Mengawali bulan November 2021 dengan memberikan sosialisasi dan bimbingan teknis toponimi di Kota Surakarta, merupakan suatu kehormatan tersendiri bagi saya. Mengingat dulu sempat terlibat dalam pekerjaan memetakan wilayah batas RT/RW di Kota Surakarta, terutama digitalisasi peta hasil partisipasi masyarakat, hingga menyusunnya ke dalam basis data spasial.
Salah satu salindia presentasi yang saya sajikan tentunya berupa atlas yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Selain itu, sebagaimana tema kegiatan, maka presentasi pagi tadi (2/11/2021) berisi tentang pengantar toponim dan regulasi penamaannya. Kegiatan ini diselenggarakan oleh bagian tata pemerintahan Kota Surakarta dan Badan Informasi Geospasial (BIG).
BIG merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang mendapatkan amanah untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan Informasi Geospasial, termasuk toponim atau yang dikenal pula sebagai nama geografis atau nama rupabumi.
Sejak awal tahun 2021, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, maka BIG bertindak sebagai koordinator penyelenggara pembakuan nama rupabumi.
Salah satu tugasnya adalah memberikan sosialisasi dan bimbingan teknis toponim. Inisiatif dari Pemerintah Kota Surakarta untuk kembali membangkitkan semangat gotong royong pengumpulan toponim patut mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh dari BIG. Kegiatan ini merupakan bagian dari koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam tata kelola toponim di Indonesia.
Kegiatan dihadiri oleh perwakilan OPD (Organisasi Perangkat Daerah), perwakilan Kecamatan, dan perwakilan Kelurahan, hingga pihak ketiga pelaksana kegiatan pengumpulan toponim dan pemetaan. Tujuannya adalah mengenal tahapan penyelenggaraan nama rupabumi, termasuk penggunaan aplikasi Sistem Informasi Nama Rupabumi (SINAR).
Apa itu nama geografis/nama rupabumi/toponim?
Sebagaimana saya sampaikan di atas bahwa nama geografis dikenal pula dengan nama rupabumi atau lebih umumnya lagi disebut sebagai toponim. Ketiga istilah tersebut kerap digunakan secara bergantian dan tentunya merujuk pada hal yang sama. Nah, ilmu yang mempelajari tentang penamaan fitur geografis/rupabumi disebut dengan toponimi.
Makin ke sini yang mempelajari toponimi tidak terbatas pada geografi, bahasa, sejarah, namun makin banyak disiplin keilmuan yang menyadari keterkaitan ilmunya dengan toponim. Kesadaran tentang pentingnya toponim ini telah diulas di tingkat Internasional pada tahun 1959. Hingga akhirnya dibentuklah Kelompok Pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Nama Geografis (UNGEGN: United Nations Group of Experts on Geographical Names).
Indonesia sebagai negara anggota PBB tentunya turut berperan aktif dalam organisasi tersebut. Salah satu berita yang paling sering diangkat adalah jumlah dari daftar nama pulau yang telah dibakukan by names by coordinates oleh Indonesia yang disampaikan dalam tiap laporan negara pada kegiatan UNGEGN.
Nama pulau, gunung, sungai, unsur bawah laut (gunung bawah laut, palung, dan sebagainya), dan berbagai fitur geografis alami lainnya termasuk bagian dari toponim. Selain tentunya, nama bangunan, gedung, jalan, wilayah administrasi pemerintahan (dari provinsi hingga desa), kemudian nama permukiman seperti kampung, perumahan, dan sebagainya adalah bagian dari toponim unsur buatan. Kesemua fitur atau unsur rupabumi yang bernama tadi perlu didata, kemudian bagi yang belum bernama dapat diberi nama.
Toponim yang dikumpulkan baik unsur alami maupun unsur buatan tersebut, nantinya akan ditelaah berdasarkan prinsip nama rupabumi, termasuk kaidah spasial dan penulisan nama rupabumi. Kegiatan penelaahan inilah yang merupakan bagian penting dalam proses pembakuan nama rupabumi. Tujuannya adalah menghasilkan nama rupabumi yang baku dan sesuai dengan prinsip yang disepakati dan ditentukan untuk digunakan di Indonesia.
Mengenal Prinsip Nama Rupabumi dalam PP 2 Tahun 2021
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi pada tanggal 6 Januari 2021. PP 2 Tahun 2021 tersebut mengatur alur penyelenggaraan pembakuan nama rupabumi, termasuk pemangku kepentingan dan berbagai pihak yang dapat dilibatkan.
Setiap melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis, BIG senantiasa menyampaikan alur penyelenggaraan, aktor yang terlibat, kemudian kewenangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selain itu, juga disampaikan tentang keberadaan 10 Prinsip Nama Rupabumi sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3 dari PP 2 Tahun 2021.
Prinsip pertama adalah nama rupabumi harus menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini tentunya selaras dengan semangat sumpah pemuda dan Undang-Undang terkait Kebahasaan yang menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Kemudian, prinsip kedua dituliskan bahwa nama rupabumi dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila Unsur Rupabumi memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Saya tidak akan mengulas kesemua prinsip nama rupabumi, saya coba angkat satu lagi prinsip nama rupabumi yang perlu terus dikenalkan keberadaaanya. Prinsip yang berkaitan dengan penggunaan nama diri orang dalam penamaan fitur rupabumi.
Prinsip ketujuh yang mesti dikutip secara utuh dari kata pembuka pada Pasal 3 PP 2 Tahun 2021 yang berbunyi: Nama Rupabumi harus memenuhi prinsip sebagai berikut: ... g. hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia.
Prinsip tersebut diadopsi dari resolusi yang dikeluarkan oleh UNGEGN pada sekitar tahun 1960an. Salah satu resolusi yang dalam penerapannya masih menjadi tantangan bagi berbagai negara yang telah mengadopsinya. Bahkan, Kanada sebagai negara yang mengusulkan prinsip tersebut hingga sekarang pun masih menghadapi tantangan yang sama.
Edukasi dan literasi tentang pentingnya masih terus dilakukan. Upaya mengenalkan bahwa kita harus menghindari penggunaan nama diri orang yang masih hidup, kemudian dapat menggunakan nama diri orang yang telah meninggal dunia setelah melewati masa tunggu yang ditentukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengkultusan individu dan hal-hal lain yang kita ketahui belakangan terkait profil individu yang digunakan namanya sebagai nama geografis.
Adakah contoh permasalahan ini di Indonesia? Tentunya ada beberapa yang dapat kita cermati seperti nama yang menggunakan nama Presiden dan Wakil Presiden RI untuk fitur alami, kemudian terdapat pula nama yang menggunakan tokoh publik yang masih hidup untuk fitur bangunan/gedung.
Bahkan, yang cukup populer dan telah dijadikan nama jalan secara resmi adalah Jalan MBZ yang menggantikan nama jalan tol japek. MBZ sendiri masih hidup, beliau juga bukan tokoh nasional dan penamaannya merupakan hasil diplomasi berdasarkan asas timbal balik atas penamaan jalan Presiden Jokowi di Abu Dhabi.
Lalu, bagaimanakah solusi yang disarankan terkait fenomena penamaan tersebut? Berdasarkan diskusi yang dilakukan di UNGEGN pada awal Mei 2021 dan webinar UNGEGN Asia South-East Division yang diselenggarakan oleh Indonesia beberapa waktu lalu, satu kesimpulan yang sama dan saya pun sepakat yaitu jangan bosan melakukan edukasi toponimi.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengenalkan keberadaan prinsip nama rupabumi dan urgensi keberadaan nama rupabumi baku yang kelak dapat jadi acuan bersama. Salah satunya melalui tulisan di berbagai media, seperti yoursay suara.com yang mempunyai jangkauan luas ke berbagai kalangan.
*Aji Putra Perdana Ph.D. Candidate Geo-Information Processing di Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente