The Lowy Institute, sebuah lembaga di Sydney, membuat peringkat kinerja negara-negara dalam menangani pandemi Covid-19, dengan peringkat pertama yang dimenangi oleh Selandia Baru. Pencapaian tersebut tentu tidak bisa dipisahkan dari pemimpin dan gaya kepemimpinannya. Tentu saja peran kepemimpinan pada era COVID-19 ini sangatlah diuji dan dibutuhkan guna merespons dan memutuskan pendekatan yang tepat dalam penyelesaiannya.
Dewasa ini, kita mengetahui bahwa terdapat berbagai macam karakteristik pemimpin dengan berbagai macam pola manajemen yang diperankan. Maka dari it,u kita ingin menelaah kepemimpinan yang digunakan oleh Jacinda Ardern hingga dapat dijuluki sebagai “the Most Effective Leader on the Planet” dan membuat Selandia Baru sebagai negara yang sukses dalam menangani Covid-19.
Kemampuan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, dalam menangani pandemi Covid-19 di negaranya sering disandingkan dengan para pemimpin perempuan yang lebih senior seperti Katrín Jakobsdóttir (Islandia), Angela Merkel (Jerman), Mette Frederiksen (Denmark), Kersti Kaljulaid (Estonia), dan Tsai Ing-wen (Taiwan), yang dinilai sukses dalam melawan pandemi Covid-19. Pendapat ini tentu tak lepas akan Jacinda Ardern sebagai perempuan. Gender sering kali digunakan untuk menilai kriteria kepemimpinan yang dilakukan seseorang.
Terkadang, gaya kepemimpinan perempuan yang condong ke arah lebih berbasis hubungan, salah satunya seperti bersedia berbagi kekuasaan dan informasi daripada melindunginya dan untuk menentukan alasan keputusan tersebut. Dalam penanganan Covid-19 di Selandia Baru, Jacinda Ardern banyak berbagi informasi-informasi terkait kebijakannya dengan menyampaikan pesan-pesan kepada warganya melalui briefing harian secara komunikatif.
Dalam berkomunikasi dengan warganya, ia selalu berusaha untuk menyampaikan pesan yang jelas dan konsisten, dengan menggunakan nada yang tepat, berinteraksi dengan konteks sosial tertentu, membentuk opini publik dan tanggapan, sehingga mampu mengurangi keresahan masyarakat serta menimbulkan rasa positif bagi masyarakat.
Misalnya seperti pada konferensi pers 31 Maret, sebagai tanggapan atas pertanyaan tentang pengujian Ardern menjawab: "Ya, pertanyaan yang bagus untuk ditanyakan, karena Anda akan mendengar direktur jenderal berbicara tentang pengujian sentinel."
Dalam percakapan berikutnya, terdapat seorang wartawan yang bertanya "Bisakah Anda mengklarifikasi untuk orang-orang di rumah lagi: seberapa jauh mereka bisa pergi?" dan dengan senang hati Perdana Menteri menjawab dengan awalan "Senang".
Afeksi serta perilaku Jacinda Ardern inilah yang dapat membuat rakyat percaya dan mematuhi kebijakan pemerintah, walaupun diharuskan untuk mengisolasikan diri mereka. Ardern juga mendesak warganya untuk “Bersatu Melawan COVID-19”. Hal ini seiring dengan karakteristik kepemimpinan wanita secara umum yang kadang kala akan berusaha membuat orang-orang merasa menjadi bagian dari organisasi. Mereka mencoba menanamkan identitas kelompok dalam berbagai cara, termasuk mendorong orang lain untuk memiliki suara di hampir setiap aspek pekerjaan, mulai dari menetapkan tujuan kinerja hingga menentukan strategi.
Selain itu, dari fakta tersebut, sikap Ardern dapat kita kaitkan dengan gaya kepemimpinan yang kolaboratif. Pemimpin dengan kepemimpinan kolaboratif Lebih banyak perhatian terhadap inovasi dan pencapaian kolektif. Sehingga, mereka menghargai keterbukaan dan keterlibatan. Kepemimpinan kolaboratif melibatkan menciptakan kondisi bagi anggota tim atau organisasi untuk beralih dari kepedulian terhadap "saya" menjadi hasrat untuk "kami."
Pendekatan yang kolaboratif merupakan solusi yang efektif dan diperlukan untuk menghadapi tantangan. Khususnya tantangan yang kompleks seperti situasi Covid-19 ini. Sebab, pandemi bukan hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga berbagai bidang dalam kehidupan.
Sehingga, mengatasi krisis dan pandemi COVID-19, pemimpin harus mendengarkan serta mendapatkan berbagai informasi baik dari ilmuwan maupun masyarakat. Menurut Michael Baker, profesor pada Departemen Kesehatan Masyarakat, Universitas Otago, yang menjadi penasihat pemerintah dalam menangani COVID-19, ia menyertakan masukan dari para ilmuwan seperti lockdown secara penuh, tidak membuka sekolah, bekerja dari rumah, tidak melakukan pertemuan sosial, menggunakan masker, dan pembatasan perjalanan.
Selanjutnya, Ardern juga dianggap memiliki gaya kepemimpinan yang visioner. Menurut KBBI, yang dimaksud dengan visioner adalah ketika seseorang memiliki khayalan atau wawasan ke depan. Oleh karena itu, jika kedua pengertian tersebut kita gabungkan, yang dimaksud dengan kepemimpinan visioner adalah gaya kepemimpinan yang dapat memiliki wawasan akan masa depan, sehingga mampu untuk mengambil visi ke depan dan langkah untuk mewujudkannya.
Hal ini dapat terlihat dari bagaimana Selandia Baru menutup akses perjalanan internasional sampai program vaksinasi, yang telah diselenggarakan kepada seluruh warga. Sedangkan saat itu, negara-negara lain belum memberikan reaksi akan perkembangan COVID-19.
Hal ini memberikan gambaran bahwa Ardern memiliki keahlian visualizing dan showing foresight yang harus dimiliki oleh pemimpin visioner. Selain itu, pemimpin visioner juga harus mampu untuk membangun kerjasama dan lingkungan yang harmonis, baik itu di dalam maupun dengan luar organisasinya. Kemampuan tersebut dapat dilihat pada bagaimana Jacinda Ardern mengajak seluruh ilmuwan untuk berkoalisi guna menciptakan strategi penanganan COVID-19 di negaranya.
Setelah munculnya Pandemi Covid-19, pemerintah harus mampu terus menyesuaikan dan berkembang mengikuti situasi. Melihat kesuksesan Negara Selandia Baru yang telah keluar dan sukses dalam menghadapi situasi krisis ini, maka menandakan Jacinda Ardern sebagai pemimpin yang memiliki kepemimpinan transformasional.
Intellectual stimulation karakter seorang pemimpin transformasional yang mampu mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan rasional. pemimpin transformasional mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, serta melatih bawahan.
Selain itu, seorang pemimpin transformasional mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para bawahan serta memfasilitasinya. Hal ini dapat kita telaah berdasarkan sikap dan tindakan Jacinda Ardern sebelumnya ketika New Zealand menghadapi wabah corona.