Mulanya, saya tengah menelisik ihwal Gendhing “Manyar Sewu” yang saya ketahui waktu perkuliahan dulu. Alih-alih saya menelisik secara musikal, penelisikan saya malah bergulat pada tajuk gendhing tertaut. Dalam bahasa Indonesia, tajuk tersebut mempunyai arti seribu burung penenun. Terhenti di situ, pikiran saya meloncat menuju karya alm. Didi Kempot yang bertajuk “Sewu Kutho”: Seribu Kota. Belum selesai dalam karya alm. Didi Kempot, pikiran saya meloncat kemana-mana lagi. Aduh!
Namun, dalam pertikaian pikiran yang telah saya lakoni, terdapat hal menarik yang kiranya patut untuk saya tuliskan, yakni penggunaan kata “sewu” dalam kultur masyarakat Jawa. Selain penggunaan kata sewu yang digunakan dalam tajuk sebuah karya, kata sewu juga sering tampak pada penggunaan nama tempat. Misalnya, Candi Sewu, Grojogan Sewu, Gunung Sewu, dan lain sebagainya. Secara harafiah, kata sewu merujuk pada jumlah. Namun, faktanya jumlah dari objek yang tersemati kata sewu tidak berjumlah seribu; kecuali pada penggunaan tajuk karya.
Dalam kasus lain misalnya, masyarakat Jawa sering menggunakan ungkapan “nuwun sewu” ketika mereka lewat di depan banyak orang atau ketika hendak bertanya. Secara etimologis tentu tidak ideal pengartian ungkapan itu. Karena, ungkapan “nuwun sewu” mempunyai makna permisi atau mohon maaf.
Syahdan, saya teringat pada kasus unjuk rasa yang terjadi di daerah saya. Unjuk rasa ini disebabkan karena jalan yang menjadi akses utama warga sudah rusak dan berlubang dengan jumlah yang banyak, tetapi tidak segera dibenahi oleh pemangku kebijakan terkait. Ungkapan yang terluapkan dalam unjuk rasa tersebut adalah membuat tulisan-tulisan “Jeglongan Sewu” di sepanjang jalan. Tulisan tersebut mempunyai maksud lubang seribu atau jalan seribu lubang.
Sedalam-dalamnya
Peristiwa-peristiwa terpapar kiranya menjadi sebuah gambaran ihwal kedekatan masyarakat Jawa dengan ungkapan sewu. Secara subyektif, peristiwa tertaut patut untuk dituliskan, sebab ungkapan ini menjadi ungkapan kultural yang seringkali terjumpai dan dikonsumsi masyarakat Jawa secara parsial. Arya Ronald dalam bukunya yang bertajuk “Ciri-ciri Karya Budaya di balik Tabir Keagungan Rumah Jawa” menuliskan, “tata cara hidup simbolis dan sistem komunikasi masyarakat Jawa yang penuh kembang, dan sinamuning samudana.” (1997:76-77).
Maksud tulisan tersebut adalah masyarakat Jawa akan mengungkapkan segala sesuatunya dalam bentuk kiasan. Dari tulisan tersebut, barangkali kata sewu merupakan sebuah kiasan. Pasalnya, jika merujuk jumlah; objek-objek tertaut tidak berjumlah seribu. Jika kita telaah pada kasus “Jeglongan Sewu” misalnya, nama itu menjadi sebuah maksud kritik atau protes. Meskipun jumlah lubang yang tidak sampai seribu, tetapi sematan seribu menjadi sebuah metafor hiperbola jumlah.
Metafor ini kiranya menjadi sebuah ungkapan tak terhingga atau sedalam-dalamnya. Sebab, jika saja lubang yang harus dibenahi hanya 15 lubang, karena tidak kunjung terbenahi akhirnya jadi seribu: 15 adalah jumlah lubangnya, sisanya adalah tuntutan yang sedalam-dalamnya.
Kemudian, pada kasus “Nuwun Sewu”. Ungkapan yang bermakna minta maaf atau permisi ini lazim terdengar tentu saja. Namun, maksud dari ungkapan terkait bukanlah meminta uang dalam jumlah seribu. Secara subyektif, setiap kali orang mengungkapkan nuwun sewu, kebiasaan yang dilakukan adalah menunduk. Jika kita pilahkan ungkapan tersebut menjadi dua suku kata, akan terdiri dari nuwun: permisi/terimakasih; sewu: seribu. Secara subyektif, maksud tersirat dari ungkapan tersebut kiranya adalah nuwun dengan jumlah sewu. Karena konteks dalam satu kalimat ialah nuwun sewu yang berarti permisi atau minta maaf, sehingga permintaan maaf atau permisi ini kiranya diungkapkan seribu kali.
Dari asumsi tersebut, terdapat benang merah terhadap paparan sebelumnya. Dalam kasus “Nuwun Sewu”, suratan permohonan maaf atau permisi ini kiranya menjadi tak terhingga. Sebab, ucapan yang dilontarkan hanya sekali, tetapi lekatan tundukan kepala inilah yang mempunyai maksud sedalam-dalamnya-tak terhingga. Begitupun dalam kasus tajuk lagu. Kiranya maksud dari “Sewu Kutho” ialah sebuah metafor perjalanan panjang yang tak terhingga untuk mengungkapkan rasa yang sedalam-dalamnya.
Kata sewu bagi manusia jawa menjadi sebuah ungkapan kultural. Tentu, dalam pemaknaan dan pengungkapannya harus dibarengi dengan konteks maksudnya. Misalnya, “Negeri Sewu Koruptor”. Sudah barang tentu makna dari ungkapan ini bukanlah koruptor yang jumlahnya seribu. Melainkan, mengungkapkan suratan pelaku koruptor yang tak terhingga dan tak henti-hentinya. Serta, kejengahan masyarakat yang terlampau dalam atas korupsi yang terus-terusan hadir. Bisa saja pelakunya hanya 1 orang (tapi sepertinya tidak mungkin). Namun rasa jengah yang dialami oleh masyarakat korban korupsilah yang tak terhingga.