Haji menjadi salah satu ibadah yang sakral dan penting bagi umat Islam. Haji tidak hanya dipandang sebagai bagian dari salah satu dari lima rukun Islam, melainkan juga menjadi ibadah yang dapat mendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Indonesia sebagai negara pemeluk muslim terbesar tentunya menjadikan jumlah jamaah haji di Indonesia menjadi yang terbanyak. umat muslim di Indonesia rela menunggu hingga puluhan tahun untuk menunaikan ibadah haji, tidak jarang juga menggelontorkan banyak uang untuk mengambil paket haji instan.
Fenomena ini menunjukkan semangat berhaji bagi muslim di Indonesia. Semangat ini bahkan terdapat pada saat umat muslim melakukan haji di masa kolonial. Berhaji pada masa kolonial tentu berbeda dengan berhaji pada saat ini, baik dari segi persiapan maupun lama perjalanan. Ada satu hal yang menjadi persamaan antara berhaji pada masa kolonial dan sekarang, yaitu sama-sama memiliki semangat yang menggelora dalam menunaikan ibadah haji.
Sebuah Perjalanan Ibadah yang Mematikan
Menunaikan ibadah haji pada masa kolonial merupakan tantangan yang besar. Persiapan yang harus dipersiapkan pun cukup banyak, baik dari segi finansial maupun segi fisik dan psikis. Persiapan ini tak lepas dari kenyataan bahwa berhaji pada masa kolonial membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan kondisi yang serba sulit dan menderita.
Ancaman Kesehatan seperti wabah penyakit hingga kondisi kapal yang memprihatinkan tentu menjadi tantangan tersendiri bagi jamaah haji pada waktu itu. Perjalanan haji pada masa kolonial dilakukan dengan memanfaatkan transportasi laut seperti kapal. Awalnya kapal yang digunakan adalah milik para pedagang, terutama pedagang Arab. Namun, kemudian pemerintah kolonial menggandeng perusahaan swasta untuk menyediakan kapal-kapal khusus haji.
Perjalanan haji pada masa kolonial hanya mengandalkan moda transportasi laut. penggunaan transportasi laut tidaklah mudah, karena selama perjalanan yang begitu panjang akan menemui berbagai masalah. Permasalahan kesehatan seperti sanitasi dan fasilitas kesehatan tidak memadai ditambah banyaknya jamaah yang berada di dalam kapal tentunya sangat mudah memicu adanya wabah.
Kondisi di dalam kapal juga diperparah dengan minimnya fasilitas yang diterima oleh para jamaah haji, duduk berhimpitan dengan ventilasi yang memadai menjadi pemandangan umum kapal-kapal haji pada waktu itu. Tulisan berjudul Regulasi Haji Indonesia dalam Tinjauan Sejarah menyebutkan kondisi kapal yang teramat buruk hal ini disebabkan banyak maskapai pelayaran tidak mengutamakan kesejahteraan bagi para jamaah.
Kondisi Kesehatan bahkan makanan yang disediakan pun sangat buruk dan tidak baik untuk kesehatan jika dikonsumsi. Tak jarang kondisi tersebut menyebabkan banyak jamaah haji pada akhirnya meregang nyawa selama perjalanan. Kondisi kesehatan di kapal-kapal milik Belanda sangat buruk sehingga rentan terhadap penyebaran penyakit.
Dr. Ziesel dalam jurnal berjudul Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (Tahun 1911-1930) berpendapat pertumbuhan industri perkapalan di Hindia Belanda tidak dibarengi dengan peningkatan pelayanan Kesehatan di atas kapal, sehingga dapat dipastikan hampir setiap perjalanan haji akan memakan korban penularan penyakit seperti kolera dan pes.
Angka kematian setiap kapal pun tinggi, dapat dipastikan rata-rata 15-30% jamaah haji akan meninggal akibat kondisi yang buruk selama perjalanan. Pandji Poestaka edisi tahun 1937 menyebut kondisi jamaah haji yang berhimpitan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Edisi tersebut juga menyebutkan masih minimnya usaha perkapalan dan pemerintah dalam meningkatkan pelayanan karena tidak seimbang dengan semakin banyaknya jamaah haji.
Kondisi berhimpitan ini disebabkan banyak kapal-kapal yang tetap mengangkut penumpang melebihi kapasitas, bahkan banyak jamaah yang terpaksa tidur di atas geladak dan gudang kapal. Menurut keterangan Snouck Hurgronje dalam laporannya menyebutkan para nahkoda kapal hingga pegawai perkapalan menganggap aturan kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial sangat menyulitkan sehingga banyak pihak perkapalan kemudian melanggar aturan termasuk memalsukan data. Kelebihan kapasitas tampaknya menjadi hal yang lumrah, misalnya dalam kasus kapal S.S. Sarvistan yang sebenarnya hanya berkapasitas 1650 orang, namun ternyata kapal tersebut mengangkut 1938 orang.
Kondisi buruk di dalam kapal semakin diperburuk karena lamanya perjalanan. Lamanya perjalanan disebabkan kapal-kapal yang digunakan untuk berhaji seringkali juga digunakan untuk mengangkut hasil perdagangan, sehingga kapal sering berhenti di banyak pelabuhan. Kebersihan kapal baik dari segi sanitasi, aliran air, ketersediaan air bersih juga sangat minim sehingga menambah penderitaan yang berkepanjangan selama perjalanan bagi para jamaah haji. Buruknya kondisi di dalam kapal, terutama kapal milik Belanda menyebabkan banyak jamaah haji ketika berangkat dalam kondisi sehat, tetapi ketika pulang sudah terjangkit penyakit dan tak jarang meninggal.
Biaya Berhaji Masa Kolonial
Jamaah Haji pada masa kolonial memerlukan persiapan biaya yang tidak sedikit, baik biaya untuk perjalanan seperti tiket kapal maupun biaya Ketika di Mekkah. Biaya haji sesuai ordonansi tahun 1825 mengenai Haji yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial menyebutkan bahwa biaya haji sebesar f110, biaya tersebut tidak termasuuk paspor dan tiket kapal. Para jamaah haji juga diwajibkan membeli tiket pulang pergi sekaligus dengan dalih supaya jamaah haji tidak kehabisan tiket pulang dari Mekkah.
Harga tiketnya pun bervariatif, namun rata-rata berkisar f150-200/tiket. Biaya tiket kapal tidak termasuk biaya pemeriksaan kesehatan yang besarannya sekitar f1/orang. Jamaah juga dikenakan biaya pemeriksaan kesehatan lanjutan di pos-pos karantina dengan besaran f4/orang. Besarnya biaya haji tidak hanya sebatas biaya akomodasi, melainkan juga biaya tatkala sampai di Tanah Suci.
Di Pelabuhan Jeddah misalnya, banyak para syeikh yang memeras para jamaah dengan meminta pungutan liar. Ashyadi dalam tulisannya berjudul Kelas Haji Kelas Sosial: Sejarah Haji dari Zaman Kolonial hingga Kini Ditinjau dari Kajian Kritis Kapitalisme menyebut para syeikh memungut f37 bagi setiap jamaah yang berada di pelabuhan dan memungut f15 untuk biaya sewa unta.
Mahalnya berhaji terkadang berakibat banyak jamaah haji yang kekurangan uang baik Ketika di perjalanan, di tempat transit seperti Singapura maupun di Jeddah. Tidak jarang beberapa jamaah haji harus berutang ke agen pelayanan haji seperti Herklot dan Al Segaff, bahkan jika mereka gagal bayar maka akan diperbudak di perkebunan karet yang berada di Malaya. Beberapa jamaah haji yang lain justru tidak dapat melanjutkan perjalanan haji dan hanya sampai di Singapura. Mereka bertahan hidup di Singapura untuk sekedar mengumpulkan uang guna melanjutkan perjalanan atau malah Kembali lagi ke tanah air dan menyandang gelar “Haji Singapura”
Kapitalisme dan Kesadaran Semu Berhaji
Banyaknya jamaah haji tentunya memiliki nilai materil sehingga mendorong munculnya kapitalisme dan monopoli. Pemerintah Kolonial melihat potensi keuntungan materil dan ekonomi yang dapat diperoleh dengan melakukan monopoli haji seperti yang tertulis dalam Regulasi Haji Indonesia dalam Tinjauan Sejarah. Tulisan tersebut menyoroti praktik-praktik para agen dan syekh hingga otoritas Hejaz yang turut serta dalam memeras para jamaah haji dan memperlakukan para jamaah sebagai obyek pemerasan, bukan sebagai manusia yang hendak beribadah. Pemerintah Kolonial sejak awal pun sudah memonopoli haji baik secara regulasi maupun pelayaran dengan menetapkan Kongsi Tiga (Mij Ocean, Mij Nederland dan Rootterdamache Lyod).
Besarnya potensi keuntungan materil yang dapat diperoleh kemudian juga mendorong munculnya firma atau agen penyalur haji yang bersifat kapitalis dan hanya berorientasi pada keuntungan semata. Setidaknya terdapat dua agen penyalur haji yang terkenal pada waktu itu, yaitu Firma Herklot dan Firma Al-Segaff. Kedua firma tersebut seringkali melakukan pemerasan terhadap para jamaah haji bahkan memberikan kredit bagi jamaah haji yang kehabisan uang di Jeddah dan Singapura. Tak jarang, firma tersebut kemudian melakukan praktik perbudakan terhadap jamaah yang mengalami gagal bayar hutang.
Perusahaan baik pelayaran maupun penyalur haji membuat kesepakatan dengan para elite lokal seperti Wedana untuk mempromosikan pelayanan haji, tentunya para elite lokal tersebut mendapat kuota haji khusus. Lebih jauh lagi, mereka juga memanfaatkan semangat dan fanatisme beragama di kalangan masyarakat untuk semakin menarik minat masyarakat dalam berhaji.
Bagi masyarakat, berhaji tidak hanya sebagai sarana ibadah, melainkan juga salah satu cara dalam melakukan mobilitas sosial atau menaikkan kelas sosial. Snouck Hurgronje sendiri menyebut setidaknya ada empat alasan Pribumi Islam berhaji yaitu: menjalankan perintah agama, memperdalam ilmu agama, menaikkan status sosial, menetap di Mekkah.
Menurutnya, alasan untuk menaikkan status sosial menjadi alasan yang banyak mendorong masyarakat melakukan haji. Tidak bisa dipungkiri memang jika haji yang memiliki tantangan, hambatan serta biaya yang tidak sedikit menjadikan ibadah ini memiliki prestige tersendiri. Orang yang bergelar haji pun lebih dihormati di kalangan masyarakat sehingga mendorong lebih banyak masyarakat untuk pergi melakukan haji apapun resikonya.
Kondisi ini lah yang kemudian dimanfaatkan oleh agen penyalur haji dengan menciptakan kesadaran semu bahwa berhaji dapat menaikkan status sosial lebih mulia di kalangan masyarakat. Tentu saja dampaknya semakin banyak yang berhaji, semakin banyak pula yang menggunakan jasa agen haji dan semakin banyak keuntungan lewat pemerasan yang dapat dilakukan.