Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa

Hernawan | Haidar Tanaya
Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa
ilustrasi wayang (Shutterstock & Suara.com/Arya Manggala)

Wayang telah lama menjadi identitas budaya yang melekat. Wayang pada saat ini tidak hanya menjadi milik masyarakat Jawa, tapi juga menjadi identitas kebudayaan nasional. Wayang juga dianggap kesenian tradisional yang tidak mati di tengah gempuran kesenian hiburan modern.  Wayang yang saat ini dipentaskan tidak lepas dari perubahan sejak awal mula wayang diciptakan. Perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang lama, bahkan beriringan dengan jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Perubahan wayang terjadi sesuai dengan kebutuhan dan perubahan zaman. 

Wayang Masa Prasejarah hingga Masa Hindu-Budha

Wayang pada awalnya adalah kesenian yang hanya berkembang di Jawa. Awalin dalam jurnal berjudul Sejarah Perkembangan dan Fungsi Wayang dalam Masyarakat  menjelaskan asal mula kata wayang tak bisa dilepaskan dari kata Hyang atau sosok roh spiritual yang dipercaya oleh orang Jawa sebelum datangnya Hindu-Budha.

Wayang pada masa tersebut digunakan sebagai media dalam memanggil Hyang, terutama roh orang-orang penting yang sudah meninggal. Orang-orang pada masa tersebut membuat wayang juga sebagai bentuk penggambaran dari roh orang-orang yang telah meninggal tersebut. Masa tersebut yang menjadi dalang disebut Syaman. Wayang pada masa itu belum berfungsi sebagai sebuah kesenian, melainkan hanya sebatas media ritual. 

Wayang yang sebelumnya digunakan sebagai media atau sarana ritual diubah menjadi sebuah pertunjukkan. Wayang sebagai pertunjukkan pada awalnya tetap bersikap sakral dan hanya dimainkan di lingkungan istana. Anggapan sakral ini merupakan pengaruh dari sisa-sisa kebudayaan wayang yang bersifat sakral pada masa pra hindu.

Karakter wayang pada masa ini juga seputar orang-orang istana seperti raja, patih dan menteri. Perubahan wayang ini diperkirakan terjadi pada masa hindu-budha sekitar abad ke-9 hingga ke-10 masehi. Menurut Mulyono dalam Wayang Asal Usul Filsafat dan Masa Depannya menuliskan bahwa kesenian wayang kulit pada masa hindu-budha sudah dikenal sejak masa Kediri terbukti dalam Prasasti Kawi dan naskah Arjuna Wiwaha. Pertunjukkan wayang pada masa ini juga mulai menggunakan kelir atau kain pemisah yang memisahkan dalang dengan penonton. Kelir menjadi penguat penggunaan istilah wayang yang berarti bayang-bayang, karena penonton hanya dapat menyaksikan bayang-bayang wayang dari balik kelir. 

Menurut Mulyono, pada awal hindu-budha, pertunjukan wayang tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Perbedaan yang mungkin mencolok adalah digantinya kulit kayu dengan kulit hewan, inilah cikal bakal Wayang Kulit Purwa. Puji-pujian dan bunyi-bunyian yang pada masa pra hindu menjadi pengiring wayang kemudian diganti dengan iringan suluk atau sindenan dan musiknya diganti dengan gamelan. 

Wayang kemudian banyak dipengaruhi dengan cerita Mahabharata dan Ramayana tatkala semakin masifnya pengaruh kebudayaan hindu-budha di Jawa. Anggoro dalam jurnal berjudul Wayang dan Seni Pertunjukan: Kajian Sejarah Perkembangan Seni Wayang di Tanah Jawa sebagai Seni Pertunjukan Dakwah menjelaskan pada masa Mataram I kesenian wayang tidak hanya sebagai pertunjukan sakral, melainkan sebagai alat pendidikan dan komunikasi.

Wayang sebagai media pendidikan kemudian menyerap cerita kepahlawanan dari Mahabharata dan Ramayana yang kemudian disesuaikan dengan tokoh-tokoh lokal yang sudah ada. Menurut Mulyono, pada masa ini, meskipun wayang mulai dipertontonkan kepada masyarakat namun sifat kesakralannya masih ada. Wayang pada waktu itu ditujukan sebagai bentuk ruwatan dan keselamatan seperti ruwatan desa atau pemberian nama bayi yang baru lahir. 

Alur cerita wayang meskipun menggunakan alur Mahabharata dan Ramayana, namun dalam jalannya cerita juga disisipi dengan alur serta tokoh-tokoh lokal. Pada masa Kediri, tokoh Punakawan mulai muncul berdasarkan kitab Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh pada tahun 1188 masehi. Keberadaan Punakawan dan wayang Purwa juga ditegaskan dalam relief yang berada di Candi Jago. 

Kustopo dalam Mengenal Kesenian Nasional I Wayang mengutarakan bahwa pada masa Majapahit model wayang berubah menjadi kain yang dibentangkan kemudian dilukis dengan beberapa tokoh sesuai kejadian. Wayang ini kemudian disebut Wayang Beber. Kisah yang menjadi dasar alur pewayangan juga mulai bervariatif misalnya pementasan ruwatan didasarkan pada cerita Sudamala.

Banyaknya variasi alur cerita disebabkan mulai munculnya penulisan cerita dengan gaya hindu yang dicampur dengan kepercayaan lokal yang menguat kembali. Unsur-unsur Weda pun menjadi pudar dan berganti dengan Babad yang berisi mitos. Pementasan wayang juga semakin meluas di masyarakat dan music pengiringnya juga dibedakan, untuk kalangan istana menggunakan iringan slendro sedangkan rakyat biasa menggunakan rebab. 

Wayang Masa Islam

Wayang yang sudah menjadi media pendidikan pada masa hindu-budha kemudian dimanfaatkan oleh para penyebar islam, terutama Walisongo sebagai media dakwah. Menurut Marsaid dalam Islam dan Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara mengutarakan Walisongo berperan membentuk wayang seperti wujudnya saat ini, yaitu pipih dan lebih berwarna dengan lengan yang panjang. Wayang ini berbeda dengan wayang era sebelumnya, terutama yang terdapat dalam relief beberapa candi.

Mulyono juga menyatakan keruntuhan Majapahit berdampak diboyongnya seni pementasan wayang ke Demak, dengan demikian berakhirlah seni pementasan wayang ala Jawa Timur yang menyerupai relief candi. Pada masa Islam jumlah tokoh wayang juga diperbanyak dan diperkenalkan pertunjukan wayang semalam suntuk, terutama dalam momen islam seperti sekaten. Wayang pada masa ini juga memiliki banyak variasi ornamen.

Wayang Pada Masa Kolonial hingga Pasca Kemerdekaan

Pada masa kolonial wayang tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Wayang pada zaman kolonial hanya menghadirkan satu wayang baru yang disebut Wayang Tengul. Wayang Tengul berasal dari Bojonegoro dengan meniru wayang golek dari Kudus. Setelah Indonesia merdeka, wayang tidak mengalami perubahan bentuk, hanya saja waktu pementasan diperpendek. Waktu pementasan yang sebelumnya sembilan jam diubah menjadi empat sampai lima jam saja. Pementasan juga tidak hanya dilakukan pada malam hari, melainkan juga siang hari. Pementasan wayang juga tidak sebatas acara besar atau sakral, melainkan dalam acara yang bersifat hiburan seperti khitanan. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak