Organisasi Kesehatan Dunia alias World Health Organization (WHO) menyebutkan sebanyak 40 hingga 70 persen perempuan di dunia meninggal akibat kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (Rafikah & Rahmawati, 2015).
Berdasarkan data tersebut, muncul pertanyaan seberapa besar luas masalah kekerasan dalam rumah tangga itu? Siapakah yang sering menjadi korban? Tjaden dan Thoennes menemukan bahwa 22,1 persen wanita lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan pria (Fulero & Wrightsman, 2009).
Komnas Perempuan pada tahun 2020 mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 299.911 kasus dengan bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama, disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).
Dengan melihat tingginya angka kasus, dampak buruk apa sih yang mungkin dapat muncul pada korban kekerasan tersebut? Battered Woman Syndrome mungkin terjadi pada korban kekerasan.
Perlu Kita Ketahui Apa Itu Syndrome?
Sebelum membahas mengenai Battered Woman Syndrome, penting bagi kita ketahui terlebih dahulu apa itu Syndrome? Syndrome biasanya didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang mungkin ada bersamaan, sehingga dapat dianggap menyiratkan kelainan atau penyakit (Fulero & Wrightsman, 2009).
Terdapat jenis syndrome yang biasanya terjadi kepada korban kekerasan yaitu Battered Woman Syndrome. Battered Woman Syndrome didefinisikan oleh Walker (1984) sebagai reaksi yang diduga seorang wanita terhadap pola pelecehan fisik dan psikologis terus-menerus yang dilakukan pasangannya padanya (Fulero & Wrightsman, 2009).
Komponen Apa Saja Yang Ada Pada Battered Woman Syndrome?
- Ketidakberdayaan atau respons terhadap rangsangan yang menyakitkan tidak dapat dikendalikan oleh korban dan tidak ada jalan untuk melarikan diri.
- Harga diri yang rendah atau penerimaan feedback yang berkelanjutan dari pelaku tentang ketidakberdayaan seseorang.
- Fungsi yang terganggu, termasuk ketidakmampuan untuk terlibat dalam perilaku yang direncanakan.
- Hilangnya asumsi kekebalan dan keamanan: Keyakinan sebelumnya bahwa «semuanya akan menjadi baik-baik saja» atau «ini tidak akan terjadi pada saya» menghilang.
- Ketakutan dan teror, sebagai reaksi terhadap si pemukul, berdasarkan pengalaman masa lalu.
- Kemarahan.
- Siklus pelecehan atau siklus kekerasan.
- Kewaspadaan berlebihan terhadap tanda-tanda bahaya.
Dengan banyaknya komponen terkait Battered Woman Syndrome ini, peran seorang Psikolog Forensik Klinis yaitu melakukan pemeriksaan psikologis menyeluruh dengan mengeksplorasi sejarah hubungan, riwayat pelecehan, upaya untuk meninggalkan hubungan, dan perasaan wanita.
Hal tersebut berguna sebagai prosedur dalam memberikan penilaian yang cermat terhadap tanggapan. Selain itu, Psikolog Forensik Klinis juga harus mencari verifikasi laporan diri melalui rekam medis dan wawancara dengan orang lain. Setelah itu, barulah seorang Psikolog Forensik Klinis dapat membantu korban dalam persidangan sebagai seorang saksi ahli.
REFERENSI
Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic Psychology: Third Ed.
Rafikah, & Rahmawati. (2015). Peranan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dalam Menghapuskan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Bukittinggi. Journal of Islamic & Social Studies Vol., 1(2), 173–186.