Kata kesetaraan barangkali sudah terlalu sering kita dengar akhir-akhir ini. Sejalan dengan berkembangnya media sosial, media cetak dan daring, serta platform-platform digital, opini atau pendapat yang menyuarakan soal kesetaraan di banyak aspek kehidupan kian terdengar gaungnya. Tokoh-tokoh akademisi cum aktivis, mahasiswa cum influencer, sampai orang-orang dari latar belakang biasa, melalui tulisan-tulisannya, kerap kita dapati mengkampanyekan kesetaraan bagi kaum perempuan. Jelas, itu bukan sesuatu yang perlu kita khawatirkan. Sebaliknya, kita patut bersyukur, sebab kesadaran atas kesetaraan yang selama ini mungkin hanya berkutat di lingkungan akademisi, kian menyentuh berbagai kalangan dan latar belakang.
Adapun maksud tulisan ini dibuat, saya ingin menjadi bagian kecil dari barisan “orang-orang sadar” di atas. Sedikit cerita, selama ini, saya mengira soal kesetaraan gender melulu menyoal hal-hal yang besar. Bahwa kesetaraan bisa dilihat atau diterapkan di dalam kehidupan rumah tangga, tidak terpikirkan sama sekali. Sampai kemudian, setelah membaca beragam literatur, saya menyadari pentingnya kesetaraan di dalam hubungan perkawinan atau kehidupan berumah tangga. Selanjutnya, saya lantas bertanya, “Apakah keluarga saya sudah menerapkan prinsip kesetaraan ini?”
Saya pun mencoba mengingat-ingat, dan ternyata, kesadaraan atas kesetaraan sudah dilakukan oleh Ayah dan Ibu, bahkan sekadar melalui hal-hal sepele serta sederhana. Bertahun-tahun yang lalu, saat saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, Ayah dan Ibu sama-sama bekerja demi menjaga asap dapur tetap mengepul dan anak-anaknya tidak terlempar dari bangku sekolah. Ayah, kala itu, masih menjadi karyawan pabrik yang memiliki sistem kerja shift-shift-an. Ia memiliki tiga Shift dengan jam keberangkatan yang berbeda satu sama lain. Ada kalanya, ia berangkat pagi dan pulang malam; lalu di lain kesempatan ia berangkat malam dan pulang pagi-pagi. Sementara itu, Ibu memutuskan menjadi babysitter setelah seorang tetangga menawarinya pekerjaan itu. Praktis, Ayah dan Ibu memainkan peran sebagai pencari nafkah keluarga.
Dari situlah, tantangan pembagian tugas-tugas tertentu dimulai. Jika Ayah sedang libur atau ia berangkat malam hari, sementara Ibu sedang tidak di rumah, Ayah tidak pernah ragu untuk melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci baju, menggosok pakaian, sampai menggoreng tempe atau ikan. Ayah melakukannya dengan senang hati. Bahkan, pernah ia berkata, “Menggosok pakaian adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan.” Saya dulu tidak mengerti, di mana asyiknya kegiatan tersebut? Apakah ketika melakukannya, itu membuat kita memikirkan hal-hal tertentu sehingga menimbulkan keasyikan tersendiri? Entahlah, saya sendiri lebih menyukai kegiatan mencuci baju ketimbang menggosok pakaian.
Rasa peduli dan pengertian Ayah tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab, sering kali, Ayah menawari memijat tubuh Ibu atau menawari kerokan jika didapatinya Ibu merasa tidak enak badan. Ibu sendiri masih kerap menolak atas rasa sungkan, tetapi Ayah mengimbanginya dengan bersikeras dan berkata bahwa Ibu sedang membutuhkannya. Mengingat momen-momen itu sungguh menghadirkan kehangatan di benak saya. Alangkah menyenangkannya bila kita hidup dengan seseorang yang sangat mengerti keinginan dan kebutuhan kita. Bayangkan, bila seluruh suami di muka bumi ini menyadari soal kesetaraan dan tanpa sungkan mengambil peran domestik yang selama ini dipersepsikan hanya dimiliki kaum perempuan.
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi di sekitar kita masih memperlihatkan kejadian yang sebaliknya. Soal pengasuhan anak misalnya, sebagai akibat dari stigma peran pengasuhan anak melulu tugas seorang istri atau ibu. Kesan yang didapat saat seorang ayah atau suami yang (rela) melakukan pengasuhan secara intens dipandang heran oleh masyarakat. Orang-orang memandang hebat sosok ayah atau suami semacam itu. Padahal, walaupun memiliki peran utama pencari nafkah keluarga, bukan berarti seorang ayah atau suami benar-benar melepaskan perannya terhadap pengasuhan anak. Adalah hal yang wajar saat seorang ayah terlibat dalam pengasuhan anak sebab ia turut bertanggung jawab dalam proses tumbuh-kembang anaknya.
Tentu, kita tidak bisa menafikan beberapa koridor yang diatur oleh agama terkait peran seorang ibu dan ayah. Namun, adanya kesadaraan semacam itu penting diketahui untuk mencegah pelanggaran atau pemanfaatan hak ibu atau istri yang dimanfaatkan oleh pasangannya secara sewenang-wenang. Terkait paparan ini, penulis Amina Wadud Muhsindi dalam bukunya, Wanita di Dalam al-Qur’an, juga memberi pendapat yang serupa:
"Dalam keluarga yang suami dan istri keduanya sama-sama menanggung beban mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga, adalah tidak adil jika hanya wanita saja yang harus mengurus semua pekerjaan rumah. Jika wanita berusaha meningkatkan amal salehnya, maka terdapat kesempatan serupa bagi kaum pria untuk meningkatkan partisipasinya lebih banyak lewat pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Di samping itu, sistem penilaian al-Qur’an terhadap amal saleh tidak memandang apakah laki-laki atau perempuan yang melakukannya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik ia laki-laki atau perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk surga (QS. 44: 124). Sistem kerjasama yang fleksibel, terpadu dan dinamis dari kerjasama saling menguntungkan seperti itu sangat bermanfaat dalam berbagai ragam masyarakat dan keluarga".
Tahun ini, Ayah dan Ibu sudah menikah selama dua puluh enam tahun dan saya ragu, apakah Ayah pernah membaca buku Wanita di Dalam al-Qur’an atau belum. Entahlah, saya belum sempat menanyakannya. Namun, yang pasti, dari kedua sosok tersebut, saya jadi sadar bahwa soal kesetaraan di dalam sebuah hubungan perkawinan bisa diterapkan melalui perkara-perkara sederhana seperti tadi. Ayah dan Ibu mungkin sedikit contoh dari pasangan yang mempraktikkan kesetaraan tersebut, tapi saya juga yakin, mereka bukan satu-satunya pasangan yang menerapkannya. Bisa jadi, setelah tulisan ini dibaca, kesadaraan serupa turut hadir di banyak pasangan lain di luar sana.