Kartini Ingin Perempuan Mendapatkan Pendidikan agar Sempurna menjadi Ibu

Candra Kartiko | Nia Maharani
Kartini Ingin Perempuan Mendapatkan Pendidikan agar Sempurna menjadi Ibu
Ilustrasi ibu dan anak.[Freepik.com]

Raden Ajeng Kartini. Namanya saya kenal sejak TK melalui lagu dan cerita. Setiap tahun, hari kelahirannya diperingati dengan mengenakan kebaya ke sekolah. Selain itu pasti ada cerita dari bapak ibu guru tentang perjalanan hidupnya sejak lahir hingga wafatnya.

Kartini bagi saya sama kedudukannya seperti pahlawan wanita lainnya. Banyaknya nama pahlawan wanita jauh sebelum Kartini lahir menunjukkan bahwa Indonesia tidak punya masalah dengan emansipasi. Adapun yang terjadi di Jawa adalah kasuistik. Beberapa nama pahlawan wanita adalah Laksamana Wanita Malahayati asal Aceh (tahun 1550-1615 M), dari Maluku ada Marta Cristina Tiahahu (tahun 1800-1818 M), Cut Nyak Dien dari Aceh  (tahun 1848-1908 M), Nyi Ageng Serang berasal dari Purwodadi (tahun 1870-1910 M), dan masih banyak lagi. 

Berbeda dengan perempuan Barat, pada masa-masa itu (masa renaisans dari awal abad ke-14 sampai abad ke-17), mereka  baru saja mencari identitas dan meredefinisi perempuan. Beratus tahun lamanya berada dalam masa kegelapan, perempuan bukan saja dianggap sebagai manusia kelas dua, tapi ada yang menganggapnya setengah manusia. 

Pada awal tahun 1800-an di Inggris, barulah timbul kesadaran bahwa mereka juga manusia yang memiliki kesamaan potensi dengan laki-laki. Kesadaran itu melahirkan gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak dengan laki-laki di segala bidang. Dalam perjalanannya, ide dan gerakan feminisme berkembang dan meluas ke seluruh dunia seiring dengan imperialisme dan kolonialisme termasuk ke Indonesia. 

Di Indonesia, Kartini merupakan salah satu tokoh yang bersinggungan langsung dengan ide-ide emansipasi dan feminisme. Teman-teman korespondensinya di Belanda merupakan para pegiat emansipasi. Ada Estelle Hartshalt-Zeehandelaar, seorang feminis keturunan Yahudi, anggota Partai Sosialis Belanda, dan penulis isu-isu feminisme di jurnal-jurnal perempuan. Selain Stella, ada Nyonya Abendanon, orientalis yang merupakan istri dari Direktur Departemen Pendidikan, agama, dan Industri Belanda. Ada Nyonya Van Kol, istri seorang insinyur yang bekerja di Indonesia. Meskipun demikian, RA Kartini tidak berjuang atas nama emansipasi.

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin sekali bagi kaum wanita  agar lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama." (kutipan surat Kartini kepada Profesor Anton dan istrinya pada tanggal 4 Oktober 1902)

Tidak ada satu kata, frasa, bahkan kalimat yang mengindikasikan bahwa apa yang diperjuangkan Kartini sebuah upaya menuntut persamaan hak laki-laki dan perempuan di segala bidang. Kartini hanya ingin perempuan mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan agar semakin sempurna menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Sebuah peran perempuan yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.

Di dalam Islam, ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bila seorang ibu mempersiapkan perannya sebaik mungkin, maka dia telah mempersiapkan generasi terbaik. Inilah peran wanita yang sesungguhnya diinginkan Kartini sebagaimana kutipan suratnya. 

Di sisi lain, tingginya jenjang pendidikan yang diraih perempuan meniscayakannya berbagi kemanfaatan di sektor publik, tetapi bukan sebagai pesaing laki-laki. Bukan juga dalam bingkai emansipasi. Konsep relasi laki-laki dan perempuan yang diusung Kartini sejalan dengan konsep Islam, yaitu adanya saling kerja sama dalam kemaslahatan. Keduanya bisa saling melengkapi mengisi pos-pos profesi yang menuntut kehadiran seorang perempuan. Bisa dibayangkan kerikuhan di meja operasi bila dokter kandungannya laki-laki atau di depan persidangan kasus keluarga jika hakimnya laki-laki.

Sejatinya, ruh perjuangan Kartini adalah Islam. Sebuah fakta yang jarang terungkap, Raden Ajeng Kartini sempat  belajar Islam intensif kepada Kyai Haji Sholeh bin Umar As Samarani atau Mbah Sholeh Darat, ulama besar asal Darat, Semarang. Pertemuan Kartini dengan gurunya terjadi sekitar tahun 1901 di pendopo Kabupaten Demak saat mengunjungi pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat. Pertemuan pertama itu menjadi pembuka pertemuan-pertemuan berikutnya. 

Pada hari pernikahannya, Kyai Sholeh Darat memberi hadiah kitab terjemahan Al-Qur'an, Faizhur Rohman fit Tafsir Qur'an I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surat Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Sejak saat itu Kartini benar-benar merasa dimudahkan mempelajari Al-Qur’an. Perlahan dia mulai memahami Islam dalam arti yang sesungguhnya. Sebagaimana ungkapannya yang terkenal dalam bahasa Belanda, Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Ternyata adagium itu merupakan potongan ayat ke-157 dari Surat Al-Baqarah, minadzulumati Ilan Nur. 

Kuatnya napas Islam Kartini di akhir perjalanan hidupnya dapat ditelusuri di kutipan suratnya tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny Van Kol. 

“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.” 

Raden Ajeng Kartini melalui surat-suratnya meneguhkan dan memberi arah langkah bagi perempuan. Ia juga memiliki konsep yang jelas tentang masyarakat yang dicita-citakannya. Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon tertanggal 27 Oktober 1902 mempertegas semuanya.

"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.” 

Jika hari ini wanita Indonesia mengejar persamaan hak dan menuntut kesetaraan di segala bidang dengan laki-laki, maka tuntutannya tidak senapas dengan cita-cita Kartini.  

Jika hari ini kaum wanita bersaing bebas dengan laki-laki demi meninggikan perannya di sektor publik dan meninggalkan kewajiban utamanya di ranah domestik, itu pun menyalahi perjuangan Kartini.

Jika hari ini para perempuan silau dengan peradaban Barat dan mengimitasi  cara berpikir dan berperilaku perempuan Barat, nyatanya Kartini tidaklah demikian. 

Ada batasan-batasan syariat yang mengatur aktivitas perempuan di ranah domestik dan publik. Batasan ini bukan sebagai penghalang, sebaliknya menjadi rambu-rambu agar perempuan selamat saat memainkan berbagai perannya. Sebagai istri, bersama suaminya dapat membangun keluarga yang tangguh. Sebagai ibu, anak-anaknya berhasil dicetaknya sebagai penerus peradaban gemilang. Ia pun dapat berkontribusi di tengah-tengah masyarakat sesuai bidang keahliannya tanpa meninggalkan kewajiban utamanya. Kiranya, sungguh sejuk dipandang bila perempuan berkiblat pada Islam.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak