Implikasi Patah Hati bagi Kehidupan Santri: Analisis Perubahan Perilaku

Munirah | Mohammad
Implikasi Patah Hati bagi Kehidupan Santri: Analisis Perubahan Perilaku
Ilustrasi Keberagamaan. (pexels.com/Pok Rie)

Kalau datar-datar saja, bukan kehidupan namanya. Kehidupan itu...ya, kalian tahu sendiri lah! Kadang di atas, kadang di bawah, kadang di depan, kadang di belakang, kadang sehat, kadang sakit, kadang terlelap, kadang terjaga, kadang foya-foya, kadang merasa tak punya apa-apa, kadang mabar, kadang jadi solo player, kadang bilang minta dikritik, kadang membentengi diri dengan UU ITE. Memang nggak pernah mulus hidup ini, yang hidupnya mulus cuma 'Rafathar'.

Bicara soal ketidakmulusan hidup, ada satu momen yang pasti pernah dilalui setiap orang. Apa itu? Momen patah hati. Bagi yang merasa nggak pernah mengalami patah hati, mungkin beliau nggak punya hati, atau mungkin kerjaannya membuat orang lain patah hati; atau mungkin juga sudah rezekinya nggak ngalamin patah hati.

“Eh, yang terakhir disebut kayaknya kurang masuk akal deh! Soalnya Allah itu Maha Adil, dan telah berjanji akan memberikan ujian kepada semua hambanya; salah satunya (mungkin) dalam wujud patah hati". Ngomong-ngomong soal hati, menurut saya ini merupakan satu hal yang cukup kompleks.

Kadang, ketika kita mencoba berbicara dari hati, respon yang didapat malah emosi. Tak jarang ketika hati kita berniat baik, feedback yang kita dapat malah sebaliknya. Akibatnya, hati kita yang mulanya berniat baik tadi, berubah jadi penuh amarah dan rasa tak terima.

Memang begitulah sifat hati, mudah terbolak-balik. Makannya Nabi saw mengajarkan doa, “Ya Muqallibul Quluub! Tsabbit quluubanaa ‘ala diinika (Wahai Dzat yang mampu membolak-balikkan sesuatu yang mudah terbolak-balik [hati]! Jadikanlah hati kami tetap dalam agama-Mu)”.

Oke, kembali ke patah hati. Saat dilanda patah hati, umumnya manusia akan merasa lesu-kelabu-diterjang badai yang tak kunjung berlalu. Hancurnya hati menyebabkan kehancuran semangat hidup dan kehancuran semestanya.

Sesuai dengan apa yang dijelaskan Nabi saw dalam salah satu hadis riwayat Muttafaq ‘Alaih. Nabi saw menyatakan bahwa hati merupakan segumpal darah yang bisa menentukan kondisi seluruh jasad manusia—termasuk pikiran dan kepribadian. Bila hati baik, maka baik pula seluruh jasad; bila hati buruk, maka buruk juga seluruh jasad; bila hati patah…ya bisa disimpulkan sendiri berdasarkan pengalaman yang telah dilalui.

Dalam kondisi yang benar-benar kehilangan arah, saat berada di titik yang paling rendah, manusia biasanya akan mencari pelarian. Wujud pelarian antara satu orang dengan yang lainnya tak sama.

Ada yang mabuk, karaoke, balapan, konsumsi narkoba, dan sederet aktivitas lain yang tak berujung solusi. Namun, ada juga yang meluapkan patah hatinya dalam susunan kata, mendadak puitis dan punya banyak ide untuk ditulis—saya pernah merasakannya. Semua itu intinya bertujuan untuk melupakan patah hati, juga mendapatkan kembali identitas diri.

Nah…sekarang apa jadinya bila yang patah hati itu santri? Seperti apa wujud pelariannya? Santri yang patah hati biasanya tiba-tiba mencapai titik rajin tertingginya, padahal sebelumnya nggak serajin itu.

Santri yang tengah patah hati biasanya akan berangkat ngaji lebih awal, shalat jamaah tak pernah ketinggalan, bahkan tak sedikit pula yang tiba-tiba rajin shalat dhuha dan shalat tahajud. Subhanallah sekali ya pelarian mereka.

Tak berhenti di situ, kadang guna melupakan patah hatinya, santri akan menghafal lebih banyak materi ngaji, misalnya nazam, hadis, atau ayat al-Qur'an—dan biasanya patah hati justru mendorong kecepatan hafalan mereka.

Jujur, saya sendiri pernah mengalami hal tersebut. Waktu itu, saya melihat doi foto ‘mesra' bareng arek kae di depan mata kepala saya. Sebagai manusia yang memiliki perasaan, jelas hati saya terbakar, sangat ingin meluapkan amarah semaksimal mungkin.

Tapi apa daya, doi kayaknya juga nggak bakal peduli, saya pun memilih untuk diam. Malam harinya, kok ya ndilalah pas mata pelajaran hadis, ada tugas hafalan pula. Sebagai orang yang sehabis patah hati dan merasa dikhianati, saya harus bertarung dengan pikiran dan perasaan saya. Tak saya sangka, saat tiba waktu setor hafalan, saya bisa melafalkannya dengan cukup lancar—padahal saat itu hadisnya agak panjang dan kalimatnya sedikit rumit.

“Ini bukan kok saya sombong, enggak lho ya. Saya cuma mengungkapkan perasaan heran saya atas pengalaman patah hati saya". Selesai hafalan, dalam nurani saya tebersit rasa puas; sebuah rasa seperti sehabis balas dendam.

Tapi balas dendamnya dilakukan dengan cara yang sedikit elegan (heleh, mbel!). Perlu diketahui bahwa hasil penelitian saya ini belum tentu berlaku bagi semua santri. Ada juga kok santri yang tenggelam dalam kesedihannya ketika patah hati.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak