Hidup di dunia modern membuat kita merasakan kehidupan serba cepat dan instan. Meskipun begitu, kita seringkali merasa bosan dengan rutinitas sehari-hari, ditambah lagi pada masa pandemi yang mengharuskan sebagian orang untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah.
Perasaan bosan semacam ini memang hal yang wajar. Akan tetapi, kalau semakin lama dibiarkan, rasa bosan dapat mengurangi gairah hidup. Hal itu bisa membuat kita merasa malas, serta tidak optimal dalam menjalani hidup. Oleh karena itulah, memaknai hidup dengan ikigai merupakan salah satu cara yang patut kita coba.
Apa itu ikigai?
Ikigai secara etimologis berasal dari dua kata dalam bahasa Jepang yakni iki yang berarti hidup dan gai yang berarti nilai. Secara utuh, ikigai dapat diartikan sebagai nilai hidup.
Sementara itu, menurut kamus Koujien edisi 6 yang disusun oleh Shinmura Izuru, ikigai memiliki arti 'hidup yang layak' atau 'perasaan syukur atas kehidupan'. Ikigai adalah istilah Jepang untuk menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan (Mogi, 2018:6). Ikigai terkadang diekspresikan sebagai 'alasan bangun di pagi hari' (Mogi, 2018:21).
Ikigai dan kesalahpahamannya
Merujuk Ikigaitribe.com, Prof. Hasegawa, seorang peneliti ikigai terkemuka asal Jepang menjelaskan bahwa apabila ditelusuri, istilah asli ikigai berasal dari zaman Heian. Menurutnya kata gai dalam istilah ikigai berasal dari kata kai yang mempunyai arti kerang. Kerang sendiri merupakan benda yang terbilang cukup berharga di Jepang zaman kuno, salah satunya kerang yang digunakan dalam permainan kaiawase.
Pada permainan kaiawase, para pemain diminta untuk mencocokkan gambar yang ditorehkan dengan media kerang. Kerang dalam permainan kaiawase tersebut dihias menggunakan tangan oleh para seniman, sehingga harganya sangat mahal. Kerang semacam ini selain digunakan sebagai permainan digunakan pula untuk hiasan.
Sebagaimana kerang yang begitu berharga pada masa itu, maka kata kai pada kerang digunakan dalam istilah ikigai yang dimaknai sebagai "hidup yang berharga". Penjelasan Prof. Hasegawa terkait arti dari istilah ikigai tersebut mematahkan anggapan bahwa ikigai berasal dari Okinawa.
Selain itu, kesalahpahaman mengenai ikigai juga terjadi dalam pemaknaan ikigai lewat diagram venn yang selama ini banyak beredar. Menyadur Ikigaitribe.com, Prof. Hasegawa menjelaskan bahwa diagram venn ikigai yang pada awalnya dibuat oleh Winn kurang tepat untuk memahami ikigai. Lebih lanjut, menurut Prof. Hasegawa ikigai bukan berfokus pada pekerjaan dan uang sebagaimana yang digambarkan Winn dalam diagram vennya.
Berdasarkan sesi podcast Prof. Hasegawa dengan Nick di laman Ikigaitribe.com dapat disimpulkan bahwa bagi orang Jepang, kesuksesan dalam bekerja serta menghasilkan uang tidak serupa dengan ikigai, tetapi lebih kepada produk sampingan yang diperoleh seseorang ketika dia menjalankan ikigai-nya.
Lingkup ikigai terbilang spesifik yakni terkait peran serta seorang individu pada lingkungan sekitar bukan dunia secara luas. Ikigai juga bukan merujuk pada hal yang kita kuasai tetapi lebih kepada hal sederhana serta memiliki fokus pada pertumbuhan diri. Misalnya, hobi atau rutinitas kita setiap hari. Selain itu, ikigai tidak terbatas pada segala hal yang kita sukai bisa saja. Kita dapat pula menemukan ikigai dalam suatu kondisi yang tidak kita sukai.
Karakteristik ikigai
Berdasarkan buku Ikigai ni Tsuite karya Kamiya Meiko, ikigai memiliki 6 karakteristik yaitu:
- Ikigaikan
Keberadaan ikigai selalu dibarengi dengan ikigaikan (feeling of ikigai). Ikigaikan merujuk pada perasaan senang yang dirasakan oleh seseorang ketika melakukan kegiatan sesuai dengan ikigai-nya (Kamiya, 2004: 81). - Wujud ikigai tidak selalu hal yang menguntungkan
Ikigai tidak selalu berupa segala hal yang bersifat menguntungkan dalam hidup kita, bisa pula berupa hal yang tampak remeh, sepele, terkesan tidak terlalu berguna, atau bahkan sesuatu yang sangat mewah. Karakteristik ikigai ini sama dengan konsep 'permainan' yang dicetuskan oleh teoritikus budaya asal Belanda, Huizinga (Kamiya, 2004:82). - Ada motivasi ketika melakukan ikigai
Seseorang akan merasa termotivasi ketika melakukan kegiatan yang berlandaskan ikigai. Misalnya, seorang petugas medis dengan ikigai-nya yaitu melakukan pertolongan medis sampai ke luar negeri. Ia secara sadar akan memenuhi tugas tersebut bukan sekedar melaksanakan kewajibannya tetapi juga melakukannya dengan senang hati (Kamiya, 2004: 82). - Ikigai bersifat pribadi
Setiap orang memiliki ikigai-nya tersendiri dengan kekhasannya masing-masing, sehingga ikigai tidak dapat dibentuk dengan 'meminjam' atau 'meniru' milik orang lain (Kamiya, 2004: 82). - Ikigai membuat seseorang menciptakan sistem nilai
Ikigai bisa berjumlah lebih dari satu, oleh karenanya apabila seseorang memiliki banyak ikigai maka secara otomatis ia akan mampu meprioritaskan mana ikigai yang ingin ia dahulukan (Kamiya, 2004: 83). - Ikigai membuat seseorang merasa bebas
Kamiya (2004:83) memaparkan bahwa ikigai bisa diibaratkan sebagai sebuah bentuk kehidupan yang nyaman, yaitu ketika seseorang menciptakan dunia pikiran yang bebas. Seseorang yang memiliki ikigai diharapkan dapat dengan bebas menentukan apa saja yang layak dalam hidupnya, hingga akhirnya menciptakan kehidupan yang cocok untuk dijalani.
Pilar-pilar ikigai
Mogi Ken dalam bukunya The Book of Ikigai (2018: 187) menyebutkan bahwa ikigai memiliki lima pilar yakni:
- Awali dengan hal yang kecil
Ciptakanlah ikigai lewat hal-hal kecil di sekitar yang bisa kita temui setiap hari. Kita bisa mengambil contoh dari seorang chef sushi terkemuka asal Jepang yang mempunyai ikigai membuat sushi terbaik, Ono Jiro. Ono mulai membentuk ikigai tersebut lewat hal-hal kecil dalam kesehariannya seperti merancang wadah khusus untuk restorannya, memperbaiki peralatan membuat sushi, dan lain sebagainya (Mogi, 2018: 14-15). - Bebaskan dirimu
Pembebasan diri mengajak kita untuk bisa menerima diri kita apa adanya dengan membuang segala bentuk khayalan diri, karena secara paradoks pembebasan diri terkait dengan penerimaan diri (Mogi, 2018:169). - Keselarasan dan Kesinambungan
Keselarasan dan kesinambungan ikigai salah satunya tercermin pada musik Radio Taisho yang diperdengarkan di pagi hari untuk menyatukan para orang paruh baya di Jepang dalam kegiatan senam pagi (Mogi, 2018:30-31). Mogi (2018: 31) juga menambahkan bahwa Radio Taisho barangkali merupakan pendewaan etos bangsa Jepang yang menghargai aktivitas awal pagi. Hal ini terutama menarik dari sudut pandang bangunan sosial ikigai, karena ia menyatukan satu komunitas, demi menjaga keselarasan dan kesinambungan, pilar ketiga. - Kegembiraan dari hal-hal kecil
Mogi (2018: 31) menjelaskan bahwa kegembiraan dari hal-hal kecil tampak terutama berkaitan dalam konteks bangun pagi, mengingat merupakan kebiasaan di Jepang untuk pertama kali menikmati sesuatu yang manis di pagi hari-secara tradisi dengan teh hijau, meskipun kini ia sudah digantikan dengan kopi atau teh hitam. Oleh karena itu, ikigai bisa didapat dari aktivitas-aktivitas kecil, seperti menikmati sarapan atau secangkir kopi di pagi hari. - Hadir di tempat dan waktu sekarang
Bangsa Jepang memang terkenal sangat mengapresiasi keindahan dari sesuatu yang bersifat fana. Kebiasaan ini tercermin salah satunya lewat hanami (tradisi melihat dan menikmati bunga sakura yang bermekaran) (Mogi, 2018:48). Dengan demikan, ketika kita menyadari ikigai merupakan suatu yang fana dan suatu saat akan hilang maka secara otomatis kita akan menghadirkan diri kita di tempat dan waktu sekarang.
Temukan ikigaimu
Setelah menyimak mengenai pemaparan ikigai, sekarang saatnya untuk menemukan ikigai kita masing-masing. Mulailah dari hal kecil sesuai yang sering dijumpai sehari-hari sesuai dengan pilar pertama ikigai. Jangan lupa kalau ikigai tidak selalu berupa hal yang menguntungkan sejalan dengan karakteristik ikigai yang kedua. Bisa saja kamu menemukan ikigai dari situasi yang paling menjengkelkan dalam hidupmu. Bagaimana? Tertarik untuk mencoba?
Sumber rujukan:
https://ikigaitribe.com/ikigai/podcast01/
https://ikigaitribe.com/ikigai/ikigai-misunderstood/
Kamiya, Meiko. (2004). Ikigai ni Tsuite. Tokyo: Misuzu Bookstore.
Mogi, Ken. (2018). The Book of IKIGAI, terj. Nuraini Mastura. Jakarta Selatan: Penerbit Naura.
Shinmura, Izuru. (2008). Koujien Dai Roku Ban. Tokyo: Iwanami Shoten.