Sebelum memutuskan untuk bermigrasi ke salah satu kota besar di Indonesia, saya tinggal di sebuah dusun kecil di Yogyakarta. Tempat tinggal saya tersebut, barang kali termasuk salah satu dusun terpelosok. Dusun kami tidak padat penduduk, hanya terdapat kurang lebih 150 KK dengan susunan perumahan memanjang yang ada di kiri atau di kanan jalan. Dusun kami pun tidak terlalu luas, kira-kira hanya sekitar 4 kilometer persegi.
Di dusun kami tersebut, hanya terdapat 1 (satu) masjid saja. Masjid tersebut sering menjadi tempat belajar mengaji, salat jumat, salat berjemaah, serta kegiatan-kegiatan ibadah lainnya.
Layaknya sebuah tempat ibadah di kampung, masjid kami pun dahulu dilengkapi dengan bedug dan pengeras suara. Tentu saja, fungsinya untuk mengumandangkan adzan ketika waktu salat telah tiba. Hampir seisi kampung mendengar ketika bedug ditabuh lalu dikumandangkan azan. Bagi penduduk kampung yang ingin mengikuti salat berjemaah, mereka segera bergegas untuk datang ke masjid tersebut, yang lokasinya tepat berada di tengah-tengah kampung kami.
Seingat saya, tak ada yang protes terhadap panggilan azan tersebut. Bahkan juga terasa saling bersahut-sahutan secara merdu antara masjid kami dan masjid tetangga dusun yang juga mengumandangkan azan secara bersama-sama. Azan tersebut kedengaran terasa indah karena dikumandangkan dengan intonasi dan irama tertentu, meski saling bersahut-sahutan. Terhadap suara azan tersebut, banyak masyarakat yang kemudian menghentikan berbagai aktivitasnya dan segera bergegas untuk ikut salat berjemaah, terutama saat magrib dan isya.
Seiring berjalannya waktu, fungsi toa sebagai pengeras suara saat ini bukan hanya digunakan untuk azan saja. Namun, juga digunakan untuk hal-hal yang lain seperti pengumuman gotong-royong, berita kematian, dan sebagainya. Ini sebetulnya sangat bermanfaat. Baik azan sebagai panggilan orang Islam untuk salat, maupun pengumuman-pengumuman yang disampaikan melalui pengeras suara atau toa di masjid kami harus terdengar le seluruh penduduk secara gamblang dan jelas. Saat itu, tidak ada gejolak apapun di masyarakat kami, semua tenang, semua rukun, tenteram dan damai.
Namun saat ini, penggunaan pengeras suara di masjid dengan menggunakan toa telah diatur berdasarkan surat edaran menteri agama, tepatnya SE Menag No 05 Tahun 2022 soal penggunaan penggunaan Toa atau pengeras suara di masjid. Beberapa aturan yang ada dalam SE tersebut di antaranya adalah memisahkan pemasangan pengeras suara antara pengeras suara luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid atau musala. Adapun untuk volume suara, toa diatur sesuai dengan kebutuhan dan maksimasl 100 desibel.
Tentu saja, surat edaran tersebut memantik pro kontra di kalangan masyarakat. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Namun, semua itu tak perlu disikapi secara berlebihan. Di negeri demokrasi, pro kontra terhadap suatu persoalan adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Itu adalah dinamika dalam kita berdemokrasi. Jadi untuk kebaikan bersama, mari kita sikapi itu semua dengan kepala dingin.
Sebenarnya, persoalan pengeras suara masjid atau toa bukan sesuatu yang sangat mengganggu jika dalam penggunaanya tidak berlebihan dan dalam kapasitas yang wajar. Terlebih lagi jika benar-benar digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat seperti toa atau pengeras suara masjid di kampung kami. Namun, itu semuanya tergantung dari situasi masyarakat sekitar masjid dan barang kali juga tangkat kedewasaan serta sikap toleransi hingga saling menghargai yang ada pada masyarakat di sekitar masjid tersebut.