waktu yang singkat. Keuntungan lain dari produksi film yang menggunakan StageCraft adalah para aktor tidak lagi membatasi lingkungan yang menjadi tempat mereka beradu akting sebatas berimajinasi serta membayangkannya dalam pikiran mereka, tetapi dapat menikmatinya secara langsung dari Virtual Environment Stage yang mengelilingi mereka sehingga dapat menunjang performance para aktor dalam mendalami karakter yang diperankan.
BACA JUGA: Nagita Slavina Goda Sus Rini Gegara Ogah Pulang Kampung: Kasihan Suaminya Enggak Ngecas-ngecas
Kemudian Motion Capture (MoCap) atau dapat disebut Performance Capture merupakan teknologi yang memungkinkan terjadinya proses penerjemahan live performance ke dalam bentuk digital. Teknik MoCap seringkali digunakan dalam pembuatan film animasi 3D yang membutuhkan performance aktor untuk membuat gerakan dari karakter dalam film agar dapat terlihat terlebih lebih natural. Cara komputer untuk menangkap gerakan tersebut, pertama-tama aktor diwajibkan untuk menggunakan kostum khusus yang pada umumnya berwarna hitam/abu-abu, lalu ditempel penanda berwarna putih di setiap titik persendian yang berfungsi sebagai titik poros dan sambungan untuk tulang, kemudian digambar titik putih di sekitar muka aktor lengkap dengan headcam dan LED mini untuk meng-capture ekspresi raut wajah aktor. Dengan menggunakan teknik MoCap dapat memudahkan para filmmaker saat memasuki tahap post-production dalam me-render gerakan aktor ke dalam versi 3D.
Teknik ini dipopulerkan oleh Peter Jackson dalam penggarapan trilogi LOTR bersama studio VFX yang ia bangun di New Zealand bernama Weta Digital sebelum akhirnya digunakan dalam membawa karakter Na’vi ke layar lebar dalam film Avatar garapan sutradara Titanic James Cameron. James Cameron bersama Sony Corporation bahkan menciptakan suatu inovasi yaitu Sony VENICE 2 cinema camera yang dapat mempermudah para filmmaker dalam meng-capture adegan para aktor di bawah air dengan teknik MoCap, khusus untuk penggarapan sekuel Avatar : The Way of Water yang memakan waktu hampir satu dekade lebih dalam pembuatannya. Hal ini dilakukan demi membuat adegan bawah air terlihat jauh lebih realistis dibandingkan prekuelnya yang dirilis tahun 2009.
Bahkan film-film blockbuster lainnya yang mengambil latar di bawah laut seperti Aquaman garapan James Wan tidak sepenuhnya meng-shoot semua adegan bawah laut benar-benar di dalam air. Adegan berenang tersebut dibuat serealistis mungkin dengan mengikatkan wire work pada tubuh para aktor dan membuat mereka terbang dan bergerak di udara dalam ruang yang dipenuhi Blue Screen yang kemudian akan dibantu CGI dalam membuat rambut mereka mengambang seolah-olah berada di dalam air. Sekuel Black Panther : Wakanda Forever garapan Ryan Coogler juga penuh tantangan dalam men-shoot adegan bawah laut karena mereka benar-benar berakting di dalam air, saat diperkenalkannya anti-hero Marvel yang terinspirasi dari budaya Mesoamerica mengenai kerajaan bawah laut bernama Talokan. Tetapi adegan bawah air yang ditampilkan dalam sekuel Black Panther tidak selama dan seserius sekuel Avatar yang digarap James Cameron.
Film-film populer yang juga diproduksi dengan menggunakan teknik MoCap adalah Monster House (2006) dan The Adventures of Tintin : The Secret of Unicorn (2011) yang disutradarai oleh Stephen Spielberg, kemudian The Polar Express (2004) serta A Christmas Carol (2009) dua film natal yang disutradarai oleh Robert Zemeckis, serta film yang diproduksi Disney berjudul Mars Needs Moms (2011). Bagi yang familiar dengan judul-judul film tersebut pasti merasa kesulitan untuk membedakan karakter dalam film dengan manusia sungguhan karena teknik yang digunakan dalam proses syuting sama dengan yang digunakan dalam film Avatar dimana visual yang ditampilkan begitu realistis sehingga membuat penonton skeptis bahwa film-film tersebut tidak nyata dan hanya sekedar animasi.
Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa tingkat visual serta sinematografi yang begitu luar biasa dari beragam film fantasi dan science fiction Hollywood merupakan berkah dari kemajuan SDM dalam ilmu pengetahuan. Hal ini menuntun mereka dalam menciptakan teknologi yang dibutuhkan bagi kemajuan industri hiburan global di masa-masa yang akan datang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.