Pada akhir tahun 2023 ini, selain wabah Covid-19 yang kembali mengintai, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) juga mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir. Menurut pemaparan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Imran Pambudi MPHM, meningkatnya kasus DBD di Indonesia pada akhir tahun 2023 ini merupakan siklus rutin 5 tahunan.
“Tiap lima tahun ada lonjakan kasus dengue, berkaitan dengan fenomena El Nino. Sejak kita mendapat info dari BMKG mengenai El Nino kita langsung melakukan mitigasi untuk pencegahan DBD, dan hasilnya cukup memuaskan,” ujar dr. Imran Pambudi MPHM seperti yang dikutip dari kanal berita suara.com.
Guna meminimalisir siklus 5 tahunan tersebut, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun ini melakukan penelitian dan percobaan yang melibatkan nyamuk Aedes Aegypti yang ditanamkan sel bakteri Wolbachia. Penelitian ini dikenal sebagai Pilot Project dan dilakukan di wilayah terkontrol di Yogyakarta.
Secara umum, bakteri Wolbachia adalah bakteri alami yang hidup dalam tubuh serangga seperti nyamuk. Penelitian ini diklaim mampu menurunkan jumlah kasus DBD dari tahun sebelumnya. Melansir dari laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2022 silam, tercatat 143.000 kasus dan 1.236 korban meninggal akibat DBD. Namun, di tahun 2023 ini, jumlah tersebut turun menjadi hanya 85.900 kasus dengan korban meninggal sebanyak 683 jiwa.
Klaim Keamanan Nyamuk Ber-Wolbachia Bagi Lingkungan
Meskipun tidak terlalu banyak diketahui masyarakat, namun penelitian nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia tersebut masih menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Hal ini tentunya tidak terlepas dari dampak penyebaran nyamuk-nyamuk tersebut yang dikhawatirkan dapat merusak lingkungan dan menimbulkan efek samping bagi masyarakat.
Guna meminimalisir berita hoax dan spekulasi yang berkembang di masyarakat, Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat & Keperawatan UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D berujar bawah pilot project yang melibatkan nyamuk ber-wolbachia tersebut telah melakukan riset dan penelitian yang melibatkan ahli-ahli tertentu di bidangnya.
“Sebelum kami melakukan penelitian tersebut dalam skala besar, kami lakukan dulu pengkajian selama enam bulan yang melibatkan 20 orang ahli dari berbagai bidang. Termasuk di antaranya bidang virologi, mikrobiologi, ahli serangga, ahli biodiversitas, dokter anak, psikologi, hingga ilmu sosial,” ujar dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D.
Ia melanjutkan bahwa efek samping yang dapat muncul dari pelepasan nyamuk ber-wolbachia ini bukanlah risiko yang membahayakn bagi manusia. Bahka, risiko tersebut tergolong cukup rendah dan bisa diabaikan oleh masyarakat. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa nyamuk ini bukanlah rekayasa genetika seperti yang dikira oleh masyarakat.
“Untuk menyangkal hal ini, kita bisa merujuk dari berbagai website resmi. Misalnya CDC, mereka secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang diinfeksi dan genetic-modified mosquito,” imbuhnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.