Racun. Itulah arti kata toksik yang saat ini kerap menjadi perbincangan orang di berbagai media. Dalam tulisannya, dr. Nadia Octavia (www.klikdokter.com, 13/12/2021) menguraikan, kata toxic berarti ‘racun’. Normalnya, orang tak ingin terkena racun pada seluruh aspek kehidupan, termasuk hubungan.
Penting dipahami bersama bahwa keberadaan orang-orang toksik memang sangat meresahkan. Padahal, biasanya dalam lingkungan kita, ada saja orang model seperti ini yang begitu menyebalkan dan bisa bikin emosi jiwa. Orang yang tampak baik di depan kita tapi berlaku jahat di belakang kita juga termasuk kategori toksik yang harus selalu kita waspadai.
Bahkan, dalam sebuah keluarga, kita bisa menemukan anggota keluarga yang toksik yang bila tak segera dicarikan jalan keluarnya, maka dapat mengganggu keharmonisan sebuah rumah tangga. Tak jarang, hubungan suami-istri yang diwarnai toksik akhirnya berujung tragis, yakni perceraian. Bila mereka memiliki anak, tentu anak juga akan ikut menjadi korbannya.
Dalam sebuah hubungan pertemanan, ketika kita menghadapi orang yang toksik, maka satu-satunya cara adalah berusaha menghindarinya. Bukan memutuskan hubungan pertemanan, sama sekali bukan, hanya saja kita harus menjaga jarak agar tidak sakit hati terus-terusan menjadi korban ketoksikannya. Juga, tak perlu kita menjalin kerja sama, misal dalam hal urusan berbisnis, dengan orang-orang yang toksik. Sekadar kenal sekilas, sudah itu saja, tak usah akrab atau berkumpul dengan mereka.
Hal yang agak sulit adalah ketika orang yang toksik itu adalah pasangan hidup kita sendiri, sedangkan kita sudah menikah cukup lama bahkan telah dikaruniai anak. Oleh karenanya, sangat penting untuk duduk bersama dengan pasangan, merenungi kembali tujuan awal pernikahan, berusaha menolerir setiap perbedaan karakter atau kebiasaan masing-masing, dan seterusnya.
Jika memang sudah tak ada kesamaan visi dan misi, atau dalam artian sudah tidak bisa diperbaiki lagi karena masing-masing saling mengedepankan ego dan tak ada yang mau mengalah, maka berpisah dengan pasangan, saya kira adalah hal yang terbaik. Daripada menjalin hubungan yang ‘tidak sehat’ seumur hidup, membuat kita tersiksa lahir batin dan tak bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup. Buat apa hidup dengan pasangan yang tak men-support kita, bahkan parahnya ketika di belakang, dia membicarakan aib kita kepada teman-temannya.
Bicara tentang hubungan yang sehat, ada penjelasan menarik dari Desy Wee, dalam buku “Tegas Membangun Batas”. Jadi, menurut psikolog, suatu hubungan dikatakan sehat ketika orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut mempunyai nilai-nilai dasar atau tujuan hidup yang sama. Mereka saling menghormati, saling terbuka, saling percaya, sehingga mampu menciptakan momen yang menyenangkan. Tak hanya itu, mereka juga mendukung satu sama lain untuk berkembang menjadi versi terbaik bagi masing-masing.
Mudah-mudahan, tulisan singkat dan sederhana ini dapat dijadikan sebagai bahan renungan bersama. Semoga bermanfaat.