Perihal CInta

Tri Apriyani | M Ghaniey Al Ra
Perihal CInta
Ilustrasi cinta (pixabay.com/free-photos)

Hari-hari dihabiskan dengan melahap isi buku. Tak pernah sekalipun bosan, karena kebodohan berawal dari benih kemalasan. Ipu suka sekali menghabiskan waktu di pagi sampai sore hari mendekam di perpustakaan kampus menggali berbagai informasi. Waktu anak muda yang sering digunakan untuk bertukar bunga dan surat manis kepada kekasih, hampir sampai detik ini Ipu tak pernah merasakan apa itu kekasih dan Cinta.

Bagi Ipu menjalin kasih dengan itu membuang-buang waktu saja. Kebebasan dan keinginan diri semakin berkurang karena harus berbagi dengan kebebasan dan keinginan kekasih. Sering kali ipu diejek oleh teman sekelasnya dengan sebuatan –tak laku-laku. Ipu merasa biasa dan menganggap omelan temannya sebagai angin lalu.

Waktu itu, siang hari yang lumayan terik. Ipu berkunjung di perpustakaan kampusnya. Begitulah, keseharian Ipu ketika jam kuliah telah selesai. Tak hanya membaca buku, menikamati aroma buku khas, dan ruangan yang begitu dingin tak pernah didapatkan Ipu di tempat lain selain di perpustakaan.

Gairah Ipu mencuat ketika menapakan kakinya masuk di perpustakaan. Tumpukan buku bila dihitung kurang lebih seribu buku itu, menggugah Ipu untuk menjelajah dan menuliskannya ketika sudah tak muat di otaknya. Diam dan tenang, hanya suara kipas angin tua yang menggelang ke kanan dan ke kiri kondisi ruangan begitu tenang.

Rak buku yang tingginya dua kali tinggi Ipu memaksa kepalanya mendangak keatas dan melihat kategori-kategori buku. Dilihatnya buku yang rupanya begitu tua dengan warna kuning kecoklatan begitu pekat, mengangkat tangan Ipu untuk meraihnya. Art Of loving, dibaca dalam hati dan membuka lembaran demi lembaran. Nampaknya, pencipta buku itu adalah tokoh Frankfurt bernama Erich From.

Ia pun tertarik untuk menguliti satu persatu, karena sampul halaman yang membawa imajinasi Ipu untuk membahas perihal cinta. Ia membaca dengan metode acak. Terbesit dalam pikirannya kala temannya mengomel perihal cinta dan kewarasan. Kuping Ipu yang kecil itu sering kali dibuat bising oleh omelan temannya, disitulah pembalasan Ipu dimulai untuk mengulas isi buku itu.

Sudah hampir enam tahun hidup Ipu sendiri alias tak pernah dekat dengan cewe karena malas. Enam tahun adalah waktu yang lama. Teman-temannya sudah menyicip manis dan pedihnya cinta kala temanya itu sering ngobrol perihal cinta dengan Ipu, padahal Ipu sendiri remidi masalah cinta. Ia hanya mengangguk dan tersenyum karena tak tahu solusi bagi temannya yang menderita itu.

Dibukalah halaman demi halaman dan tersirat bagaimana cinta harus dilaksanakan. Cinta itu harus bisa menjadi seperti diri mereka sendiri, kesepakatan untuk melalui itu semua harus dilalui melalui proses dan pengakuan. Bagaimana dengan Ipu? Renung Ipu yang tak pernah mencoba dan mencari karena bodo amat. Bagaimana bisa belajar dan merasakannya? Berpasrahkah?

Ipu membaca begitu cepat, mengamati inti sari masalah dan maksud yang disampaikan. Ekspektasi Ipu atas buku yang dibacanya lebih kepada trick and tips cinta. Ternyata lebih dari itu. Pada buku itu menekankan eksistensi diri dalam membangun cinta. Tanpa rasa sadar untuk membangun, maka cinta tak pernah terbentuk. Pada sesi itu terasa menohok dan Ipu hanya mengelus rambutnya yang keriting.

Perut Ipu terasa seperit terkukur cacing-cacing di dalam perutnya karena lapar. Dari pagi belum sarapan. Sudah hampir tiga tahun, Ipu makan digabung denga siang hari. Dalam isitilah inggris dinamakan branch. Akhirnya, ia mengusulkan untuk mengembalikan buku ke raknya dan turun tangga menuju kantin pojok kampus.

Sepatu merah marun dan kemeja kota yang didominasi warna hijau, menyusuri kampus. Suara jeritan perempuan yang dicubti lenganya oleh temannya, beserta suara kicauan buruang yang sedang asik bermain diranting-ranting tua, Ipu menyusuri lorong kampus yang lembab.

Dilihat dari kejauhan ia melihat temannya Choi sedang menghisap rokoknya dan melamun memandang kearah pohon beringin. Ditepuklah pundak Choi, dan ia terkaget hingga rokoknya menyulut lengannya. Choi mengumpat dan kumisnya yang tipis merubah mukanya menjadi muram bercampur ceria. Dimuali dari pertanyaan, “Habis dari mana?” mereka melantur kesana kemari berbincang perihal hidup.

Kebetulan Choi punya pengamat magis yang tak bisa ditiru oleh manusia biasa. Ia bisa menghitung dan memprediksikan sesuatu yang tak bisa dilihat. Choi mulai melihat hidung, bibir dan dahi Ipu memulai meramal kehidupan Ipu. Sambil tertawa tipis, ia bisa menyimpulkan apa yang tengah dirasakan Ipu.

Ipu memandang rishi Choi, karena Ipu kadang bosan dengan ramalah Choi, dan memang diakui hampir delapan puluh persen tak pernah meleset. “Dekat-dekat ini, ada perempuan yang naksir kamu.” Ipu langsung meringis dan tak bisa mengelah. Tetapi agar lebih cari, ia melontarkan celetuk. “Sok tau lu.” Sambil menepuk pundak Choi sekeras menepuk gendang.

Choi menyuruh Ipu untuk meng-amini dan mengiyakan apa yang disampaikan Choi. Choi menyuruh Ipu untuk bisa memanfaatkan momentum itu. Choi tahu, sebenarnya Ipu kikuk cara memulai cinta dengan orang lain. Mulai dari mana caranya? Ipu hanya terdiam terpatung kala Choi mengetahui hati kecilnya. Ia memainkan jempolnya dan mengangkat tangannya untuk memesan es teh tawar.

Choi berpidato layaknya filsuf yunani yang bijaksana sedang berbicara tentang cinta. Yang diserap oleh Ipu, bahwasannya, mau tak mau kamu harus merasakan dinamika cinta, dan tak bisa naik kelas bagaimana membangun cinta. Ipu hanya merenung dan memahami apa yang disampaikan Choi. Choi menutup berbincangan dan menghisap rokoknya yang hampir membakar bibirnya, “Kadang kemajuan seseorang dipantik melalui pengalamannya ketika merasakan cinta.”

Choi pun pergi untuk masuk mengikuti kelas yang telah terlambat sekitar sepuluh menit. Merasa kesepian dan pesanan belum juga datang, Ipu pun balik kiri menuju tempat parkir. Ia meresapi lamat-lamat apa yang disampaikan oleh Choi. Ada korelasi antara Choi dan buku Art Of Loving, bagaimana membangun dan memberlakukan cinta.

Hembusan angin segar dibawah pohon bintaro, ia terpukul agar segera membuka hatinya. Cinta itu tidak melulu tujuannya nafsu seperti yang disampaikan oleh freud. Tapi cinta itu adalah komitmen antar eksistensi dalam membangun dan menghadapi cinta. Dengan penuh keberanian akhirnya ia mencari tahu, siapa yang akan dicintainya? Lalu siapa?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak