Kita kerap mendengar stigma museum sebagai ruang yang menjemukan. Kejemuan itu beririsan dengan sesuatu yang diam, seperti kesan dari koleksi benda-benda purbakala bernilai sejarah yang tersimpang di kotak kaca, atau ditempel di dinding yang tidak mungkin pergi ke mana-mana. Stigma ini, lebih jauh, membuat masyarakat kurang mendapatkan daya tarik ketika mendengar kata “Museum”.
Kesan yang melekat di benak masyarakat tak lebih sebagai “tempat untuk belajar sejarah yang dikunjungi saat kita masih berstatus pelajar”. Anggapan ini, bahkan sejalan dengan pemberitaan Republika (8/8/2021) yang menyebut, “Jumlah wisatawan paling banyak yang berkunjung ke museum hanya 500 ribu orang, atau bila dikalkulasikan sekitar 10-15 persen setiap tahunnya.”
Angka itu didapat ketika pandemi Covid-19 belum bertandang. Sementara sejak pandemi masuk ke Indonesia, angka itu terus mengalami penurunan. Momen yang membuat kunjungan ke museum terus mengalami penurunan seolah mencapai klimaksnya, sebab selain anggapan tidak menariknya berkunjung ke museum yang diyakini sebagian besar masyarakat, kedatangan pandemi Covid-19 semakin membuat museum seperti rumah yang ditinggalkan.
Kita melihat ruang-ruang penuh benda bernilai sejarah, koleksi yang diwariskan dari zaman ke zaman, juga sekian benda yang berfungsi sebagai rekaman sebuah peradaban, tak lebih seperti lukisan usang yang menanti jatuh dan rusak. Orang-orang memandang kalau berkunjung ke museum berarti berjalan mengelilingi sekian ruang dan melihat-lihat koleksi benda-benda bersejarah yang ada. Kegiatan itu pun terkesan menonoton, sehingga daya tarik yang ditimbulkan masih kerap kalah dengan tempat-tempat wisata atau hiburan lainnya.
Padahal, fungsi museum tidak sebatas tempat menyimpan koleksi benda-benda peninggalan dari masa lalu. Museum memiliki peran lain yang lebih krusial, yaitu sebagai penopang kebudayaan. Dari situ, bisa kita pahami bahwa museum bukanlah ruang yang diam, yang menantikan kunjungan orang-orang untuk mempertontonkan benda-benda yang melulu diam. Ada nilai lain yang terkandung dalam diri museum, dan nilai itu tidak diam, ia bergerak. Nilai yang bergerak itu, lantas bisa dipahami dengan mengingat kalau museum sebagai bagian dari perangkat pemberdayaan tradisi dan budaya sebuah peradaban. Lalu kebudayaan, kita tahu, adalah sesuatu yang terus bergerak. Nilai inilah yang mesti ditanamkan di benak masyarakat luas.
Praktiknya, kita bisa mempromosikan tentang sisi lain dari museum yang selama ini kerap terlupakan dari benak orang-orang. Dalam upaya tersebut, kita juga perlu mempertimbangkan tren yang terjadi saat ini. Masyarakat di zaman kiwari adalah masyarakat yang melek teknologi. Itu artinya, penyebaran atau promosi yang dilakukan pun sebaiknya dengan memanfaatkan tren ada di masyarakat.
Langkah yang dipilih juga tidak sekadar menyebarkannya melalui media sosial, misalnya. Sebab kita bisa pun memanfaatkan medium lain yang diakrabi oleh masyarakat saat ini, seperti menggelar pertunjukan melalui Zoom Meeting atau perangkat sejenis, membuka lama museum yang bisa menjadi medium kunjungan virtual orang dari berbagai daerah, dan mengadakan kompetisi atau acara tertentu yang bisa mengundang partisipasi masyarakat secara luas.
Dalam hal ini, kita patut juga bersyukur bahwa kesadaran itu sudah dimiliki oleh beberapa pihak museum di Indonesia, salah satunya pihak Museum Sonobudoyo, di Yogyakarta. Mereka setidaknya telah melakukan beberapa strategi yang membuat museum bukan lagi sebagai tempat yang diam. Namun begitu, hasil dari apa yang mereka lakukan tidak akan berpengaruh banyak bila penerimaan dari masyarakat tidak sejalan dengan usaha dilakukan oleh pihak museum.
Oleh karena itu, langkah penting lain yang mesti dipertimbangkan adalah menyadarkan pihak dari luar mulai dari lembaga masyarakat, pendidikan, dan masyarakat pada umumnya. Usaha atau penyebaran nilai mengenai “sesuatu yang bergerak” dalam diri museum mestilah dilakukan oleh banyak pihak. Misalnya, dari sisi pemerintah sendiri, mereka bisa menggalakkan kurikulum baru yang berfokus pada pengenalan, pembelajaran, dan pemberdayaan kebudayaan serta museum itu sendiri. Kurikulum ini bisa diterapkan di jenjang perguruan tinggi yang pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak lembaga museum di tiap-tiap daerah di Indonesia.
Sementara itu, dari sisi masyarakat umum sendiri, kita bisa mempertimbangkan untuk melibatkan mereka sebagai bagian dari penyelenggaraan kegiatan museum yang berbasis kebudayaan. Langkah ini dipahami tidak saja untuk menyokong penyebaran nilai-nilai kebudayaan, tetapi juga sebagai langkah yang bergerak di bidang pariwisata dan ekonomi masyarakat. Sebab, dengan melibatkan masyarakat umum, setidaknya mereka bisa berpartisipasi dan merasa menjadi pihak yang penting dari upaya yang kita sebut “membuat museum sebagai ruang yang bergerak” ini. Dari situ, kita bisa mencapai kesinambungan di antara sekian banyak pihak yang sadar bahwa museum bukanlah tempat yang diam.
Dengan begitu, stigma yang melekat dalam diri museum bisa kita geser secara perlahan-lahan. Kesadaran akan pentingnya keberadaan museum sebagai tempat penyimpan, penyelenggara, dan medium penyaluran pengetahuan mengenai suatu kebudayaan pun bisa dimiliki oleh lebih banyak orang lagi. Kesadaran ini, nantinya, bisa menjadi awal dari era baru yang memandang museum tidak melulu sesuatu yang menjemukan. Adapun bila era itu telah datang, kita bisa cukup yakin, bahwa mengunjungi museum akan sama seru dan bernilainya ketika seseorang datang ke tempat-tempat tertentu yang menghadirkan rasa puas, berharga, dan kesenangan di benak masing-masing orang.