Siapa yang Mengharuskan Buru-Buru Menikah? Tetangga!

Candra Kartiko | Dream Praire
Siapa yang Mengharuskan Buru-Buru Menikah? Tetangga!
ilustrasi pernikahan (Pexels.com/Trung Nguyen/dreampraire)

Permasalahan pernikahan masih menjadi topik menarik dan paling banyak dijadikan bahan perbincangan dalam pertemuan-pertemuan keluarga besar. Jika ada wanita (dan mungkin juga pria) yang dianggap sudah waktunya menikah tetapi masih membujang, biasanya akan menjadi trending topik dalam setiap pertemuan. Tidak hanya dalam circle kerabat tetapi juga merambah sampai ke para tetangga.

Bicara tentang tetangga, mereka adalah orang-orang yang tinggal di sekitar rumah kita. Mereka semestinya menjadi orang terdekat secara geografi yang paling mungkin memberikan pertolongan cepat jika dibutuhkan. Tetapi sayangnya, tidak semua orang beruntung memiliki tetangga jenis itu.

Sudah banyak cerita tentang tetangga julid. Yang merasa teriritasi saat melihat orang lain mendapatkan kebahagiaan atau pun kesuksesan. Semua itu bisa terjadi karena mereka sendiri belum menemukan apa yang menjadi kebahagiaan bagi hidup mereka. Jadi, mereka pun ingin menarik orang lain ke dalam posisi mereka. Posisi tidak bahagia.

Jika mereka tak dapat menemukan "cacat" dalam kondisi tetangganya. Maka itu bisa dibuat-buat. Salah satunya adalah ketika tetangga suksesnya memiliki anak yang belum menikah. Itu bisa dijadikan bahan agar tampak seperti suatu "kesalahan".

Contoh saja cerita tentang Talia, anak ketiga dalam keluarga Pak Amir.  Keluarga Pak Amir memang terlihat sukses, setidaknya di mata para tetangga.  Tadinya semua baik-baik saja. Sampai ketika kedua kakak Talia telah menikah. Lalu Talia sudah lulus kuliah. Jadilah Talia ini bulan-bulanan bahan pergosipan.

Talia mendapat label ‘tidak laku’ atau pun tuduhan sebagai terlalu pemilih. Lalu berlanjut pada membanding-bandingkan dengan orang lain yang seusia Talia dan telah menikah. Ada Dinar yang ‘berhasil’ menikahi pengusaha sukses. Ada Windy yang bahagia menikahi Juno, teman SMA-nya.

Talia bisa saja tidak peduli dan menerapkan paham stoicisme ala Marcus Aurelius. Menutup rapat-rapat telinga agar tak perlu mendengar omongan tetangga. Mencoba menyakinkan diri bahwa apa yang mereka katakan hanyalah opini, bukan suatu kebenaran.

Tetapi, kala tekanan dan kata-kata bernada mendesak tentang pernikahan itu berasal dari internal keluarga. Itu menjadi lain cerita. Keluarga yang seharusnya menjadi supporting system  justru ikut-ikutan menambah berbagai tekanan.

Mulai dari pertanyaan, "calon seperti apa yan diinginkan Talia?", "apakah sudah ada target kapan menikah?", atau "apa kamu tidak ingin hidup tenang seperti Dinar yang sudah sukses dan mapan?"

Jadi, Talia yang sudah menjadi seorang guru itu belum bisa dikategorikan sukses karena belum menikah?

Lalu berlanjut ke pertanyaan berikutnya,

"Apa kamu tidak ingin bahagia seperti Windy yang sudah punya dua anak lucu-lucu?"

Loh, memangnya mereka tahu apa yang membuat Talia tidak bahagia?

Pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat tuduhan bahwa Talia punya masalah. Talia tak bisa terus menerus mengabaikan keluarganya. Tetapi ia juga menjadi lelah secara mental. Terselip kekecewaan ketika ia pernah mendengar ibunya berkata kepada tetangga bahwa Talia belum menikah karena masih kuliah.

Lah, mengapa ia perlu alasan karena belum menikah?

Lalu ketika Talia selesai kuliah. Pertanyaan pun terulang kembali. Kali ini ibunya kehabisan alasan lalu hanya diam. Dan sesampai di rumah, menumpahkan kekecewaanya dan tanpa sadar menghakimi Talia. Dan ketika kedua kakak Talia pun sepakat memojokkan Talia dengan tuduhan menjadi penyebab kesedihan orang tua, beban hati Talia pun menjadi kian berat.

Waktu terus berlalu. Talia pun lama-lama bosan dan tak bisa terus diam. Ia pun balik bertanya.

“Mengapa Ayah, Ibu dan Kakak ingin Talia segera menikah? Toh Talia sudah bahagia dengan keadaan sekarang. Talia juga sudah puas dengan pekerjaan yang Talia punya? Talia percaya nanti juga datang jodoh Talia pada waktunya,”

Keluarganya bergeming. 

Talia menuntut jawaban. Dan keluarlah jawaban sakral itu.

“Tidak enak dengan tetangga, kamu jadi bahan omongan karena belum juga menikah”

Jadi, siapa yang mengharuskan buru-buru menikah?

Tetangga!

Disclaimer:  Ini hanya salah satu potongan kisah hidup, tidak berlaku secara general.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak