Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada awal tahun 2020, telah berdampak sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Pandemi yang hingga sekarang masih berlangsung meninggalkan luka yang besar di berbagai sektor industri. Tak terkecuali bagi industri kreatif, seperti pertelevisian, perfilman, dan industri musik.
Selama pandemi Covid-19, industri musik telah melalui banyak rintangan dan halangan. Pandemi memunculkan berbagai inovasi-inovasi baru dalam menikmati musik dan membentuk kebiasaan baru. Hal ini mungkin bisa menguntungkan atau merugikan para musisi dan pelaku industri musik lainnya.
Kebiasaan Baru dalam Menikmati Musik:
Hal yang sangat terasa selama pandemi Covid-19 bagi industri musik adalah absennya pertunjukan musik secara langsung, seperti konser dan festival musik. Pasalnya, protokol kesehatan mengharuskan masyarakat untuk melakukan social distancing atau jaga jarak dan menghindari kerumunan. Hal ini banyak menimbulkan berbagai reaksi dari pelaku industri musik, baik itu musisi, manajemen, label, publisis dan promotor, hingga penikmatnya. Hampir semua dari mereka merasa sangat merindukan adanya pentas musik secara langsung dan menyaksikan musisi favoritnya beraksi.
Selain hilangnya pertunjukkan secara langsung, industri musik juga mengalami perubahan yang sangat signifikan di penjualan rilisan musik. Selama pandemi, industri musik sangat bergantung pada pasar streaming dan penjualan cinderamata musisi secara daring. Menyadur dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), tercatat bahwa total pendapatan layanan streaming musik global pada 2020 merupakan yang tertinggi selama 10 tahun terakhir. Rekor tersebut tercapai sebesar US$13,4 miliar atau sekitar Rp193,23 triliun (Kurs US$ 1= Rp 14.422). Statistik juga mencatat bahwa pendapatan tersebut naik 19,9% dibandingkan tahun sebelumnya.
Walaupun streaming musik memang mengalami peningkatan yang sangat tinggi selama pandemi, ini hanya memberikan keuntungan besar untuk perusahaan platformnya. Sementara para musisi tidak mendapatkan hasil pendapatan yang signifikan dibandingkan pendapatan melalui pertunjukan gigs, penjualan rilisan fisik, dan merchandise mereka.
Sebagai solusi untuk mengatasi rindu masyarakat akan pertunjukan konser musik, banyak media dan label rekaman yang menggelar konser virtual berbasis online, seperti contohnya Synchronize Festival. Festival ini biasanya rutin digelar pertahun secara langsung. Namun, ditampilkan online melalui YouTube dan platform media sosial lainnya. Selama pandemi, konser vitual merupakan suatu fenomena yang membantu banyak musisi mendapatkan penghasilan mereka.
Meski konser virtual merupakan suatu solusi untuk mengisi absennya pertunjukan musik selama pandemi, nyatanya tetap dinilai tidak sebanding dengan konser secara langsung. Selain pendapatan tidak sebanding dengan konser langsung, atmosfir panggung juga sangat berbeda. Sebab, absennya penonton yang sebelumnya berperan untuk meriahkan acara dan membantu membangkitkan euforia konser.
Sudut Pandang
Di kesempatan kali ini, saya juga telah mewawancarai beberapa orang yang bisa dibilang sama-sama penikmat musik. Namun, di antara ketiga orang ini terdapat beberapa perbedaan. Subjek pertama yang saya interview, bernama Raihan, ia merupakan seorang musisi dan personil band indie pop bernama Enterspace. Ia sangat gemar mendengarkan musik terutama musik rock dan kerap hadir di konsernya.
Subjek kedua saya bernama Khansa. Ia merupakan penikmat musik kasual, tetapi juga sangat gemar menghadiri konser musisi-musisi luar favoritnya jika berkesempatan datang ke Indonesia. Sementara subjek saya yang ketiga bernama Dariansha. Ia bisa dibilang seorang pengamat musik yang mempunyai pengetahuan cukup luas dan sering menghadiri acara-acara konser band-band lokal yang dinilai underground.
Saya menanyakan bagaimana pendapat ketiga orang tersebut mengenai serba-serbi industri musik selama pandemi Covid-19. Ditambah juga pengalaman-pengalaman mereka dalam menonton pertunjukan musik secara langsung sebelum pandemi, serta harapan untuk masa depan industri musik dan penggelaran musik secara langsung setelah pandemi.
Raihan menyatakan bahwa industri musik “benar benar mati dari segala aspek”. Ia juga menyatakan bahwa pandemi menyumbat pemasukan. Dari musisi ataupun EO, Raihan juga setuju bahwa pendapatan musik selama pandemi memang bergantungan kepada layanan streaming musik seperti Spotify dan Youtube Music. Raihan juga menambahkan bahwa pendapatan konser online tidak cukup untuk menandingi pendapatan yang ia peroleh dari pentas langsung.
Khansa dan Dariansha juga setuju dengan pendapat Raihan saat saya tanyakan mengenai kondisi industri musik selama pandemi. Menurut Khansa, layanan streaming online menjadi sumber utama untuk mengakses musik di masyarakat saat isolasi selama pandemi. Dariansha berpendapat bahwa kondisi industri musik selama pandemi “memprihatinkan” karena “banyak musisi yang menganggur dan sepi job, terlebih di beberapa bulan awal lockdown”.
Ketiga orang yang saya wawancarai tersebut sangatlah merindukan adanya konser musik secara langsung dan menonton musisi-musisi favorit mereka bermain di panggung. Pengalaman menonton konser paling berkesan bagi Khansa adalah menonton Harry Styles di Singapura dua tahun sebelum pandemi. Selain itu, ia juga menonton Naif di parkiran Senayan.
Raihan mengingat kembali bahwa beberapa tahun yang lalu ia sempat menghadiri festival musik SkyAvenue, di mana terdapat banyak musisi favoritnya seperti Naif dan Phum Viphruit. Dariansha yang dulu gemar menghadiri konser underground sebelum pandemi dan sempat menonton musisi eksperimental Gabber Modus Operandi secara langsung juga sangat merindukan acara gigs lokal.
Mereka bertiga setuju bahwa solusi untuk menyelenggarakan acara musik yang kondusif bila kondisi Covid-19 kian membaik adalah balik lagi ke diri masing-masing. Terlebih untuk selalu menaati protokol kesehatan yang ditetapkan, juga mengikuti program vaksinasi secara lengkap. Dariansha menambahkan bahwa solusi alternatif adalah dengan menggelar “konser hybrid”, yaitu dengan menyediakan tiket online supaya penonton juga bisa menyaksikan konser di rumah. Hal lain lagi, dapat hadir langsung, tetapi tetap melaksanakan protokol kesehatan yang dianjurkan.
Jika kondisi sudah mulai membaik, Raihan sangat berantusias untuk kembali manggung bersama Enterspace. Ia juga mengharapkan untuk bisa menonton Barasuara karena itu adalah band lokal yang belum sempat ia tonton secara langsung. Sedangkan Khansa mengharapkan kedatangan musisi favoritnya, Bruno Mars dan Olivia Rodrigo, untuk manggung di Indonesia jika sudah diizinkan. Dariansha juga berharap untuk kembali menghadiri gigs lokal, seperti menonton band Rekah dan rapper lokal BAP. Ia juga mengharapkan agar band jazz favoritnya, BADBADNOTGOOD untuk datang kembali ke Indonesia.
Harapan untuk ke depannya
Saat ini, industri musik di Indonesia sudah mulai perlahan bangkit kembali dari keterpurukan yang dialami selama Pandemi Covid-19. Pertunjukkan musik kini sudah mulai digelar kembali di beberapa wilayah yang dinilai aman untuk menggelar acara kegiatan seni, budaya, dan sosial yang dapat menimbulkan keramaian serta kerumunan.
Beberapa konser yang digelar menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat, dan banyak dari mereka yang hanya mencetak jumlah tiket terbatas. Salah satu contoh strategi para penyelenggara event untuk membatasi jumlah kerumunan adalah dengan merahasiakan venue konser mereka. Mereka hanya memberitahu lokasi venue untuk yang sudah memesan tiket saja.
Banyak band yang sudah mulai mengumumkan tur mereka untuk ke depannya. Beberapa acara gigs tahunan juga sudah mulai diselenggarakan kembali setelah setahun sebelumnya sempat ditunda atau dibatalkan. Seperti contohnya adalah festival musik RAVEPASAR yang kembali diselenggarakan di Bali pada tanggal 12-19 Desember 2021 kemarin. RAVEPASAR merupakan sebuah wadah untuk para performer lokal dan underground, seperti misalnya musisi eksperimental layaknya Gabber Modus Operandi atau Rollfast, untuk menampilkan karya mereka didepan penonton yang banyak.
Selain RAVEPASAR, ada lagi acara gigs Paguyuban Crowd Surf, yang tadinya hadir empat tahun sekali, rencananya akan kembali diselenggarakan pada bulan Maret 2022. Paguyuban Crowd Surf rencananya akan menghadirkan beberapa band-band yang kerap mewarnai skena musik lokal seperti; .Feast, Grrrl Gang, Bedchamber, dan juga akan dimeriahkan band pendatang baru layaknya Beta Daemon.
Walau konser musik sudah mulai kembali diselenggarakan secara perlahan dan bertahap, kita semua harus selalu ingat untuk menaati protokol kesehatan. Dengan mengikuti protokol kesehatan dan mengikuti vaksinasi dengan lengkap sesuai anjuran pemerintah, kita bisa berharap ke depannya penyelenggaraan konser akan terus berjalan kembali seperti dulu.