Olahraga selalu dipandang sebagai cara menjaga tubuh tetap bugar, tapi bagi Generasi Z, olahraga juga punya makna lain, yakni ruang untuk merawat kesehatan mental. Di tengah tekanan akademik, pekerjaan, hingga derasnya arus media sosial, Gen Z sering digambarkan sebagai generasi yang paling rentan mengalami stres, kecemasan, dan burnout. Dalam konteks ini, hadirnya padel sebagai olahraga yang makin nge-trend menunjukkan dimensi positif. Ya, karena nggak cuma melatih fisik, tapi juga jadi sarana healing yang menyenangkan sekaligus bersosial
Data dari UNICEF menunjukkan bahwa secara global, sekitar 1 dari 7 remaja berusia 10–19 tahun mengalami gangguan mental. Di Indonesia, UNICEF Indonesia menegaskan masalah kesehatan mental menjadi salah satu tantangan utama remaja. The Jakarta Post juga melaporkan 59% Gen Z Indonesia mengaku mengalami masalah kesehatan mental.
Gen Z sering disebut sebagai the anxious generation. Meski lebih terbuka membicarakan isu kesehatan mental, mereka juga lebih mudah merasa tertekan. Aktivitas yang mampu mengurangi stres, mempererat hubungan sosial, sekaligus memberi ruang ekspresi, menjadi kebutuhan mendesak. Di sinilah padel menemukan relevansinya.
Berbeda dengan tenis yang menuntut keterampilan teknis tinggi, padel relatif lebih mudah dipelajari. Seorang pemula bisa langsung bermain dalam satu sesi, bahkan menikmati keseruan meski belum menguasai teknik sempurna. Atmosfer ini membuat padel terasa inklusif, bukan kompetitif. Justru karena dimainkan berpasangan, komunikasi dan kerja sama menjadi inti permainan.
Nah, dalam psikologi olahraga, aktivitas fisik terbukti mampu menurunkan kadar kortisol (hormon stres) dan meningkatkan produksi endorfin. Namun, manfaat itu akan semakin besar ketika olahraga dilakukan dalam format sosial. Studi dalam Journal of Sport and Health Science menemukan bahwa partisipasi olahraga tim punya efek positif signifikan pada kesejahteraan mental.
Padel yang hampir selalu dimainkan berpasangan atau ganda, jadi contoh ideal. Bagi Gen Z yang sering merasa terisolasi meskipun terhubung lewat layar, padel membuka ruang nyata untuk berinteraksi. Tawa ketika bola gagal dipukul, teriakan semangat antar rekan, hingga obrolan ringan seusai bermain, memberi efek healing yang nggak bisa ditawarkan olahraga individual.
Bahkan ya, padel pun bisa melawan burnout. Burnout tuh fenomena nyata di kalangan Gen Z. Survei Deloitte (2022) mencatat hampir 46% Gen Z merasa kelelahan akibat beban kerja. Banyak di antaranya merasa nggak punya cukup waktu untuk istirahat atau melakukan hobi.
Padel menjadi alternatif menarik karena nggak membutuhkan latihan panjang atau stamina berlebih. Sesi singkat 60 menit cukup untuk berkeringat, tertawa, dan bersosialisasi. Nggak ada tekanan performa tinggi seperti pada maraton atau gym, sehingga olahraga ini terasa lebih ringan dan manjur melepas penat.
Bagi Gen Z yang mudah jenuh, padel jadi bentuk micro-escape, yakni kabur sejenak dari rutinitas tanpa harus mengambil cuti panjang. Dan dalam kajian psikologi, komunitas disebut sebagai protective factor bagi kesehatan mental. Dukungan sosial terbukti mampu menurunkan risiko depresi dan meningkatkan resiliensi menghadapi stres.
Apakah padel akan bertahan sebagai olahraga musiman, atau berkembang menjadi terapi sosial jangka panjang bagi Gen Z? Jika akses dan inklusivitas bisa dijaga, padel berpotensi jadi bagian dari strategi kesehatan mental nasional. Sama seperti yoga atau meditasi yang awalnya dianggap tren, padel bisa tumbuh jadi budaya olahraga yang mapan.
Bila dikelola dengan inklusif, padel bisa lebih dari sekadar tren sosial media. Ya dong, karena bisa menjadi sahabat baru bagi Gen Z dalam menghadapi tantangan mental zaman modern.