Dalam kondisi tertidur, pernahkah Anda merasa sadar, tetapi tubuh tak dapat digerakkan? Tak jarang pula terdengar suara-suara yang entah asalnya dari mana yang menyebabkan rasa takut dan diikuti rasa sesak. Di Indonesia, peristiwa ini seringkali disebut dengan ‘ketindihan’ dan kerap dikaitkan dengan keberadaan makhluk halus.
Di dunia medis, fenomena ‘ketindihan’ dalam tidur ini dikenal sebagai Sleep Paralisys, yaitu keadaan yang terkait dengan ketidakmampuan seseorang untuk bergerak yang terjadi ketika seseorang hendak tidur (hypnagogic) atau baru saja ingin bangun dari tidur (hypnopompic) di mana gerakan otot volunteer terhambat (Olunu et al., 2018).
Pada kondisi ini, seorang individu tetap sadar dan sering melibatkan halusinasi yang mengganggu dan menyebabkan sensasi lemas. Oleh karena halusinasi dan rasa lemas ini, peristiwa ‘ketindihan’ seringkali dianggap mistis, berkaitan, dan disebabkan oleh kehadiran atau gangguan makhluk halus. Lalu, bagaimana terjadinya Sleep Paralysis ini?
Menurut Suni (2020), penyebab Sleep Paralysis masih belum pasti. Namun, studi yang telah dilakukan ternyata mendapatkan hasil yang beragam mengenai apa yang terkait dengan penyebab atau risiko terjadinya Sleep Paralysis. Berdasarkan penelitian tersebut, para peneliti percaya bahwa ada banyak faktor yang terlibat dalam memicu terjadinya Sleep Paralysis ini.
Perlu kita ketahui, para peneliti meyakini bahwa Sleep Paralysis tidak disebabkan karena keberadaan atau ‘ketindihan’ oleh makhluk halus, melainkan disebabkan oleh terganggunya siklus rapid eye movement (REM) saat tertidur. Perlu kita kenali bahwa Sleep Paralysis erat kaitannya dengan rapid eye movement (REM).
Rapid eye movement (REM) sendiri adalah tahapan terakhir dalam tidur atau tahap tidur bermimpi. Pada tahap tidur rapid eye movement ini, napas maupun detak jantung akan meningkat menjadi lebih cepat diiringi dengan pergerakan mata yang biasanya agresif, tidak tenang, serta meningkatnya tekanan darah dikarenakan munculnya mimpi pada tahap tidur REM.
Kondisi perilaku tidur rapid eye movement ditandai dengan munculnya ritme cepat dan tidak sinkron dalam electroencephalogram (EEG), aktivitas theta hipokampus, aktivasi otonom, atonia otot dan gerakan mata yang cepat (Arrigoni et al., 2016).
Dalam keadaan normal, atonia berakhir saat bangun tidur, sehingga seseorang tidak pernah menyadari ketidakmampuan untuk bergerak ini. Para peneliti pun percaya bahwa Sleep Paralysis atau kelumpuhan ketika tidur ini melibatkan kondisi kesadaran campuran-campuran yang memadukan antara kondisi terjaga dengan tahap tidur rapid eye movement (REM).
Kelumpuhan ini adalah ciri alami dari tidur REM pada umumnya, yang kemungkinan didorong oleh GABA dan penghambatan glisin pada neuron motorik. Salah satu penyebab kelumpuhan otot ini adalah untuk mencegah gerakan yang tidak diinginkan atau berbahaya terjadi selama bermimpi saat tidur (Denis, 2018).
Sleep Paralysis dikategorikan sebagai salah satu jenis parasomnia, atau dianggap sebagai REM Parasomnia. Parasomnia sendiri memiliki arti sebagai gangguan tidur yang melibatkan pengalaman buruk yang tidak diharapkan ketika tertidur maupun bangun tidur. Parasomnia dapat melibatkan gerakan, perilaku, emosi, atau mimpi buruk.
Denis (2018) menyatakan bahwa sekitar 75% peristiwa Sleep Paralysis umumnya disertai dengan berbagai halusinasi menyeramkan dan ganjil. Nah, Halusinasi ini biasanya terbagi ke tiga kategori. Kategori pertama ialah Intruder Hallucinations yang terdiri dari perasaan hadirnya hawa jahat atau sosok lain di dalam ruangan diiringi dengan halusinasi multisensori visual yang nyata.
Selanjutnya adalah Incubus Hallucinations yang menggambarkan rasa tertekan pada dada, kerap diikuti rasa sesak seakan tercekik. Pada umumnya, kedua jenis halusinasi tersebut terjadi secara bersamaan. Kategori terakhir disebut Vestibular-Motor (VM) Hallucinations, melibatkan perasaan ilusi gerakan, perasaan keluar dari tubuh, serta Autoscopy keluar tubuh.
Pada Sleep Paralysis, peningkatan kesadaran akan rasa ancaman serta bahaya disebabkan oleh aktivasi batang otak dari amigdala. Amigdala lateral mengirimkan impuls ke seluruh basolateral complex, diawali dengan aktivasi amigdala melalui proyeksi dari thalamus, anterior cingulate, dan struktur di pons. Hal ini yang memberi gagasan pada individu akan hadirnya sosok lain di dalam ruangan. Jalur kompleks inilah yang bertanggung jawab untuk memastikan akan adanya respons yang tepat di dalam tubuh tanpa perlu analisis mendalam oleh korteks sensorik pada saat yang berbahaya.
Umumnya pada individu aktif, lobus parietal menerima input dari lobus frontal. Ini memberikan informasi mengenai posisi mengenai posisi atau gerakan tubuh individu tersebut. Lobulus parietal superior yang bertanggung jawab atas pencitraan visual atau fungsional seseorang yang didasarkan oleh berbagai rangsangan sensorik.
Pada peristiwa Sleep Paralysis, terdapat anggapan bahwa seorang individu terus menerus menerima input atau masukan dari korteks motorik ke anggota tubuh yang tidak aktif. Ketika seorang individu ini bangun selama tahap tidur REM, sistem saraf otak depan yang mengaktifkan propriosepsi menjadi aktif, dan ketika itu pula mekanisme motorik tulang belakang yang mengaktifkan tonisitas otot tidak aktif. Dengan demikian, peristiwa Sleep Paralysis terjadi (Olunu et al., 2018).
Lantas, apakah Sleep Paralysis merupakan masalah serius yang berbahaya? Biasanya, Sleep Paralysis terjadi dalam waktu yang sebentar saja, dan bagi kebanyakan orang, hal ini bukan menjadi masalah serius. Namun, bila Sleep Paralysis terjadi berulang kali tentu berisiko menyebabkan susah tidur hingga kurang tidur. Inilah yang kemudian dapat berkonsekuensi terhadap kesehatan seseorang secara keseluruhan.
Maka Sleep Paralysis bukanlah masalah kesehatan yang berbahaya asal tetap tidur cukup dan nyenyak. Untuk itu, ada baiknya seseorang lebih memperhatikan kualitas tidurnya. Salah satunya adalah dengan memperbaiki kebiasaan tidur, yaitu dengan memastikan memiliki jam tidur sekitar 6-8 jam setiap malam.
Dengan demikian, kita tidak perlu lagi merasa terlalu khawatir apabila mengalami Sleep Paralysis. Untuk mengatasi kelumpuhan pada saat tidur ini, kita bisa mencoba rileks, mencoba posisi tidur baru, dan memastikan bahwa kita memiliki jam tidur yang cukup. Namun, bila Sleep Paralysis dirasa sangat mengganggu dan dirasakan secara rutin sehingga menyebabkan tidak bisa tidur dengan tenang dan nyenyak, ada baiknya berkonsultasi ke dokter untuk mencari solusi terkait hal tersebut lebih lanjut.
Referensi:
- Arrigoni, E., Chen, M., & Fuller, P. (2016). The anatomical, cellular and synaptic basis of motor atonia during rapid eye movement sleep. The Journal Of Physiology, 594(19), 5391-5414. https://doi.org/10.1113/jp271324
- Denis, D. (2018). Relationships between sleep paralysis and sleep quality: current insights. Nature And Science Of Sleep, Volume 10, 355-367. https://doi.org/10.2147/nss.s158600
- Olunu, E., Kimo, R., Olufunmbi Onigbinde, E., Amadeus Uduak Akpanobong, M., Ezekiel Enang, I., & Osanakpo, M. et al. (2018). Sleep paralysis, a medical condition with a diverse cultural interpretation. International Journal Of Applied And Basic Medical Research, 8(3), 137. https://doi.org/10.4103/ijabmr.ijabmr_19_18
- Suni, E. (2020). What You Should Know About Sleep Paralysis - Sleep Foundation. Sleep Foundation. Retrieved 16 December 2020, from https://www.sleepfoundation.org/parasomnias/sleep-paralysis.