Bayangkan seorang pria berdiri di dermaga, seikat bunga di tangannya, siap menyambut kekasihnya. Namun, mendadak, ia berubah pikiran.
Edward, yang seharusnya menjemput kekasihnya, malah membeli tiket kapal ke Singapura. Apa yang terjadi? Kenapa ia kabur?
Kekasihnya, Molly, mengerti dengan tingkah laku Edward dan memutuskan untuk mengejarnya. Aksi kejar-kejaran ke berbagai negara di Asia ini menjadi sorotan unik dalam film "Grand Tour" karya Miguel Gomes.
Edward (diperankan oleh Gonçalo Waddington), seorang pegawai Inggris di Rangoon, tiba-tiba merasa takut dan memutuskan untuk melarikan diri dari kekasih yang sudah dikenalnya bertahun-tahun, bahkan saat mereka sudah merencanakan pernikahan.
Ia terus kabur setiap kali mendapat telegram dari Molly, melewati berbagai negara dari perairan hingga pegunungan curam.
Molly (diperankan oleh Crista Alfaiate), meski cemas dan sedih, menutupi kegelisahannya dengan senyuman dan tawa.
Ia nekat mengejar Edward hingga bertemu dengan seorang saudagar kaya yang melamarnya di kapal.
"Grand Tour" menggambarkan kejar-kejaran yang mengingatkan pada "Around the World in 80 Days", tapi dengan latar tahun 1918 yang terasa lebih nyata dan berfokus pada kisah sepasang kekasih.
Penonton diajak menyelami keindahan dan pesona Asia, terutama Asia Tenggara dan Asia Timur. Perjalanan dimulai dari Rangoon, Burma, menuju Singapura, Bangkok, Saigon, dan Manila, baik melalui jalur laut maupun darat, hingga berlanjut ke Osaka, Shanghai, Chongqing, Chengdu, dan Sichuan.
Tempat-tempat yang dipilih bukanlah rute turis pada umumnya. Edward tampak dipanggul di hutan menuju gunung, bersama para biksu Jepang komus yang mengenakan keranjang rotan di kepala mereka. Edward tampak bersantai melihat panda di hutan.
Miguel Gomes bersama penulis Telmo Churro, Maureen Fazendeiro, dan Ariana Ricardo tampaknya bersenang-senang dalam menyampaikan kisah cinta dan petualangan ini.
Dengan bantuan kameraman Gui Liang, Sayombhu Mukdeeprom, dan Rui Poças, mereka bereksperimen dan bereksplorasi untuk menyajikan gambar-gambar yang tak biasa.
Film ini menyampaikan kisah cinta dalam bahasa visual yang romantis dan epik, menggunakan format hitam putih dan warna, serta gaya bertutur dari sudut pandang Edward dan Molly.
Cerita banyak disampaikan oleh narator, sementara adegan Molly diisi oleh tawa Moly yang renyah yang perlahan terasa mengganggu.
Visual film ini memang unggul, namun ceritanya agak datar dan arahnya kurang jelas sehingga di beberapa bagian terasa mengantuk.
Bagian akhirnya dibiarkan apa adanya, memungkinkan penonton untuk bebas menginterpretasikan nasib Edward dan Molly. Sebuah film perjalanan dengan visual epik dan komedi ringan, meski ceritanya terkesan melodramatis.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE