Perkembangan zaman ibarat nasi yang sudah menjadi bubur. Apa yang telah terjadi maka itulah kenyataan yang terjadi. Seperti teknologi yang kian hari semakin canggih, semakin maju dan berkembang hingga saat ini.
Salah satu produk dari teknologi ialah smartphone. Produk yang satu ini sudah terfasilitasi sangat baik karena dilengkapi dengan internet, guna merasakan kebermanfaatan dari bermain gadget.
Dewasa ini, mayoritas masyarakat terlebih anak muda, ternyata lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gadget. Bukan hanya anak kecil dan anak remaja, bahkan mahasiswa pun yang memiliki gelar "maha" dari para siswa juga kecanduan terhadap gadget mereka.
Jika yang diakses adalah suatu informasi, berita terkini, atau mungkin mencari e-book sebagai bahan referensi dan digunakan untuk hal-hal bermanfaat lainnya, tentu tidak menjadi suatu persoalan. Namun jika sebaliknya, hal-hal "unfaedah" apalagi sampai pada hal-hal negatif yang dicari, inilah yang dikhawatirkan dan tentunya dampak yang diterima nantinya pun akan sangat fatal.
Mahasiswa saat ini, lebih banyak menggunakan gadget mereka untuk mencari konten-konten yang berbau hiburan. Seperti scroll TikTok bahkan sampai membuat video TikTok yang joget sana-sini, mencari informasi tempat wisata untuk berekreasi, dan masih banyak lagi.
Sebenarnya tidak salah jika ada mahasiswa seperti itu, namun perlu untuk ditakar kadar kebutuhannya terhadap segala bentuk hiburan yang ada. Sehingga tidak terkesan apatis terhadap persoalan-persoalan kehidupan karena terlalu fokus pada konten-konten yang berbau hiburan.
Sebagai seorang mahasiswa, memang hal yang wajar jika membutuhkan yang namanya hiburan, salah satunya mungkin dengan berekreasi. Karena tidak bisa dipungkiri, banyak mahasiswa yang stres dan penat selama belajar di bangku perkuliahan.
Inilah yang membuat mereka seringkali pergi berlibur, traveling, atau berekreasi kesana-kemari untuk menghilangkan pening yang dirasa di kepala. Namun anehnya, mahasiswa yang gemar berekreasi inilah yang dijadikan idola oleh mahasiswa lainnya.
Ada beberapa indikator yang membuat mahasiswa yang gemar berekreasi dipandang sebagai idola. Diantaranya bisa dilihat dari story media sosialnya saat berada di tempat wisata (hiburan) yang telah diedit sebagus, sebaik, dan seindah mungkin agar orang-orang tertarik mengunjungi tempat tersebut, apalagi jika "model" di story itu orangnya sangat "cantik, ganteng, dan manis".
Kemudian, sisi "idola" tersebut bisa juga dilihat dari seberapa eksis seorang mahasiswa di media sosial yang konten-kontennya berada di tempat rekreasi yang berbeda. Jika ia seorang mahasiswi, maka jelas laki-laki akan menjadi "Penggemar Dadakan". Jika ia seorang mahasiswa, maka para perempuan yang akan berebutan untuk mendapatkan hati "Sang Idola".
Ini merupakan fenomena yang cukup memilukan. Karena tolak ukur gelar "Idola" untuk mahasiswa hanya dilihat dari seberapa eksis dirinya di media sosial dan seberapa sering ia berekreasi ke tempat-tempat hiburan.
Karena sebenarnya, "mahasiswa idola" yang sesungguhnya ialah mahasiswa yang mau berorganisasi, bukan hanya sekedar gemar berekreasi. Karena di organisasilah wadah bagi mahasiswa untuk membentuk diri, mengasah kemampuan diri, dan meningkatkan kapasitas diri.
Organisasi merupakan wadah untuk menunjang kualitas, skill dan intelektualitasnya selama menjalani pendidikan di bangku perkuliahan. Karena kemampuan di dalam kelas dan di masa yang akan datang (dalam dunia pekerjaan semisal), hanya di organisasi lah semua itu bisa dilakukan.
Memilih untuk berorganisasi, bukan berarti menghilangkan jati diri yang gemar berekreasi. Jika dua hal tersebut bisa di-merge dengan baik, maka akan lahir kepribadian diri yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Karena di zaman yang kian maju dan berkembang ini, kita tidak bisa jika stuck pada idealisme masa lampau. Tetapi kita juga harus mencoba untuk sedikit realistis. Sebab jika 2 hal ini (idealis & realistis) sudah terkolaborasi dengan baik, maka akan lahir sosok "mahasiswa idola" yang akan menjadi teladan bagi mahasiswa lainnya.