Sake dan Nomikai di Mata Masyarakat Jepang: Penuh Makna, Tak Cuma Penghilang Stres Belaka

Hernawan | Akiira
Sake dan Nomikai di Mata Masyarakat Jepang: Penuh Makna, Tak Cuma Penghilang Stres Belaka
Berbagai jenis sake (pexels/Markus Winkler)

Minum minuman beralkohol merupakan bentuk kebiasaan yang sudah membudaya di berbagai kelompok masyarakat dunia. Bahkan, setiap negara memiliki alkohol khas mereka masing-masing.

Selain identik sebagai minuman yang menghangatkan tubuh, alkohol juga dipercaya dapat melepas stres dan lelah. Namun bagi masyarakat Jepang, tradisi minum alkohol sendiri bukan hanya sebatas untuk menghangatkan tubuh ataupun melepas penat belaka. 

Sekilas tentang sake dan nomikai

Kata sake atau osake secara umum merujuk pada minuman beralkohol khas Jepang yang dibuat dari fermentasi beras. Sementara itu, dalam kosakata bahasa Jepang, kata sake tidak hanya digunakan untuk merujuk alkohol khas Jepang, tapi juga bisa digunakan sebagai istilah yang merujuk minuman beralkohol secara umum.

Di Jepang istilah yang khusus digunakan untuk merujuk minuman beralkohol khas Jepang yakni nihonshuu. Selain sake, adapula shouchuu sejenis menimuman beralkohol yang disuling dari ubi jalar atau beras.

Nomikai sendiri berasal dari dua kata yaitu nomi yang berarti minum dan kai yang berarti pertemuan atau pesta, sehingga secara sederhana, nomikai berarti 'pertemuan untuk minum' atau 'pesta minum'. Peserta nomikai biasanya adalah para pekerja kantoran yang mengadakan acara ini sepulang kantor di izakaya (bar khas Jepang) atau restoran.

Budaya nomikai tampaknya telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jepang, seiring dengan perkembangan pelbagai industri minuman beralkohol terkemuka, seperti Suntory, Kirin, Asahi, ataupun pabrik sake yang lebih kecil. Tempat-tempat untuk menikmati sake pun cukup beragam mulai dari izakaya, pub, restoran, dan sebagainya di mana pada skala tersebut minuman dianggap sebagai bisnis penting (Moeran dalam McDonald dan Sylvester, 2014:331).

Tatemae dan honne

Minum adalah salah satu dari sedikit cara yang diterima untuk 'membuka kedok' hubungan sosial formal, tujuan akhirnya adalah memberikan kesempatan untuk bentuk komunikasi yang lebih langsung (Partanen dalam McDonald dan Sylvester, 2014:332).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa nomikai memiliki peran sebagai suatu bentuk komunikasi dalam kelompok masyarakat di Jepang dengan mengabaikan 'topeng sosial' yang dimiliki oleh masing-masing pesertanya.

Jadi, secara sederhana nomikai memiliki fungsi sebagai wadah komunikasi terbuka, sehingga para peserta bisa dengan bebas 'menampilkan' diri mereka apa adanya dalam menyampaikan keluh kesah atau pendapat.

Masyarakat Jepang termasuk ke dalam kategori masyarakat yang terbiasa hidup dalam kelompok. Oleh karena itu, keberadaan 'topeng sosial' umumnya dibutuhkan dalam kelompok masyarakat semacam ini.

'Topeng sosial' inilah yang dinilai mampu menjaga hubungan baik tiap-tiap anggota kelompok, sehingga masyarakat Jepang tidak terbiasa untuk tampil secara blak-blakan dalam bersosialisasi. Konsep 'topeng sosial' dalam istilah bahasa Jepang disebut dengan tatemae, sedangkan lawannya adalah honne (real intention atau maksud yang sebenarnya). 

Tentu saja kebiasaan nomikai sangat berhubungan dengan keberadaan konsep tatemae dan honne dalam masyarakat Jepang. Ada kalanya seseorang perlu mengungkapkan apa yang benar-benar ia rasakan terhadap orang lain, apalagi kalau itu menjadi penyebab dari suatu permasalahan tertentu.

Ketika situasi ini terjadi, maka solusi yang akan diambil salah satunya lewat nomikai. Efek mabuk yang ditimbulkan dari sake atau minuman alkohol lain dalam acara nomikai membuat peserta yang meminumnya secara tidak sadar akan berbicara terus terang apa adanya.

Sementara itu, para peserta lain akan mewajarkan situasi tersebut. Mereka tidak akan mengambil hati mengenai apa yang dikatakan oleh peserta tadi. Sebaliknya mereka akan menganggapnya suatu kewajaran, karena dilakukan oleh seseorang yang mabuk.

Ketika nomikai berlangsung, akan tercipta suasana khusus yang memudahkan pesertanya untuk mendiskusikan kesulitan, memberikan kritik, dan bertukar pendapat secara bebas (Rohlen dalam Ben-Ari, 2003:94).

Ladang promosi yang menggiurkan

Nomikai tidak hanya dimanfaatkan untuk membicarakan seputar permasalahan kerja, tetapi juga dimanfaatkan pula sebagai wadah mencari peluang berbagai promosi menarik. Para peserta nomikai akan berusaha sebaik mungkin memberikan kesan baik kepada para pimpinan mereka ketika nomikai berlangsung. Kesan baik ini mulai dibangun dari awalan yang sederhana yakni dengan menerima ajakan nomikai dari pimpinan.

Di Jepang, menolak ajakan nomikai dari pimpinan atau atasan dianggap meninggalkan kesan yang buruk. Sebab ketika pimpinan mengajak untuk minum-minum selepas kerja, itu berarti dia tertarik mengenal karyawannya tersebut terlepas dari situasi formal. Kesan baik dalam acara nomikai bisa juga didapat ketika seorang karyawan menuangkan sake ke dalam gelas milik pimpinannya. Hal semacam ini dianggap sebagai tata krama di Jepang.

Membangun solidaritas

Penghilangan batasan-batasan sosial dalam nomikai juga turut andil dalam meningkatkan solidaritas antar peserta yang mengikutinya. Para peserta nomikai bisa bebas menyampaikan aspirasi, opini, dan keluh kesah kepada peserta lain tanpa sungkan, sehingga secara tidak langsung akan menciptakan suasa akrab terlepas dari hubungan senioritas.

Sebagai bentuk sambutan dan perpisahan

Mungkin bagi para penggemar anime atau dorama (drama Jepang), pasti sering melihat adegan sekelompok orang yang mengadakan pesta sambutan ketika ada orang baru yang masuk dalam lingkaran sosial mereka. Pesta semacam ini disebut dengan kangeikai.

Adapula istilah soubetsukai atau pesta perpisahan yang diadakan untuk menghormati seseorang yang akan pensiun, hendak pindah ke tempat lain, dan sebagainya. Baik kangeikai maupun soubetsukai biasanya selalu dilaksanakan dengan mengadakan pesta minum atau nomikai.

Demikianlah beberapa peranan sake dan nomikai dalam masyarakat Jepang. Terlepas dari berbagai peranannya yang mungkin tidak bisa tergantikan baik bagi masyarakat Jepang maupun para penikmat alkohol lainnya di seluruh dunia, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk lepas kendali. Jangan sampai terjadi kelalaian saat mabuk dan malah membahayakan orang lain.

Sumber Referensi:

  1. McDonald, Brent dan Kate Sylvester, 2014. “Learning to Get Drunk : The Importance of Drinking in Japanese University Sports Clubs”, International Review for Sociology for Sports, Vol. 49(3/4), h. 331-345. https://doi.org/10.1177%2F1012690213506584
  2. Ben-Ari, E. 2003. “Sake and Space Time : Culture, Organization, and Drinking in Japanese Firms”Senri Ethnological Studies Vol. 64, h. 89-100. https://doi.org/10.15021/00002732

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak