Kasih ibu sepanjang masa, pepatah bijak ini saya rasa memang benar adanya. Saya yakin, setiap ibu di manapun berada, akan selalu berusaha merawat dan membesarkan anak-anaknya dengan sepenuh cinta dan kasih sayang. Seberapa besar kira-kira ukuran kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya? Tak terukur. Tak terhingga, dan sepanjang masa sebagaimana diungkap dalam kata pepatah tersebut.
Maka, tak mengherankan bila posisi ibu dianggap lebih mulia dan lebih diprioritaskan daripada sosok ayah. Memang, keberadaan orangtua, baik ibu dan ayah, keduanya sama-sama harus dihormati dan dimuliakan oleh anak-anaknya. Bila kedudukan ibu dianggap lebih mulia, menurut saya hal itu sangatlah wajar. Mengingat perjuangan dan pengorbanan ibu begitu besar kepada anak-anaknya, mulai mengandung selama sembilan bulan hingga tiba saat melahirkan (dengan menahan rasa sakit sekaligus nyawa menjadi taruhan tentunya).
Ditambah lagi segala kerepotan yang harus ditanggung oleh seorang ibu ketika merawat anak-anaknya hingga bertahun-tahun lamanya. Sementara keberadaan ayah, biasanya hanya seputar mencari nafkah keluarga. Ia tak pernah merasakan betapa susah payahnya mengandung dan melahirkan anak. Atas dasar inilah, maka sangat wajar bila kemuliaan seorang ibu lebih tinggi dibanding seorang ayah.
Oleh karenanya, sudah menjadi keniscayaan bagi setiap anak untuk mempergauli dan melayani ayah dan ibunya dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai menyakiti hati kedua orangtua lebih-lebih hati seorang ibu yang memiliki jasa yang teramat banyak kepada anak-anaknya. Saya yakin, setiap orang mengerti bahwa yang namanya berbakti kepada kedua orangtua merupakan hal yang tak bisa ditawar-tawar oleh setiap anak. Selama orangtua tak menyuruh kita melakukan hal tak tak terpuji, kita dianjurkan untuk menaatinya. Andai suatu hari orangtua meminta kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama, kita harus berusaha menolaknya dengan cara-cara halus yang sekiranya membuat hati orangtua bisa lega dan merasa tak terhina.
Ada sebuah kisah menarik tentang betapa pengorbanan ibu begitu besar dan tak bisa kita membalasnya meskipun kita telah berusaha melakukan banyak kebaikan kepadanya. Al Jauzi, dalam buku Ibu, Engkaulah Harta Terindahku menguraikan kisah yang bisa dijadikan renungan bagi kita semua. Zur’ah bin Ibrahim menuturkan, suatu saat ada yang datang menemui Umar bin Khathab lalu berkata, “Saat ini Ibu saya sudah sepuh. Ia sudah tidak mampu lagi buang hajat sendiri. Jadi saya selalu menggendong dan membersihkannya. Lantas, apakah saya sudah membalas jasanya?”
Umar menjawab dengan tegas, “Belum”. Kemudian orang tersebut bertanya lagi, seolah-olah ingin memprotes jawaban Umar, “Bukankah aku telah menggendong dan menahan rasa sungkanku terhadapnya?” Kira-kira seperti apa jawaban Umar yang merupakan salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad Saw? Umar lantas menjawab panjang lebar, “Ibumu pun pernah melakukan hal sama kepadamu. Bedanya, ia justru berharap bisa terus melakukannya. Namun, kamu malah berharap bisa segera mengakhirinya.”
Bila kita merenungi kata-kata Umar bin Khathab tersebut, memang benar adanya. Mari kita bayangkan, seorang ibu, sejak masih mengandung, ingin kelak anaknya terlahir sehat dan sempurna. Begitu anak lahir, ia akan merawat dan menyayanginya dengan segala kerepotannya yang meskipun sangat melelahkan tapi seolah tak pernah dikeluhkan. Seorang ibu akan terus merawat, mendidik anaknya hingga besar, dan berharap anaknya kelak meraih kehidupan sukses dunia hingga akhirat.
Namun sayangnya, ketika seorang anak telah tumbuh besar dan menjalani kehidupan yang terbilang sukes, ia seolah mengabaikan jasa-jasa ibunya. Ketika sang ibu sakit misalnya, ia tak sanggup melayani dan merawatnya dengan baik. Bahkan terkadang anak malah mengeluh, merasa capek melayani dan merawat ibunya yang sakit-sakitan. Dan berharap ibunya segera meninggal dunia. Nauzubillahi min dzaalik. Maka benar kiranya apa yang disampaikan oleh sahabat Umar kepada orang yang merasa telah merawat ibunya dengan segala kepayahan, “Ibumu pun pernah melakukan hal sama kepadamu. Bedanya, ia justru berharap bisa terus melakukannya. Tapi kamu malah berharap bisa segera mengakhirinya”.
Ada lagi satu kisah yang layak kita renungi. Imam Bukhari dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad meriwayatkan bahwa suatu hari Abdullah ibn ‘Umar r.a, melihat seseorang menggendong ibunya untuk thawaf di Ka’bah dan ke mana saja sang ibu menginginkan. Kemudian orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah ibn ‘Umar, dengan perbuatanku ini, apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Umar menjawab, “Belum, setetes pun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orangtuamu (MondeAriezta, Mizania 2014).
Tentu masih begitu meruah kisah-kisah di masa silam tentang pengorbanan seorang ibu terhadap anak-anaknya yang begitu besar. Saking besarnya, seorang anak tak akan mungkin bisa membalasnya dengan jasa serupa. Kendati tak mampu membalas jasa-jasa orangtua, seorang anak harus berusaha melakukan hal terbaik untuk membalas kebaikan orangtuanya. Merawat serta melayani orangtua dengan penuh keikhlasan dan kesabaran kala sakit, berusaha rutin menyisihkan uang (dari gaji kita) untuk dipersembahkan kepada orangtua, tak menyakiti hatinya, merupakan di antara cara-cara yang bisa dilakukan seorang anak untuk membalas jasa-jasa orangtua.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.