Memaknai Pancasila Bukan Hanya Soal Pemersatu, Tetapi Falsafah Hidup

Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Memaknai Pancasila Bukan Hanya Soal Pemersatu, Tetapi Falsafah Hidup
Ilustrasi Pancasila sebagai falsafah hidup. (Instagram/@cerita.pancasila)

Bicara soal Pancasila tentu tak bisa dilepaskan dengan Pidato Bung Karno tepat 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI. Melalui sidang BPUPKI, ketua sidang Radjiman Wedyodiningrat mempertanyakan dan meminta, kenapa Indonesia harus merdeka dan apa dasar Indonesia merdeka? 

Muhammad Yamin dan Soepomo juga menyampaikan pidatonya pada forum itu, tetapi belum ada kesepakatan dan jawaban yang pas terkait dengan pertanyaan ketua sidang Radjiman Wedyodiningrat.

Hingga akhirnya masuk giliran Bung Karno berpidato dan mampu meyakinkan ketua sidang terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan.

Hari itu bertepatan tanggal 1 Juni 1945 dan akhirnya ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016.

Menurut Bung Karno bahwa dia bukanlah penemu Pancasila, melainkan hanya penggali Pancasila yang sudah lama ada di bangsa Indonesia.

Nilai-nilai kebudayaan dan kebiasaan rakyat Indonesia sudah lama diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan itu terkandung dalam bangsa Indonesia, seperti halnya gotong royong sebagai perasan Pancasila dengan nama Ekasila. 

Di dalam pidato, Bung Karno menerangkan bahwa Pancasila dalam isinya menyatu padu antara kebangsaan dengan kemanusiaan.

Pemahaman kebangsaan tidak boleh sempit hanya karena cinta terhadap bangsa dan tanah air, lantas membiarkan penindasan terhadap bangsa dan orang lain. Itu sangat ditentang oleh Bung Karno. 

Kemudian konsep demokrasi dan keadilan sosial juga tak bisa dilepaskan, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mesti mampu terlaksana dengan baik, tidak ada yang boleh mendahului dan harus terwujud dua-duanya.

Hal ini supaya efek dan manfaat dari demokrasi yang merupakan kepentingan bersama benar-benar dirasakan oleh rakyat Indonesia. 

Terakhir, menurut Bung Karno bahwa Indonesia adalah masyarakat ber-Tuhan dan kepercayaan rakyat Indonesia pun juga banyak.

Maka dari itu, tiap-tiap bangsa Indonesia mesti menghargai perbedaan agama dan menghargai orang lain dalam beragama, sehingga tidak heran pemikiran Bung Karno sangat relevan untuk bangsa Indonesia melalui  Nation and Caracter Bhuilding dengan semangat Tri Sakti (berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan). 

Pancasila soal pemersatu tentu tak bisa dielakkan, tetapi Pancasila juga adalah falsafah hidup. Pancasila sebagai tuntutan dan panutan untuk mengisi kemerdekaan yang kota diami sekarang ini.

Nilai-nilai Pancasila mesti terpatri dalam diri tiap rakyat Indonesia untuk melangkah dan membawa Indonesia menuju negara yang maju. 

Cita-cita kemerdekaan sudah jelas dalam Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Maka dari itulah yang harus disadari dan dipahami para pemimpin Indonesia, bukan malah membuat kebijakan yang melenceng dari Pancasila dan mengakibatkan rakyat sengsara. 

Kalau ditelisik lebih jauh, penerapan nilai-nilai Pancasila yang seutuhnya masih jauh dirasakan oleh rakyat Indonesia, keadilan dan kesejahteraan belum merata, hukum kadang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Problem-problem demikianlah masih menjadi PR bangsa Indonesia. 

Dengan begitu, hari ini nilai-nilai Pancasila masih menjadi sebatas cita-cita. Lantas muncul pertanyaan dan renungan yang paling dalam apakah kita akan sampai pada cita-cita Pancasila itu? Benarkah Pancasila sudah menjadi falsafah hidup kita dalam berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya, bukan malah menjadikannya hanya ikon saja? 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak