Menunggu Model Pembelajaran di Tengah Pandemi

Hernawan | Suiroh Hermawan
Menunggu Model Pembelajaran di Tengah Pandemi
Ilustrasi sekolah dibuka di tengah pandemi. (Pixabay)

Pembelajaran tatap muka (PTM) tahun ajaran 2021/2022 di Indonesia akhirnya kembali bergulir (secara terbatas). Mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Setelah lebih dari setahun dunia pendidikan di Tanah Air harus vakum dari kegiatan belajar mengajar seperti biasa akibat situasi yang tidak normal: pandemi Covid-19.

Masih teringat di benak kita, ketika virus Covid-19 pertama kali menghantam Indonesia, sektor pendidikan luluh lantak. Pemerintah saat itu terpaksa mengambil keputusan memberlakukan pola belajar mengajar secara dalam jaringan (daring) alias biasa dikenal online.

Kemudian, beranjaknya waktu, keputusan pemerintah mulai melunak sebab mempertimbangkan penyebaran Covid-19 yang dianggap melandai. Daerah zona hijau (aman) boleh melakukan kegiatan pendidikan dengan protokol kesehatan amat ketat.

Lalu, beberapa bulan lalu, keputusan pelik kembali muncul. Kegiatan belajar mengajar ditempuh lagi secara daring sebab meningkatnya penyebaran Covid-19 pasca-Lebaran tahun 2021. Kendati demikian, tak berlangsung lama, kegiatan pendidikan mulai dilonggarkan lagi dengan dibolehkannya beajar mengajar tatap muka dengan syarat-syarat tertentu, karena penyebaran Covid-19 dirasa telah terkendali dan menurun.

Menilik perjalanan kegiatan pendidikan yang terjadi selama pandemi, maka  telah terjadi empat fase proses belajar mengajar di Indonesia. Menjadi pertanyaan penting, apakah akan terjadi lagi perubahan skema belajar mengajar?

Pasalnya, hingga kini tidak ada yang dapat memastikan kapan pandemi Covid-19 berakhir. Selanjutnya, bagaimana nasib intelektualitas generasi muda dengan kerap bergantinya pola belajar mengajar?

Kepastian proses belajar mengajar

Menurut Putt dan Springer (dalam Syafaruddin, 1989), ada tiga proses dalam kebijakan pendidikan yaitu formulasi, implementasi dan evaluasi. Merujuk pemikiran tersebut, maka pemerintah kiranya adalah penentu dari kebijakan itu sebagai penyelenggara kehidupan negara. Pemerintah sepatutnya merumuskan tiga tahapan tadi selama pandemi belum berakhir.

Terkait formulasi pendidikan, pemerintah sebetulnya dapat menaruh kepastian perspektif dengan pandemi yang sekarang terjadi. Anggaplah pemerintah berpandangan bahwa penyebaran virus Covid-19 tidak pernah melandai, meski keadaan sebetulnya terkendali.

Bisa juga sudut pandang pemerintah menganggap bahwa Covid-19 di Indonesia telah mengecil angkanya, walaupun justru sebaliknya  sangat banyak yang terpapar. Atau dapat pula berada di tengah-tengah, melandai tidak, namun meningkat juga mustahil terjadi. Intinya: ada satu perspektif yang menjadi patokan pemerintah dalam menilai penyebaran Covid-19.

Dengan begitu, pemerintah bakal lebih mudah menyusun skema belajar mengajar yang efektif di SD hingga perguruan tinggi. Melalui satu pandangan saja yang diambil, pemerintah tak bakal lagi menjadi gamang menentukan cara belajar mengajar yang tepat selama pandemi serta bersifat mutlak begitu terus prosesnya. Tidak melulu berubah menyesuaikan keadaan penyebaran Covid-19 atau kondisi di daerah.

Tinggal selanjutnya, metode belajar mengajar yang tak pernah berganti lagi tersebut karena telah adanya kepastian perspektif dari pemerintah, dipantau pelaksanaan atau implementasinya di lapangan. Apakah sesuai dengan keputusan yang ditetapkan. Di sini perlu ketegasan dari pemerintah pusat bahwa seluruh proses belajar mengajar di seluruh daerah dan unit pendidikan bersifat sama. Jangan sampai ada yang memberlakukan kegiatan belajar mengajar secara gaya sendiri karena memiliki perspektif berbeda terhadap pandemi.

Terakhir adalah evaluasi. Ini merupakan rangkaian kerja kebijakan yang sangat penting. Semua yang telah dilakukan dalam dunia pendidikan selama pandemi akan berakhir sia-sia tanpa ada evaluasi. Evaluasi dalam hal ini yaitu menilai kritis hasil dari proses belajar mengajar yang diputuskan satu model saja selama pandemi, namun tidak lantas mengubahnya menyeluruh bila terdapat kekurangan.

Artinya, hanya yang dirasa tidak efektif saja ditambah atau dikurangi, tetapi bukan dihilangkan. Stufflebeam (1971) menjelaskan, kegiatan evaluasi merupakan proses yang menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.

Oleh sebab itu, evaluasi hanya menjadi sarana merevisi keputusan cara belajar mengajar selama pandemi dengan satu model saja. Bukanlah merombak total yang telah dilakukan atau mengubah ke masa lampau lagi yang mengakibatkan kebingungan peserta didik maupun pengajar.

Kepastian cara belajar mengajar dengan satu model diikuti pengawasan dan penilaian akhir dalam keadaan yang sulit seperti pandemi sangatlah penting. Semuanya berpengaruh terhadap nasib nalar intelektualitas peserta didik.

Jean Piaget (1981) berpendapat, proses berpikir manusia merupakan suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual kongkret ke abstrak. Dapat dipahami dengan begitu, kepastian satu model belajar saja di tengah pandemi akan menentukan sejauh mana pemikiran peserta didik dalam menyerap ilmu pengetahiuan. Tidak terganggu dengan metode belajar mengajar yang sering berubah-ubah sehingga merusak konsentrasi dan membuat kebosanan.

*) Oleh: Suiroh. Penulis adalah pengajar di Rumah Belajar Griya Studi dan Mahasiswi Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi Universitas Pamulang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak