Dari Jadwal Seminar Proposal Skripsi yang Tertunda, Saya Belajar 3 Hal Penting Ini

Hernawan | Mohammad Azharudin
Dari Jadwal Seminar Proposal Skripsi yang Tertunda, Saya Belajar 3 Hal Penting Ini
Ilustrasi Presentasi (Pexels/fauxels)

“Happy Semprotulation” barangkali menjadi satu ucapan selamat yang cukup membahagiakan bagi banyak orang. Ya, ucapan tersebut menjadi penanda bahwa seseorang telah selangkah lebih dekat menuju kelulusan (atau mungkin selangkah lebih dekat menuju dunia yang lebih kejam).

Kendati demikian, nggak semua orang bisa cepet-cepet sempro. Ada yang ingin kerja dulu, supaya setelah lulus nanti nggak jadi beban keluarga. Ada yang masih berjuang memenuhi batas minimal kelulusan SKS sebagai syarat sempro. Ada yang terhambat di pengajuan judul. Ada yang mati-matian revisi proposal skripsi sampai memenuhi kelayakan untuk diujikan. Bahkan, ada juga yang masih enak-enak menikmati masa muda yang hanya datang sekali.

Bicara soal sempro, jujur saya awal-awal masuk semester 7 merupakan orang yang sangat ambisius. Pengen semua segera selesai dan sesuai dengan rencana di kepala. Nggak tanggung-tanggung, ketika pengajuan judul ke kaprodi, saya setiap hari chat beliau karena beliau cuma nge-read chat saya. Kurang-lebih 2 bulan hingga akhirnya drama tersebut usai. Proposal skripsi saya di-ACC dan saya diberi dosen pembimbing. Namun, seperti yang sering dikatakan pemuda hijrah, “Allah punya rencana lain yang lebih baik”. Awalnya saya ingin skripsian di rumah saja, tentu salah satu faktornya adalah biaya hidup. Selepas STPS (Surat Tugas Pembimbing Skripsi) diberikan, ternyata saya dapat tipikal dosen yang nggak mau melakukan bimbingan online.

Dosen pembimbing saya maunya bimbingan offline, tatap muka, dan mahasiswa yang melakukan bimbingan harus membawa print out proposal skripsinya. Ditambah lagi beliau sekarang menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama. Itu artinya, beliau semakin sulit untuk ditemui karena punya buanyak sekali acara. Akhirnya, ya mau-nggak mau saya harus berangkat ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya, apakah urusan saya lantas lancar-lancar saja? Oh, tidak segampang itu, kawan. Lagi-lagi saya harus menghadapi drama sebelum akhirnya dapat jadwal sempro.

Dosen penguji saat itu mengatakan pada saya bahwa seminar proposal dilaksanakan jam setengah 4 sore. Jam 3 saya sudah siap-siap, lalu jam 15.20 WIB saya menghubungi dosen penguji. Alih-alih mendapat kepastian, saya justru dapat kabar tak terduga. Dosen penguji saya bilang kalau pelaksanaan sempronya dibatalkan dulu.

Musababnya adalah saat itu beliau sedang menunggu anaknya yang tengah opname. Tentu saja saya membalas kabar tersebut dengan doa supaya anaknya lekas diberi kesembuhan dan tidak bertanya kira-kira kapan beliau bisa melaksanakan sempro. Namun, bukannya marah, saya justru dapat hikmah dari penundaan tersebut. Saya sedikit belajar tentang bagaimana menjalankan peran sebagai manusia. Berikut perinciannya.

1. Cinta Seorang Ayah

Sependek yang saya lihat, laki-laki (dalam perannya sebagai ayah) jarang sekali mengungkapkan cinta pada anaknya dengan kata-kata. Ayah punya cara tersendiri dalam mengungkapkan cinta pada anaknya. Ayah cenderung mengungkapkan cinta dengan perbuatan. Sama halnya dengan yang terjadi pada dosen penguji saya. Saya menebak kemungkinan besar beliau nggak bilang ke anaknya yang masih kecil dan sedang opname bahwa beliau sangat mencintainya. Namun, apa yang dilakukan beliau jelas sangat merepresentasikan perasaan cintanya. 

Pikiran beliau tentu nggak karuan, apalagi beliau adalah seorang ayah muda yang belum lama punya anak. Kekhawatiran, ketakutan, kegelisahan, semua bercampur menjadi satu. Sebagai laki-laki, saya sedikit bisa merasakan hal yang sama dengan beliau seandainya berada dalam situasi yang sama. Oleh sebab itu, kali ini saya tidak lagi chat setiap hari seperti saat saya chat kaprodi sebelumnya. Saya chat beliau lagi untuk menanyakan kapan beliau bisa melaksanakan sempro setelah dirasa waktunya pantas untuk chat ulang.

2. Hukum Kausalitas

Hukum kausalitas bagi saya adalah hal yang sangat nyata. Jika kita suatu hari diberi sesuatu, bisa jadi hal tersebut karena sebelumnya kita telah memberi sesuatu. Bila kita suatu saat diludahi (atau bisa jadi malah lebih buruk dari itu), mungkin sebelumnya kita telah meludahi. Dalam kasus penundaan jadwal sempro, saya berusaha untuk benar-benar menghormati peran dosen penguji sebagai ayah. Saya berupaya untuk tetap membuat pikiran beliau fokus pada anaknya yang sedang sakit. “Wah, gila! Sok baik banget saya. Astaghfirullah!”. 

Namun, apa yang saya lakukan tersebut memang nyata membuahkan hasil. Ketika saya telah melewati jangka waktu yang pantas untuk chat ulang beliau, saya pun bertanya apakah beliau sudah bisa melaksanakan seminar proposal. Belum juga 1 menit, chat saya langsung dibalaspadahal sebelumnya beliau lumayan slow response. Lalu saat pelaksanaan sempro gimana?

Saya merasa bahwa beliau banyak memberi kemudahan dan nggak terkesan mengintimidasi saya. Entahlah apakah beliau juga seperti itu pada mahasiswa yang lain ketika jadi dosen penguji sempronya, yang jelas saya merasa bahwa sikap beliau tersebut bukan tanpa sebab. Seandainya beliau baca tulisan ini, saya cuma mau bilang, “Terima kasih bapak atas semuanya.

3.  Nggak Berlebihan dalam Self Reward Sehabis Sempro

Dulu saya sempat berpikir bahwa sehabis sempro, saya akan memberi penghargaan pada diri saya sendiri sepuas-puasnya. Namun, setelah melaksanakan sempro, sudut pandang saya berubah. Ternyata sempro adalah sesuatu yang biasa, dan sepertinya kurang layak jika saya merayakannya berlebihan. Alih-alih menghabiskan waktu dan uang untuk self reward yang nggak karuan, mending cari alternatif lain. Misalnya, nulis artikel untuk dikirim ke Yoursay.suara.com. Reward bagi artikel yang berhasil di-publish lumayan bisa buat agak foya-foya untuk self reward sehabis sempro kan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak