Masih ingatkah kita dengan berita beberapa waktu lalu terkait pertukaran penamaan jalan? Kontroversi usulan penamaan jalan Mustafa Kemal Atatürk sebagai bagian asas timbal balik atas penamaan Jalan Ahmet Sukarno, memantik diskusi panjang di berbagai kalangan, dari golongan agama hingga komunitas budaya.
Berbagai kalangan pun ramai mengusulkan berbagai penamaan lain yang sekiranya dapat diterima berbagai pihak atau tidak menimbulkan kontroversi. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bahkan mengusulkan penggunaan nama kota ketimbang nama diri orang yang menimbulkan kontroversi. Beliau juga menyatakan bahwa telah bersurat ke Duta Besar Indonesia untuk Turki dan menyampaikan adanya peraturan gubernur terkait penamaan jalan.
Selain itu, terdapat pula masukan agar penamaan jalan di DKI Jakarta lebih baik menggunakan tokoh masyarakat setempat sebagaimana masukan dari Bamus Betawi. Berita terakhir, pada 29 Oktober 2021, dikabarkan oleh sejumlah media, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan mempertimbangkan usulan penamaan jalan di DKI Jakarta menggunakan nama tokoh betawi.
Dari sudut pandang toponimi, kemunculan kontroversi penamaan jalan dapat menjadi pintu masuk mengenalkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi (selanjutnya ditulis PP 2/2021). Berdasarkan PP 2/2021 tersebut, jalan merupakan unsur rupabumi buatan yang dapat diberi nama dan penamaannya tentu harus mengikuti prinsip nama rupabumi.
Pasal 3 PP 2/2021 memuat 10 Prinsip Nama Rupabumi, di antaranya akan coba saya kupas prinsip yang berkaitan dengan fenomena penamaan jalan di Indonesia pada tahun 2021. Sebelum itu, saya coba berikan gambaran sedikit tentang odonimi, toponimi, dan bagaimana organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa peduli terhadap penamaan fitur geografis, termasuk nama jalan. Kemudian, dilanjutkan dengan ulasan mengenai urgensi edukasi toponimi terutama mengenai prinsip nama rupabumi.
Odonimi: Definisi, Tren, dan Prinsip Penamaannya
Beberapa waktu lalu, saat ramainya berita penamaan jalan, saya ditandai oleh salah satu Profesor bidang Informasi Geospasial yang menggunggah cerita tentang isu penamaan jalan Mustafa Kemal Atatürk. Beliau menyampaikan pendapatnya bahwa penamaan jalan itu ada ilmunya.
Nama ilmunya adalah odonimi yang merupakan bagian dari bidang keilmuan toponimi. Toponimi sendiri merupakan cabang ilmu onomastika (ilmu tentang penamaan) yang mempelajari tentang asal-usul penamaan geografis, baik fitur alami maupun buatan.
Odonimi inilah yang erat kaitannya dengan relasi kuasa atau simbolik kekuasaan di mana kecenderungan penguasa suatu wilayah akan menggunakan kekuasaannya untuk menamai jalan dengan tokoh atau sosok tertentu.
Tren odonimi belakangan ini adalah penggunaan nama diri orang (baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal) dijadikan sebagai alat diplomasi dan memperlancar kerja sama antar negara, bagian dari penerapan asas resiprositas (asas timbal balik dan manfaat).
Kembali ke unggahan status dari Facebook Profesor tersebut, beliau juga menuliskan bahwa: "Memberi nama tempat itu janganlah yang menyulut kontroversi. Apalagi menggunakan nama tokoh yang masih hidup, yang ke depannya kita belum tahu, akhir riwayatnya seperti ini. Ini bukan kata saya, tetapi rekomendasi UNGEGN (United Nation Group of Expert on Geographical Names)."
Saya pun membalas status tersebut dengan menyampaikan bahwa saya sepakat dengan pendapat yang disampaikannya. Saya menambahkan pula bahwa terdapat Resolusi UNGEGN mengenai rekomendasi ketentuan penggunaan nama diri orang dalam penamaan fitur geografis.
"Njih Prof, sepakat... Jalan sebagai salah satu jenis fitur rupabumi atau geografis, maka penamaannya mengikuti prinsip penamaan. Resolusi Kelompok Pakar PBB tentang Nama Geografis telah diadopsi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021," jawab saya pada kolom komentar di akun Facebook Profesor tersebut.
Rekomendasi yang saya maksudkan di atas memuat dua poin utama. Pertama, tiap negara anggota PBB diminta untuk mencegah penggunaan nama diri orang yang masih hidup sebagai nama fitur geografis. Kedua, tiap negara mesti menentukan masa tunggu penggunaan nama diri orang yang telah meninggal dunia. Lazimnya 5 tahun setelah meninggal dunia dan memperhatikan jasanya atau kelayakannya untuk digunakan sebagai nama fitur geografis.
Nah, kedua poin rekomendasi tersebut telah diadopsi oleh Indonesia sejak tahun 2006 hingga sekarang dengan regulasi penamaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Pasal 3 huruf g dari PP 2/2021:
Nama Rupabumi harus memenuhi prinsip sebagai berikut: ... g. menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia.
Masih ingatkah kita dengan kontroversi penamaan jalan MBZ yang juga merupakan hasil pertukaran penamaan jalan? Ternyata, jika melihat prinsip di atas, tentunya penamaan jalan tersebut juga kurang tepat. Pasalnya, beliau yang digunakan sebagai nama jalan masih hidup.
Lalu, jika ada yang bertanya kenapa mereka menggunakan nama Presiden Joko Widodo? Jawaban singkatnya: di negara tersebut, belum mempunyai regulasi yang mengatur penamaan. Lalu, tren yang terjadi di sana adalah penamaan jalan menggunakan nama tokoh. Termasuk tokoh dari negara sahabatnya.
Berbeda dengan negara kita yang di awal tahun 2021, Presiden Joko Widodo menetapkan PP 2/2021, hanya saja karena nama peraturannya mengenai nama rupabumi maka kemungkinan kurang dikenali dengan baik. Selain kurangnya sosialisasi yang menyeluruh ke berbagai kalangan secara kontinyu, terutama ke berbagai pihak yang sekiranya berpotensi memberi nama yang bertentangan dengan prinsip nama rupabumi.
Kembali ke kontroversi usulan penamaan jalan Mustafa Kemal Atatürk, jika mengacu prinsip di atas, tentunya tidak akan bertentangan. Sebab, Beliau sudah meninggal dunia dan lebih dari 5 tahun. Namun, jika membaca 10 prinsip nama rupabumi dan permasalahan yang berkembang terkait usulan tersebut adalah isu agama, maka, memiliki potensi bertentangan dengan prinsip nama rupabumi pada huruf e: Nama Rupabumi harus memenuhi prinsip sebagai berikut: ... e. menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan.
Praktik Penamaan Fitur Geografis Menggunakan Nama Diri Orang dan Edukasi Toponimi
Praktik penamaan jalan maupun fitur geografis lainnya, yang cenderung memilih penggunaan nama diri orang, tak dapat dielakkan. Resolusi PBB yang menjadi acuan dalam prinsip nama rupabumi di regulasi kita tersebut ditetapkan pada tahun 1960an. Artinya, praktik baik untuk menjalankan resolusi tersebut masih menjadi tantangan dan polemik di berbagai negara, termasuk di Kanada, sebagai pengusulnya.
Berdasarkan hasil pertemuan UNGEGN pada bulan Mei 2021, disadari bahwa sejumlah negara pun masih menghadapi permasalahan penertiban atau penataan penggunaan nama diri orang sebagai nama fitur geografis. Kanada, Filipina, dan sejumlah negara lain masih terus berupaya melakukan edukasi mengenai prinsip penamaan tersebut. Artinya, Indonesia memang tidak dalam posisi sendirian untuk berjuang memberikan edukasi toponimi.
Menilik dua kontroversi penamaan jalan, baik jalan MBZ yang kini telah resmi maupun usulan nama jalan Ataturk yang masih terus dalam perdebatan, tentunya menyadarkan kita bahwa ternyata PP 2/2021 belum dikenal keberadaannya. Di sisi lain, lawatan Presiden Joko Widodo ke luar negeri dan giatnya bangsa Indonesia menjalin kerja sama yang baik dengan berbagai negara dapat berpotensi adanya pertukaran nama jalan berikutnya.
Oleh karena itu, sosialisasi PP 2/2021 dan edukasi toponimi perlu digalakkan ke berbagai pihak, di tingkat pusat maupun daerah. Bahkan, menggunakan berbagai bentuk kegiatan dan media, salah satunya melalui dukungan media massa untuk membantu Pemerintah dalam menyadarkan adanya prinsip nama rupabumi.
*Aji Putra Perdana Ph.D. Candidate Geo-Information Processing di Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente.