Quarter-Life Crisis dan Konstruksi Sosial: Kegalauan Seperempat Abad Kehidupan

Hikmawan Firdaus | Aji Prasanto
Quarter-Life Crisis dan Konstruksi Sosial: Kegalauan Seperempat Abad Kehidupan
ilustrasi depresi (pexels.com/KatSmith)

Situasi dan kondisi dalam sesi-sesi kehidupan dipenuhi teka-teki yang banyak menimbulkan sebuah pertanyaan-pertanyaan. Sesi-sesi kehidupan ini perlu dipahami dan dipecahkan akar masalahnya. Banyak generasi muda mengungkapkan kegalauan dalam fase hidup di umur 25 tahun; merasa gagal, mempertanyakan akan eksistensinya di lingkungan sosial, dan jenuh dengan keadaan yang dirasa tidak ada perubahan. Jika anggapan ini diteruskan dan tidak mencoba untuk dihilangkan maka akan menjadikan kefrustasian dalam menjalani kehidupan. Dengan menghubungkan apa yang disebut Quarter-Life Crisis dan Teori Konstruksi Sosial (Social Constructionism), semoga dapat sedikit memecahkan kegalauan hidup tersebut.

Prolog

Kehidupan ini memang penuh kejutan.. Senang dan sedih, pasang-surut, silih berganti sejalan dengan perputaran waktu yang begitu cepat. Terkadang malah waktu berjalan dengan sangat cepat, kita merasa baru kemarin lulus SMA sekarang sudah lulus kuliah bahkan dirasa baru bangun tidur di pagi hari tiba-tiba tanpa kita sadari dengan cepatnya hari berganti menjadi sore hari bahkan malam hari. Baru merasa bahagia dengan kekasih yang kita punya namun dengan cepatnya kita dipisahkan oleh waktu atau keadaan apapun. Yahh, waktu begitu cepat berganti, hari begitu cepat berubah, bulan begitu cepat berlalu, tahun begitu cepat terlupa. Begitulah kita, manusia yang hidup dalam dunia dan atas bayang-bayang fatamorgana. Seperti apa yang dirasakan manusia dalam kehidupan seperempat abad/ umur 25 tahun, yang banyak menemukan tantangan baru dari tanggung jawab, kewajiban, dan keinginan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sekitar.

Dari banyaknya peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, manusia seperempat abad ini dipenuhi hantaman kegilaan dari berbagai tuntutan dan keinginan. Walaupun secara tidak sadar semua itu timbul dari perasaan dan pemikiran sendiri yang belum tentu benar. Pada usia ini kita digelisahkan oleh ketidakpastian baik dalam pekerjaan, pendidikan, ataupun percintaan. Dimana masa bersenang-senang sudah lewat, tidak ada lagi guyonan canda tawa, atau kesembronoan. Tuntutan tanggung jawab masa depan telah menunggu kita,.. Mau jadi apa?, Mau dibawa kemana?, Mau seperti apa..? Kita masuk pada masa transisi dari remaja menuju dewasa (dewasa muda). Tak jarang, kita masih sering menginginkan canda tawa, banyak teman, dan masa bodoh dengan masa depan. Yap,, teman menghilang, canda tawa menghilang, hidup penuh keseriusan. Lelah ya jadi dewasa ternyata... Tiba-tiba temen nikah, lulus kuliah S2, ataupun dapat kerja yang dipandang luar biasa.. Ahh, GeGaNa (Gelisah, Galau, Merana). “Sebenarnya apa sih ini?, lagi kenapa sih kita?, lagi mau apa sebenarnya dunia ini?, kemana semua orang?, kok aku sendirian?” Hahaha.. . oke sudah cukup keluh kesahnya.

Break Down

Istilah dari para ahli tentang fase hidup seperempat abad ini yaitu Quarter-Life Crisis. Quarter-Life Crisis dalam artikel yang berjudul Understanding the quarter-life crisis yang dimuat dalam onlinedegrees.bradley.edu merupakan fase ketidakpastian dan pertanyaan yang biasanya terjadi ketika seseorang merasa terjebak, tidak terinspirasi dan kecewa selama pertengahan 20-an hingga awal 30-an. Dalam fase ini seseorang merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak ada kemajuan sementara semua teman mereka menunjukan kemajuan karir mereka ataupun merasa hampa dalam kesendirian sedangkan teman-teman seumurannya sudah memiliki hubungan yang serius dengan pasangannya, menikah, bahkan memiliki keturunan.

Penelitian dari Putri, A. L. K., Lestari, S. & Khisbiyah, Y. (2022) dengan judul A quarter-life crisis in early adulthood in Indonesia during the Covid-19 pandemic yang dimuat dalam Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi menunjukan bahwa Quarter Life Crisis dirasakan oleh seseorang di awal masa dewasa, yang menerima berbagai tuntutan dari lingkungan dan keluarga mereka, tuntutan ini diantaranya pekerjaan dan rencana pernikahan. Tuntutan pekerjaan dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan, sedangkan tuntutan rencana pernikahan dirasakan hanya oleh perempuan. Anggapan perempuan tentang masalah pernikahan ini yaitu kurangnya kepercayaan diri yang dikarenakan oleh citra tubuh fisik mereka. Hal ini berdampak pada kehidupan individu dalam hal melakukan aktivitas, menjalin hubungan, memenuhi kebutuhan hidup, penyesuaian diri, dan kesehatan mental. Belum lagi pandemi Covid-19 telah meningkatkan kecemasan individu karena prospek ekonomi dan pekerjaan yang semakin tidak menentu.

Dari pengertian dan temuan hasil penelitian tersebut, secara tidak sadar kita termakan oleh suatu otoritas kebenaran dalam masyarakat, yang membentuk budaya dan tanpa kita sadari pula fenomena dalam tatanan masyarakat ini menjadi suatu kondisi yang “lumrah tak lumrah” jika dikritisi secara mendalam. Mengapa kata “lumrah tak lumrah” digunakan, karena kebenaran tersebut hanya bersifat subjektif yang timbul dari dalam diri kita sendiri dimana kita secara tidak sadar dituntut untuk memiliki pencapaian ini itu; dalam usia sekian kita harus ini, setelah usia ini kita harus punya itu, dan seterus-terusnya. Sampai-sampai kita kelelahan dan jika kita tidak bisa menanggulanginya akan menjadi kerugian tersendiri dalam hidup kita nantinya seperti yang dijelaskan dalam jurnal di atas.

Sehingga dari paparan tersebut timbul pertanyaan; Bagaimana kita bisa menilai sesuatu?, Bagaimana mengetahui suatu fenomena atau perilaku dalam suatu tatanan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dihantarkan kepada sebuah teori yang disebut Teori Konstruksi Sosial (Social Constructionism). Dari teori ini kita dapat mengetahui bagaimana suatu masyarakat atau kelompok sosial tertentu menciptakan, menyebarkan, menerima sampai menggunakan pemahaman tersebut yang “seolah-olah” menjadi suatu “kebenaran” yang alami. Konstruksi sosial (Social Constructionism) merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), bukan merupakan suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. 

Dalam artikel dari Rifda Amalia dengan judul Budaya dan Konstruksi Sosial: Bagaimana Kita Memahami Dunia yang dimuat dalam anotasi.com Konstruksi sosial (Social Constructionism) secara sederhana dapat diartikan sebagai “Sebuah pemahaman kolektif mengenai sebuah konsep yang terbentuk dalam tatanan masyarakat. Banyak hal-hal yang kita anggap lumrah dan masuk akal hari ini sebenarnya dibentuk, dikonstruksi, dan disepakati dalam ranah sosial pada masa tertentu, misalnya: konsep uang, kewarganegaraan, atau seni”. Teori konstruksi sosial fokus dalam memecah dan mengkaji tentang cara-cara individu atau kelompok sosial yang bersama-sama menciptakan pemahaman atau pengetahuan dan kenyataan sosial mereka. Dimana dalam teori ini mempercayai suatu “Kebenaran” tidak ada yang bersifat tunggal atau objektif, yang dikarenakan manusia menilai dunia disekitarnya dengan suatu proses sosial, yaitu melalui interaksi dengan orang lain dalam suatu kelompok sosial.

Discussion

Quarter-Life Crisis merupakan fase ketidakpastian dan pertanyaan yang biasanya terjadi ketika seseorang merasa terjebak, tidak terinspirasi dan kecewa selama pertengahan 20-an hingga awal 30-an, sedangkan Teori Konstruksi Sosial (Social Constructionism) berfokus dalam memecah dan mengkaji tentang cara-cara individu atau kelompok sosial yang bersama-sama menciptakan pemahaman atau pengetahuan dan kenyataan sosial. Dari pemahaman Teori Konstruksi Sosial (Social Constructionism) tersebut, kita dapat menemukan suatu pengertian atau pemahaman baru bagaimana dunia dibentuk atas dasar pola kebiasaan yang membentuk suatu anggapan atau asumsi sebuah kebenaran. Karna bentuk suatu kebenaran sendiri sifatnya tidak tunggal atau objektif, maka tidak ada kata “benar” yang mutlak di dunia ini. Oleh karena itu, kita dapat sedikit memecah kegalauan dalam urusan dunia di seperempat kehidupan (Quarter-Life Crisis) ini. Apa yang kita risaukan, khawatirkan, dan takutkan tentang keduniawian hanyalah suatu budaya yang menuntun kita memiliki pemikiran-pemikiran dan asumsi-asumsi tentang apa yang seharusnya telah kita capai dalam waktu/ umur tertentu, dan ini bukanlah suatu kebenaran. Memang ada baiknya kita merisaukan, mengkhawatirkan, dan takut akan masa depan kita, namun jika perasaan itu malah membuat diri kita menjadi terpuruk dan menjadikan kita tidak mempunyai kepercayaan diri juga rasa semangat untuk hidup alangkah baiknya kita perlu berpikir ulang dan membangun konstruksi cara berpikir baru dalam diri kita, agar tidak frustasi lalu bunuh diri. Ayo semangat, kita belum kalah, dan hari esok masih ada!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak