Pentingnya Seorang Anak Berbakti pada Orangtua

Hayuning Ratri Hapsari | Sam Edy Yuswanto
Pentingnya Seorang Anak Berbakti pada Orangtua
Ilustrasi ibu dan anak (Pexels.com)

Menghormati dan memuliakan kedua orangtua merupakan hal yang niscaya bagi setiap anak. Salah satu alasannya karena keberadaan mereka memiliki peranan yang begitu besar dalam kehidupan ini.

Allah Swt. telah menjadikan dua orang yang kerap kita panggil ayah dan ibu itu sebagai perantara keberadaan kita di dunia ini. Khususnya ibu. Dia telah mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak-anaknya dengan susah-payah. Bahkan apa pun yang dia miliki rela dipertaruhkan demi kebahagiaan sang anak. 

Perihal pentingnya memuliakan ibu, ada sebuah kisah menarik yang bisa kita ambil hikmahnya. Kisah tersebut saya temukan dalam buku 100 Muslimah Super Stories karya Abdillah F. Hasan. Dikisahkan, ada seorang pemuda yang rajin beribadah bernama Juraij. Suatu hari, ketika sedang shalat, ibu Juraij memanggilnya.

Karena sedang shalat Juraij mengalami dilema. Apakah menjawab panggilan sang ibu atau meneruskan shalatnya. Juraij akhirnya memutuskan untuk tetap meneruskan shalatnya.   

Karena merasa tidak digubris panggilannya oleh Juraij, sang ibu merasa dongkol lalu mengucapkan kata-kata, “Ya Allah, jangan matikan Juraij sebelum Engkau memperlihatkan kepadanya wajah wanita pelacur.” Siapa yang mengira, ternyata doa sang ibu akhirnya dikabulkan oleh Allah Swt.

Pada suatu hari, terjadilah sebuah fitnah besar yang menimpa Juraij. Jadi ceritanya, ketika Juraij sedang berada di sebuah rumah ibadah, datanglah seorang wanita yang menawarkan diri kepadanya untuk berbuat mesum.

Tentu saja ajakan tak senonoh itu langsung ditolak oleh Juraij. Karena tak ingin menanggung rasa malu, sang wanita kemudian mendatangi seorang penggembala dan melakukan zina dengannya.

Hingga akhirnya wanita tersebut pun mengandung dan melahirkan. Ketika melahirkan, dia mengaku kepada orang-orang bahwa anak yang dilahirkannya adalah anak Juraij.    

Tentu saja cerita yang keluar dari mulut sang wanita langsung mengobarkan api kemarahan masyarakat. Mereka lantas mendatangi Juraij.

Dengan penuh emosi dan amarah, mereka pun mencibir, melontarkan cacian, bahkan mereka kemudian menghancurkan rumah ibadahnya. Namun, Juraij tetap berusaha bersikap tenang. Juraij kemudian berwudhu dan menunaikan shalat. Setelah itu dia mendatangi anak wanita tersebut. Juraij bertanya, “Wahai bocah, siapa bapakmu?”    

Siapa yang menyangka jika anak tersebut mampu menjawab pertanyaan Juraij. Si anak menjawab, “Fulan si penggembala.” Tak ayal, masyarakat yang suah telanjur terbakar emosi tak kuasa menahan rasa malu dan penyesalan. Mereka akhirnya bersatu untuk membangun kembali rumah ibadah Juraij.   

Bila direnungi, kisah tentang Juraij yang pernah mengabaikan panggilan ibunya tersebut bisa kita jadikan sebuah refleksi bersama, agar kita berusaha memuliakan orangtua, khususnya ibu, di mana pun kita berada.

Ketika orangtua sedang membutuhkan keberadaan kita misalnya, mestinya kita jangan merangkai sederet alasan untuk tidak memenuhinya, terlebih bila kita sangat mampu untuk memenuhinya.

Misalnya ketika kita sedang berada di perantauan tiba-tiba sang ibu menelepon kangen dan meminta kita meluangkan waktu sebentar untuk mengunjungi beliau, maka sebaiknya segera penuhi keinginannya.   

Idealnya, seorang anak, tanpa diminta pun, harunya tahu kondisi orangtuanya. Ketika sudah memiliki penghasilan misalnya, berusahalah untuk rajin menyisihkan sebagian penghasilan tersebut untuk diberikan kepada orangtua kita.

Saya yakin, orangtua merasa bahagia ketika melihat anak-anaknya sudah bekerja, sudah mapan, sudah sukses hidup di kota. Mereka mungkin tak mengharapkan apa-apa dari anaknya, yang penting anaknya bahagia orangtua sudah merasa senang.

Namun di sinilah kita sebenarnya sedang diuji, apakah kita sudi berbagi rezeki kepada orang lain, khususnya kepada orangtua kita, ataukah malah menjadi semakin pelit setelah kita memiliki segala-galanya?   

Justru sebagai anak, kitalah yang harusnya pengertian. Mengerti dengan kondisi orangtua kita. Mengerti dengan segala kesenangan atau hal-hal yang disukai oleh orangtuanya, lalu berusaha rutin memberikan hadiah kepada mereka.

Bukankah ketika kita masih kecil, segala apa yang kita inginkan nyaris selalu dikabulkan oleh orangtua kita?

Padahal bisa saja pada waktu itu orangtua kita sedang tidak punya uang, lantas mencari utangan ke sana-kemari hanya demi untuk membelikan apa pun yang kita inginkan.

Coba kita ingat-ingat, berapa banyak mainan (mobil-mobilan, pesawat terbang, balon, dll) yang kita inginkan saat kecil dan semuanya harus disediakan (dibeli) oleh orangtua kita?

Lantas, betapa jahat dan teganya setelah kita besar tetapi kita malah main hitung-hitungan. Merasa berat hati untuk menyisihkan sebagian uang gajian untuk membahagiakan kedua orangtua kita?   

Beruntunglah bagi para anak yang saat ini masih memiliki orangtua. Karena mereka masih bisa berbakti secara langsung kepada orangtua masing-masing.

Cara seorang anak berbakti kepada orangtuanya tentu beragam. Misalnya, jangan meremehkan panggilannya, jangan menyakiti hatinya. Seumpama orangtua menyuruh kita melakukan hal yang tidak baik, berusahalah menolaknya dengan cara yang santun.    

Kemudian, bagi para anak yang sudah tak memiliki orangtua, apakah masih bisa berbakti? Tentu saja masih, di antaranya dengan cara mendoakan kebaikan kepada kedua orangtuanya dan rajin memberikan sedekah atau infak dengan mengatasnamakan kedua orangtuanya. Insya Allah pahala sedekah atau infak dengan niat tulus-ikhlas dan mengharap ridha-Nya tersebut dapat mengalir untuk almarhum orangtuanya. Wallahu alam bish-shawaab.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak