Kartini mungkin sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Kita mengenal Kartini bahkan sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Kartini sendiri merupakan satu-satunya pahlawan yang hari lahirnya diperingati secara pribadi, tidak seperti Ki Hajar Dewantara yang hari lahirnya diperingati bukan sebagai hari kelahirannya melainkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Perjuangan Kartini akhir-akhir ini mendapat kritikan dan sorotan, terutama alasan Kartini menjadi pahlawan padahal ia tidak berjuang seperti pahlawan perempuan lain seperti Cut Nyak Dien dan Marta Christina Tiahahu.
Siapakah Kartini?
Dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterjemahkan oleh Armijn Pane, Kartini lahir di Mayong, Jepara pada tanggal 21 April 1879 dengan ayahnya yang waktu itu menjabat sebagai Wedana di Mayong. Tidak lama kemudian, Kartini pindah ke Kota Jepara ketika ayahnya diangkat menjadi Bupati Jepara. Kartini lahir dari seorang ibu yang bukan bangsawan, nama ibu Kartini adalah Ngasirah. Kartini sendiri sejak kecil sudah mendapatkan pendidikan, baik pendidikan terkait etiket Jawa, Agama maupun pendidikan Formal. Kartini memiliki rasa ingin tahu yang mendalam dan cukup cerdas. Kecerdasan Kartini terlihat ketika ia menulis tulisan mengenai Pandhita Ramabai sewaktu duduk di E.L.S.
Awal Kartini Berjuang Melawan Bangsanya Sendiri
Sebagai seorang bangsawan, sesuai adat yang berlaku pada waktu itu maka selepas lulus E.L.S tepatnya pada usia 12 tahun (usia Baligh), Kartini mulai masuk pingitan. Kartini mulai menyadari akan pingitan sejak ia mendapat jawaban dari kakaknya bahwa ia akan menjadi Raden Ayu. Di dalam pingitan Kartini mulai menganalisis mengapa perempuan harus di pingit dan mengapa pula para perempuan ini tidak berontak? Kartini menganalisis bahwa kondisi ini disebabkan karena konstruksi sosial feodalistik yang didominasi oleh laki-laki sehingga menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Pemikiran ini dilestarikan berpuluh tahun lamannya dan dijadikan sebagai budaya yang tiada boleh dirubah.
Kartini juga melihat bahwa perempuan pada zamannya sangat menderita, perempuan hanya sebagai obyek yang diatur-atur sedemikian rupa, terutama dalam hal pernikahan. Perempuan seolah-olah dikonstruksi hanya untuk pernikahan semata. Pernikahan pada waktu itu juga tidak memberikan perempuan pilihan, bahkan lebih parahnya perempuan dapat dinikah tanpa sepengetahuan perempuan itu sendiri. Perempuan hanya menjadi obyek pernikahan, dinikah oleh seorang laki-laki untuk menjadi isteri yang ke berapa. Fakta ini didukung dengan kenyataan bahwa terdapat budaya waktu itu bahwa seorang Wedana dapat menjadi Bupati setelah menikahi seorang isteri berdarah bangsawan, dan hal ini terjadi pada ayahnya sendiri.
Ayah Kartini pada awalnya menikah dengan Ngasirah, tetapi sebagai syarat menjadi bupati ia akhirnya menikah dengan R.A. Wuryam yang masih memiliki garis keturunan Raja Madura. Pengalaman pernikahan ditambah kedudukan ibu kandungnya yang hanya sebatas Garwa Ampil sehingga anak-anaknya harus memanggilnya Yu, bukan Ibu, ini lah yang membekas dalam hati Kartini bahwa budaya yang merendahkan perempuan semena-mena harus dirubah. Sejak kecil pun Kartini diajarkan untuk selalu patuh pada laki-laki, terutama terhadap kakak laki-lakinya. Kartini memandang bahwa pemikiran laki-laki yang bersifat egois ini lah yang kemudian menempatkan perempuan di bawah laki-laki.
Kartini kemudian menganalisis sebab perempuan tidak berontak atau melawan terhadap tradisi dan budaya yang menindas perempuan. Kartini kemudian menyimpulkan bahwa perempuan terutama yang telah menjadi isteri tidak berani melawan karena takut tidak dinafkahi. Perempuan takut tidak dinafkahi, sebabnya karena perempuan sudah dibuat bergantung pada nafkah suaminya, sebab bergantung ini disebabkan karena perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri. Penyebab tidak bisa mandiri karena sejak sebelum menikah, perempuan tidak berhak mengenyam pendidikan, terutama pendidikan yang berguna untuk keterampilan hidup. Pendidikan yang diberikan kepada perempuan sebatas mengenai pekerjaan rumah, masyarakat waktu itu memandang perempuan tidak perlu
Perjuangan Kartini Melawan Bangsanya Sendiri
Kartini kemudian membuat kesimpulan bahwa sebab permasalahan penderitaan perempuan adalah pendidikan. Timbul kemudian rasa ingin mengangkat derajat perempuan, terlebih Kartini juga telah membaca berbagai buku mengenai feminisme. Kartini juga rajin bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya di Belanda seperti Stella, seorang feminis sosial demokrat yang memiliki pengaruh terhadap Kartini. Kartini juga mengasah kemampuan menulisnya dengan Nyonya Ovink-Soer, Kartini senang menulis guna memperjuangkan hak-hak perempuan lewat surat kabar. Tulisan Kartini di surat kabar pun mampu mempengaruhi siswa-siswa STOVIA seperti yang dikutip dari buku berjudul Kartini Sebuah Biografi yang ditulis Siti Soemandari Soeroto.
Nama Kartini yang cukup populer kemudian mengundang ketertarikan para pejabat kolonial waktu itu, seperti Gubernur Jenderal Rooseboom, J.H Abendanon dan Van Kol. J.H Abendanon memiliki ketertarikan terhadap Kartini, karena cita-cita Kartini sesuai dengan posisinya sebagai Direktur Pendidikan, Agama dan Kerajinan, ia juga merupakan seorang Etisi. Hubungan baik dengan J.H. Abendanon mendorong Kartini untuk memohon supaya dapat mendirikan sekolah berasrama bagi perempuan. Saran itu kemudian ditindak lanjuti oleh Abendanon dengan mengirim surat kepada para Bupati untuk dimintai pendapat mengenai pendirian sekolah perempuan di setiap kabupaten. namun, tanggapan dari para bupati justru menolak dengan alasan perempuan tidak memerlukan sekolah tinggi.
Perjuangan Kartini tidak berakhir, ia kemudian mengajukan beasiswa sesuai saran van Kol, Kartini berkeinginan dapat menularkan ilmunya selepas lulus dengan mendirikan sekolah yang biayanya ia akan usahakan sendiri. Lagi-lagi cita-cita Kartini pupus, bukan karena pemerintah Belanda tidak mengabulkan, tetapi Kartini diminta Abendanon untuk membatalkannya, Abendanon khawatir pemikiran Kartini dapat mendorong upaya pemberontakan karena Kartini tidak sekedar memperjuangkan kesetaraan perempuan, tetapi juga kesetaraan pribumi dengan Eropa.
Kartini melawan budaya feudal yang menempatkan manusia sesuai status kebangsawanan. Dalam suratnya Kartini jijik dengan budaya feudal di mana ia melihat orang-orang tua yang lebih rendah derajatnya terpaksa menunduk memberi sembah hormat kepadanya yang lebih muda. Dalam suratnya kepada Stella, ia menuliskan lebih suka dipanggil dengan panggilan Kartini saja tanpa embel-embel gelar kebangsawanan. Hingga menjelang pernikahannya, ia tetap melakukan perlawanan dengan memberi syarat tidak ingin ada prosesi jalan jongkok dan membasuh kaki suaminya serta menolak menggunakan Bahasa krama kepada suaminya, suatu tindakan radikal pada waktu itu.